Buya Syafii dan Anak Muda
Oleh: Muhammad Ridha Basri
“Ternyata banyak hal yang tidak kita ketahui,” kata Buya Syafii di akhir forum. Saat itu baru saja Buya Syafii berbincang dengan para anak muda di Suara Muhammadiyah. Selain anggota internal redaksi, ada juga professor muda Hilman Latief dan sejarawan Muhammad Yuanda Zara. Para intelektual muda ini berbicara banyak hal tentang dunia sejarah terkini, dan kaitannya dengan Muhammadiyah dalam pusaran global. Sebagai guru besar ilmu sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, Buya Syafii tanpa malu untuk mengakui kelebihan anak muda yang berbeda zaman dengannya.
Menurut amatan saya, peran Buya Syafii bagi banyak anak muda adalah sebagai mentor cum orang tua. Buya mengayomi dan mendengar keluh kesah mereka. Lebih dari itu, Buya Syafii adalah sosok yang senantiasa meluangkan waktu untuk menemani anak-anak muda. Buya bersedia memantau mereka. Buya berusaha menemukan kecenderungan, bakat dan minat mereka, membuka akses informasi bagi mereka, mendorong mereka untuk studi. Buya senantiasa berbagi bacaan pada mereka. Hanya orang dengan kelapangan hati yang menyamudra yang sanggup melakukan rutinitas seperti ini.
Di saat virus corona merebak di Indonesia, kisaran Maret 2020, Buya Syafii mengirim pesan khusus, “Yang muda-muda harus mengerti betul persoalan bangsa berbasis data. Banyak membaca dan ikut terlibat membenahi negeri.” Pesan ini berisi nasehat sekaligus bentuk kegusaran Buya Syafii pada kondisi bangsa dan respons pemerintah menghadapi situasi darurat. Setelah kabar wafatnya para dokter yang bekerja di garis depan penanggulangan bencana, Buya Syafii mengirim pesan, “Aduh, yang pakar pun tidak kebal. Inna lillahi wainna ilaihi rajiun. Maarif.” Disusul kemudian, “Ternyata negara tidak siap.”
Merupakan hal yang sangat lumrah ketika menemukan Buya Syafii berkolaborasi dengan banyak anak muda, di berbagai kesempatan. Kehadiran Maarif Institute merupakan salah satu bukti paling nyata. Pada mulanya, Buya Syafii sama sekali tidak ingin terlalu menonjolkan dirinya sendiri. Apalagi sampai seolah dikultuskan dengan sebuah lembaga. Namun, dengan alasan bahwa dengan lembaga ini generasi muda bisa mendapatkan wadah untuk menjejak langkah, maka Buya memberikan restu. Restu supaya lembaga itu digerakkan oleh anak-anak muda untuk misi kemanusiaan, kebangsaan, keagamaan, kebudayaan, dan peradaban.
Berkali-kali Buya mengingatkan Pimpinan Pusat Muhammadiyah supaya memberikan kesempatan kepada anak-anak muda untuk berkiprah. Anak-anak muda harus diberi ruang mengaktualisasi diri. Lain waktu, Buya Syafii menyebut bahwa ada kesenjangan antara generasi tua dan muda. Para generasi muda mengalami lompatan pengetahuan, pergaulan, dan pengalaman yang kadang tidak bisa diikuti oleh kalangan tua. Era revolusi industri 4.0 menjadi penyebab utama anak-anak muda hidup di alam borderless. Anak-anak muda, kata Buya, sering melesat dan kadang tidak bisa diikuti oleh generasi tua Muhammadiyah.
Pola perilaku dan semua tata aturan hidup berubah. Adalah sebuah kerugian besar ketika kalangan tua tidak memahami ini dan kemudian justru mengesampingkan anak-anak muda dengan potensi yang luar biasa. Anak-anak muda merupakan putra zaman masing-masing. Mereka hidup untuk masa yang berbeda dengan leluhurnya. Mereka menghadapi dunia yang tidak lagi serupa dengan dunia ketika orang tua mereka hidup. Oleh karena itu, orang tua perlu memahami dengan cermat, anak muda perlu menaruh hormat dan bersedia diawasi.
Dalam banyak kesempatan, Buya Syafii selalu berusaha untuk terus membersamai anak-anak muda. Memberi mereka dorongan. Memberi mereka kepercayaan. Bagi Buya, generasi tua harus optimis bahwa esok pagi, matahari akan bersinar lebih cerah. Supaya bangsa ini mendapatkan paparan sinar positif, maka generasi muda perlu dilepas dan dikawal dari jauh. Anak muda terkadang minim pengalaman masa silam, tetapi mereka memiliki banyak mimpi dan proyeksi masa depan yang perlu diwujudkan.
