Oleh: Abdur Rauf
Ahmad Syafii Maarif atau akrab disapa Buya Syafii lahir di Sumpur Kudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935. Hari ini, tepatnya pada 31 Mei 2020, Buya Syafii merayakan miladnya yang ke-85 tahun. Meskipun sudah memasuki batang usia yang ke-85 tahun, Buya Syafii masih tetap terlihat energik.
Saya pernah mendengar tuturan dari orang terdekat Buya Syafii, sebut saja namanya Ustadz Erik Tauvani (the next Buya, tapi asalnya Jawa Timur). Ustadz Erik pernah bercerita bahwa ketika Buya Syafii ditanya: “Buya, apa rahasianya kok masih tetap energik, seperti orang muda padahal usia sudah tidak lagi muda?” Buya Syafii menuturkan, “Rahasianya adalah banyak-banyak merenung, banyak-banyak membaca, dan banyak-banyak menulis.”
Jadi, rahasia awet muda ala Buya Syafii adalah merenung (berpikir), membaca, dan menulis. Mudah-mudahan ketiga hal tersebut menjadi tabiat saya dan kita semua.
Seingat saya pada tahun 2015 lalu, untuk pertama kalinya saya ke rumah Buya di Nogotirto, Sleman. Pada waktu itu, tepatnya hari Jum’at (untuk tanggal dan bulannya saya lupa), saya bersama Ustadz Erik ditugaskan oleh takmir Masjid Islamic Center UAD untuk menjemput Buya di rumahnya, karena Buya akan mengisi khutbah Jum’at pada hari itu.
Sekitar jam 10 kami sudah bertolak ke rumah Buya dengan menggunakan mobil Avanza berwarna hitam dan berlogo UAD. Tibanya di rumah Buya, terlihat Buya sedang berdiri memegang sapu membersihkan beranda depan rumahnya. Kami pun keluar dari mobil dan menyapa Buya.
Tiba-tiba Buya berkata, “Kok pagi sekali Erik jemputnya?” Iya, kami memang sengaja agak awal menjemput Buya, biar bisa berlama-lama bersama Buya. “Iya sudah, saya siap-siap dulu”, lanjut Buya. Kami pun menunggu Buya bersiap-siap.
Setelah Buya selesai, kami pun langsung berangkat menuju Masjid Islamic Center UAD. Di dalam mobil, saya diperkenalkan kepada Buya oleh Ustadz Erik. “Ini yang nyetir namanya Mas Rauf, Buya. Mas Rauf ini juga musyrif PERSADA”, tutur Ustadz Erik. Kemudian Ustadz Erik melanjutkan pembicaraannya, “Mas Rauf ini sudah mengkhatamkan ‘Memoar Anak Kampung’, Buya”. Buya pun senyum-senyum saja.
Iya, buku yang berjudul “Memoar Anak Kampung” adalah karya Buya yang berisi tentang perjalanan hidupnya. Luar biasa, banyak pelajaran yang dapat saya petik dari kehidupan Buya lewat bukunya itu. Kemudian Buya bertanya kepada saya perihal kuliah di mana, jurusan apa, dosennya siapa, dan seterusnya.
“Sebelum ke masjid kita makan dulu”, kata Buya. Karena memang masuknya waktu jum’at masih agak lama, kami pun mengikut saja keinginan Buya, mampir makan terlebih dahulu. Warung makan yang kami tuju adalah warung makan kupat tahu Magelang di sekitaran Imogiri Barat, tidak jauh dari lokasi Masjid Islamic Center UAD. Kami pun memesan 3 piring kupat tahu.
Sambil menikmati makan, tiba-tiba Buya berbisik kepada kami, “Sepertinya orang-orang mengenal saya”. Benar, tak lama kemudian orang-orang yang makan di situ bergantian minta foto bersama Buya. Saya dan Ustadz Erik pun dimintai tolong jadi fotografer dadakan.
Buya adalah seorang tokoh bangsa, jadi siapa yang tidak mengenalnya? Semua orang mengenal dan mengaguminya. Sosok yang sangat menginspirasi. Jadi, tak heran banyak orang-orang mengantri ingin mengabadikan momen-momen saat bertemu dengan Buya.
Setelah selesai makan, kami langsung bertolak lagi ke Masjid Islamic Center UAD. Selanjutnya, setelah seluruh rangkaian ibadah shalat Jum’at selesai, kami masih bertugas untuk mengantarkan Buya pulang ke rumahnya.
Kali ini nambah satu personil yang ikut dalam mobil kami untuk mengantar Buya, yaitu Mas Aji. Mas Aji adalah kolega kami di Pesantren Mahasiswa KH. Ahmad Dahlan UAD (PERSADA). Ustadz Erik sebagai kepala Asrama Putra PERSADA. Saya dan Mas Aji sebagai musyrif PERSADA Putra. Seperti biasa, di dalam mobil Ustadz Erik memperkenalkan Mas Aji kepada Buya.
Setelah lebih kurang menempuh waktu setengah jam perjalanan, mobil yang kami kendarai tiba di rumah Buya. Sebelum turun terlihat tangan Buya merogoh ke dalam saku baju kokonya untuk mengambil sebuah amplop yang diberikan kepadanya oleh takmir Masjid Islamic Center UAD tadi seusai menyelesaikan rangkaian ibadah Jum’at. Lalu Buya memberikan amplop itu kepada Ustadz Erik, “Erik, ini ambil, dibagi bertiga ya”, tutur Buya. Buya pun langsung turun dari mobil dan mengucapkan salam.
Setelah Buya turun dari mobil dan masuk ke dalam rumahnya, kami pun langsung meninggalkan kediaman Buya.
Di dalam mobil, Ustadz Erik bercerita kepada saya dan Mas Aji. “Buya tu emang begitu, sering sekali setiap habis memberikan materi dalam suatu acara, HR yang dikasih oleh penyelenggara untuknya selalu dibagikan buat yang menjemput dan mengantarnya”, tutur Ustadz Erik.
Saya dan Mas Aji pun manggut-manggut penuh kagum dan senang dapat rezeki anak saleh dari orang yang saleh pula.
“Luar biasa sekali Buya, Ustadz. Ternyata Buya itu jauh sekali dari apa yang telah difitnahkan orang-orang secara brutal selama ini”, tutur saya.
“Lha iya, orang-orang yang memfitnah dan mencaci maki Buya itu adalah orang-orang yang tidak mengenal Buya yang sebenarnya”, tegas Ustadz Erik.
Dari dekat, meskipun hanya sebentar, saya melihat Buya adalah sosok yang ikhlas, sederhana, bersahaja, tawadhu’, ramah kepada siapa pun, dan senang berbagi. Kebersamaan dengan Buya, meskipun singkat tapi penuh makna, keteladanan dan penuh inspirasi.
Buya adalah sosok muslim yang moderat, terlihat pada setiap ceramahnya Buya selalu berpesan mengingatkan kita bahwa kita ini adalah ummatan wasathan, khairu ummah, dan syuhada‘a ‘ala an-nas. Oleh sebab itu, hindari perilaku-perilaku ekstrem, jauhi perilaku-perilaku yang dapat merusak citra Islam, tampilkan akhlaqul karimah, tebarkan kasih sayang dan sikap toleran. Itulah wujud dari Islam rahmatan lil’alamin.
Akhirnya, selamat milad yang ke-85, Buya. Semoga Allah SWT selalu memberkahi, merahmati, dan meridhai Buya. Aamiin.
Abdur Rauf, Alumni FAI UAD