Buya Syafii menyebut banyak anak-anak muda Muhammadiyah yang ketika diberi kesempatan, justru mampu mengemban amanah dan membayar lunas kepercayaan yang diberikan. Mereka berhasil membawa perubahan dan kemajuan yang di luar dugaan. Buya menyebut anak-anak muda yang di masa kepemimpinan Buya Syafii Maarif, mereka dididik dalam wadah Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, kini telah menjadi sosok-sosok penuh dedikasi di bidangnya masing-masing. Majelis atau lembaga PP Muhammadiyah yang mereka masuki mengalami perubahan positif yang signifikan.
Yang juga sering Buya banggakan adalah Suara Muhammadiyah dan Madrasah Muallimin Muhammadiyah. Kepada tamu-tamu penting yang sering bersilaturahim ke Buya Syafii di Yogyakarta, terutama ketika di Suara Muhammadiyah, Buya membanggakan kecemerlangan ide dan aksi dari anak-anak muda. Demikian juga dengan Maarif Institute, Buya menyebut bahwa mereka adalah anak-anak muda Muhammadiyah yang perlu terus didekati dan didorong untuk menjadi anak panah perubahan. Mereka perlu ditemani dan didengarkan, jangan sampai tiba-tiba berhenti dan kehilangan orientasi diri.
Awal April 2019, beberapa anak muda Muhammadiyah dari sebuah partai baru menemui Buya Syafii di sebuah warung makan di Yogyakarta. Saya dan mas Agus ikut diajak bergabung. Sejak sore, kami menemani Buya Syafii mengisi acara Ideopolitor PP Muhammadiyah di sebuah hotel. Buya sangat mengapresiasi anak-anak muda ini, di antaranya Raja Juli Antoni, Fajar Riza Ul Haq, Jefri Geovani, dan Endang Tirtaya.
Pertemuan berlangsung sangat cair selama lebih dari dua jam. Alur pembicaraan sangat menarik dan Buya memiliki daya lentur untuk bertemu orang-orang yang usianya jauh lebih muda. Buya memberi support pada mereka sebagaimana Buya mendukung setiap ada komunitas atau acara yang positif. Namun Buya menahan diri untuk tidak terlibat terlalu jauh dalam sikap partisan dukung-mendukung. Buya menolak hadir pada setiap acara partai, meskipun diundang oleh tokoh atau sahabat dekatnya.
Buya Syafii selalu mendorong anak-anak muda untuk aktif di pentas nasional, melalui media apapaun. Menurut Buya, modal penting untuk memperluas jangkauan pergaulan harus dimaksimalkan setiap anak muda. Pada 11 April 2020, Buya Syafii mengirim terusan WA dengan Ketua PWM Jawa Tengah, “Bung Tafsir, ada modal bagus bagi anak-anak muda Muhammadiyah, mereka pada umumnya tidak ngeyel asal cara pendekatan kita kepada mereka adalah ala Ketua PWM Jateng. Maarif.”
Tafsir merupakan sosok ulama yang sangat luwes dalam pendekatan dakwah. Ia misalnya menerobos lorong gelap dengan berdakwah bagi komunitas waria dan pekerja seks komersial. Tafsir diterima oleh mereka karena bisa memposisikan dirinya sebagai teman mereka dan mendengarkan segala keluhan mereka. Tafsir mengajarkan mereka skill untuk keperjaan tertentu. Tafsir membolehkan mereka datang ke Gedung Muhammadiyah.
Pernah di lain waktu, Buya Syafii mengirimkan PDF sebuah buku kumpulan tulisan dari anak-anak muda. Kebetulan, saya mengenal di antara penulis dalam buku itu dan memberitahukan Buya tentang sosok itu. Tak lama, Buya membalas antusias, “Hebat anak itu, kan? Yang berbakat harus selalu didorong untuk maju. Trim. Maarif.” Demikian balasan Buya Syafii untuk mengapresiasi anak muda yang bahkan tak dikenalnya. Kejadian semisal ini terjadi beberapa kali.
Saya termasuk sering sekali merasa didorong dan diberi kepercayaan lebih oleh Buya Syafii. Sebulan sebelum Ramadhan tahun 2020, Buya Syafii tiba-tiba menelpon saya. Ternyata, Buya meminta kesediaan mengisi tausiyah malam nuzul Qur’an di masjid kediaman Buya Syafii. Padahal bisa saja Buya meminta takmir masjid yang menghubungi. Pesan menarik Buya setelah itu, “Rambutnya tidak perlu dipotong, tapi harus pakai kopiah.” Saat itu, rambut saya sedang gondrong. Bukannya menegur, Buya sering menyebut, “Begini ini gaya seniman.” Ternyata, oleh karena wabah corona, acara ini batal.
Sebagai sosok guru bangsa yang usianya bertaut hampir 60 tahun, Buya tidak gengsi untuk bertanya terhadap sesuatu kepada yang jauh lebih muda. Padahal, Buya sebenarnya jauh lebih tahu. Namun, terkadang ingin mendapat perspektif berbeda. Saya pernah misalkan ditanya seperti ini, “Bagaimana caranya menggerakkan counter literasi agar proses sosial keagamaan tidak semakin membusuk yang ujungnya akan membuahkan suatu ‘cultural impasse’ (kebuntuan budaya), apalagi Aceh hanyalah bagian kecil dari fenomena global dunia Muslim yg sedang tersungkur, dari sisi mana pun kita melihatnya. Maarif.”
Memang beberapa kali, Buya dan saya sering saling berbagi cerita tentang Minang dan Aceh, yang menurut kami punya banyak sisi kesamaan. Sama-sama masyarakat religius dengan sejarah masa dulu yang unik. Tanah Minang bahkan sering disebut Buya sebagai daerah yang melahirkan para bapak dan pemikir republik. Mulai Bung Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka, Agus Salim, hingga Buya Hamka. Namun kemudian Sumatera Barat meredup, yang menurut Buya, terjadi semenjak peristiwa PRRI. Demikian juga dengan Aceh, yang dianggap meredup dan telah mengubah mental masyarakatnya semenjak peristiwa konflik panjang hingga tsunami besar tahun 2014. Oleh karena itu, Buya merasa bahwa pemerintah pusat perlu memahami ini dan tidak menyeragamkan semua propinsi di Indonesia.
Buya Syafii akan sangat senang jika diundang oleh anak-anak muda. Sering sekali Buya berusaha hadir dalam acara yang diadakan anak-anak muda. Pernah, misalkan saya diminta menemani Buya dalam seminar yang diadakan mahasiswa pascasarjana UGM. Dan Buya antusias untuk datang. Demikian juga acara yang diadakan IMM UIN Sunan Kalijaga, Buya juga datang menyetir sendiri. Terutama sebelum tahun 2019, ketika Buya Syafii masih leluasa menyetir mobil sendiri, Buya akan berusaha datang.
Suatu ketika, Buya Syafii bertemu Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta ketika itu. Pertemuan itu berlangsung menjelang muktamar Pemuda Muhammadiyah November 2018. Buya Syafii ternyata mengenal dan mengikuti kiprah sosok tersebut sebagai aktivis cum akademisi. Saat itu juga, Buya mendorong sosok dosen muda ini untuk maju sebagai calon ketua Pemuda Muhammadiyah dalam muktamar. “Anda harusnya maju. Kita butuh sosok-sosok yang kultural dan intelektual, yang tidak hanya main politik,” kata Buya.
Buya Syafii mempraktekkan sebuah perumpamaan yang pernah dikemukakan oleh Kuntowijoyo. Bahwa gerakan anak muda dapat dibedakan menjadi dua: gerakan yang bersifat politik dan gerakan yang bersifat keilmuan. Jika diibaratkan, gerakan politik seperti menanam pohon pisang: cepat tumbuh, musiman, berbuah, dan berumur pendek. Sementara gerakan keilmuan itu ibarat menanam pohon jati: tumbuh dan berbuahnya lama, harus dirawat serius, namun pohon dan hasilnya akan berusia panjang. Buya mengingatkan supaya anak-anak muda lebih dulu menguatkan gerakan keilmuan.
Tidak hanya dengan anak-anak muda Muhammadiyah, Buya bahkan sangat dekat dan dihargai oleh anak-anak muda NU. Buya Syafii sangat dekat dengan Zuhairi Misrawi, Ulil Abshar Abdallah, Ahmad Sahal, Alissa Wahid, hingga Sumanto Al-Qurtubi. Termasuk dengan anak-anak muda NU di Yogyakarta. Pernah, buku Buya diterbitkan ulang oleh penerbit IRCiSoD di bawah payung Diva Press. Buya Syafii sangat mengapresiasi Edi AH Iyubenu sebagai pemilik penerbitan ini. Buya menitip pesan pada kami untuk lebih sering berkolaborasi, antara anak-anak muda Muhammadiyah dan anak-anak muda NU.