Erik Tauvani Somae
Sebelumnya, saya ingin menyampaikan tahniah terlebih dahulu atas ulang tahun Buya Syafii Maarif yang ke-85 pada 31 Mei 2020. Sebuah batang usia di atas rata-rata harapan hidup manusia Indonesia. Teriring doa semoga Buya Syafii senantiasa dianugerahi umur panjang, kesehatan, kebahagiaan, dan keberkahan. Buya adalah ibarat oase bagi keindonesiaan dan kemanusiaan yang lahir dari rahim Muhammadiyah.
Saya merasakan bahwa ada ikatan emosional yang kuat dari seorang Buya Syafii Maarif dengan Majalah Suara Muhammadiyah. Mula-mula bukan melalui ucapan belaka, tulisan artikel, jurnal, atau buku yang banyak mengulas tentang hal tersebut, namun saya menyaksikan secara langsung betapa setianya Buya Syafii kepada majalah Islam tertua-terawet di Republik ini melalui tindakan konkret.
Setelah saya membuka beberapa artikel tentang sepak terjang seorang Syafii Maarif di Suara Muhammadiyah (selanjutnya cukup ditulis SM), barulah tampak benang merah itu. Buya adalah orang yang sangat perhatian dan setia mengurus Majalah SM sampai detik ini. Selama masih diberi waktu dan kesehatan, tidak ada alasan baginya untuk meninggalkan majalah yang telah ditekuninya sejak tahun 1965 itu.
Kiprah Buya di Majalah SM dimulai pada Desember 1965. Buya mengatakan bahwa hampir semua lini pekerjaan di Majalah ini pernah dilakoninya. Mulai dari sebagai korektor, juru ketik, mengurus iklan, hingga akhirnya diangkat sebagai wartawan. Kemudian sejak tahun 2002 ia diangkat menjadi Pemimpin Umum Majalah SM hingga kini. Namun, sejak tahun 1965 sampai hari ini, kiprah Buya di Majalah SM pernah terhenti beberapa waktu karena harus ke Amerika untuk menimba ilmu.
Meskipun usia sudah berkepala delapan, kesibukan Buya tak kunjung berkurang, atau justru malah semakin padat. Setiap Rabu dan Kamis ia rutin ke Jakarta karena tugasnya di BPIP dan Komite Etik Mahkamah Konstitusi. Selain itu, agenda untuk mengisi acara seminar, menghadiri rapat, dan lain sebagainya terus saja dilakoninya saban waktu. Ia juga diamanahi sebagai Ketua Tim Pengembangan Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta yang selalu memerlukan banyak waktu, tenaga, dan pikiran.
Namun di tengah kesibukannya yang bukan kepalang itu, Buya mengkhususkan tiap hari Selasa untuk menghadiri rapat rutin Majalah SM. Demi rapat ini, Buya tidak akan bersedia mengikuti acara yang lain jika waktunya bersamaan, meskipun acara itu penting. Majalah SM baginya masih lebih penting. Kecuali saat kondisi kesehatan sedang tidak bersahabat. Barulah ia dengan berat hati pamit dari rapat. Buya sangat konsisten dan konsekuen. Ini sekaligus menjadi bukti kecintaanya pada Muhammadiyah melalui Majalah SM.
Saya sendiri sering Buya wanti-wanti agar mengkhususkan hari Selasa untuk rapat redaksi. Di sana, kata Buya, banyak sekali hal-hal yang bisa dipelajari dari mereka yang telah kenyang makan asam garam di dunia jurnalistik. Selain ada Buya yang selalu hadir, ada juga Pak Muchlas Abror, Mustofa W Hasyim, M Yuanda Zara, Isngadi M Atmadja, A Mu’arif, Asep Purnama, Lutfi Efendi, Imron Nasri, M Ridha Basri, Rizki Dewantoro, Ganjar SH, dan beberapa anggota baru yang masih sangat muda. Kadang-kadang hadir juga Direktur SM Deni Asy’ari bahkan Pak Haedar Nashir.
Untuk menghadiri rapat redaksi setiap hari Selasa itu, Buya selalu diantar jemput oleh Pak Dwi Agus Kota Gedhe, atau biasa dipanggil Mas Agus, orang yang dari luar tampak garang dengan kumis tebal dan kaca mata hitamnya, tapi sesungguhnya hatinya selembut embun pagi. Adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagi Mas Agus bisa menjadi “penjemput tetap” Buya Syafii dengan mobil bernomor polisi AB 1915 itu. Apalagi kalau sampai Buya bertanya: “Kita mau makan di mana?”
Di samping setia dengan Majalah SM, Buya juga dikenal cukup dekat dengan karyawan di kantor. Bertegur sapa, salam, murah senyum, adalah ciri khasnya. Kadang-kadang juga diselingi senda gurau dan canda tawa bersama mereka. Kantor SM seperti menjadi rumah kedua bagi Buya. Maka tak heran jika ia kerap menemui tamu-tamunya di kantor ini.
Dalam suasana rapat redaksi, terasa sekali nuansa egaliter dari Buya. Ia lebih banyak mendengarkan dan tak jarang mengapresiasi setiap pendapat dengan menguatkan argumen berbasis data, fakta, dan analisis, namun ia juga tak segan untuk memberi komentar jika ada yang baginya kurang tepat, itupun juga dengan argumen yang lebih kuat. Setiap orang di matanya adalah sama. Tua-muda sama-sama punya peluang yang sama untuk menyampaikan pendapatnya. Di sela-sela keseriusan rapat pun tak pernah sepi dari anekdot yang mengundang gelak tawa.
Seperti kecintaan dan kesetiaan Buya Syafii pada Madrasah Mu’allimin yang telah turut membentuk karakternya menjadi Anak Panah Muhammadiyah, kecintaan dan kesetiaannya pada Majalah SM juga tak bisa dilepaskan dari “jasa-jasa” majalah ini dalam menguatkan jiwa jurnalismenya sekaligus menjadi salah satu penopang ekonominya saat ia masih hidup serba susah pada abad yang silam.
Majalah SM menjadi salah satu saksi kehidupan Buya Syafii Maarif dalam kurun waktu yang sangat lama. Barangkali menjadi yang terlama dalam hidupnya. Sampai batang usianya menyentuh angka ke 85 tahun pada 31 Mei 2020 pun masih setia dengan SM. Namun saat wabah Covid-19 melanda seluruh dunia termasuk di Indonesia, saat itu pula aktifitas majalah cetak dialihkan ke online seluruhnya. Semua harus menjaga jarak satu sama lain sesuai dengan protokol yang telah ditetapkan. Buya harus tetap di rumah saja dan menghindari kontak fisik dengan orang lain demi keselamatan bersama.
Akhirnya, tak ada gading yang tak retak. Tidak ada manusia yang sempurna di muka bumi ini. Namun ketulusan dan kesungguhan Buya dalam mengawal Majalah SM di usia yang tak lagi muda patut menjadi pembelajaran bagi generasi selanjutnya. Bahwa rasa cinta dan kesetiaan tidak memandang usia. Dalam hal ini, ada peribahasa sukakan gaharu karena baunya, sukakan guru karena ilmunya. Kita patut belajar dari keteladanan seorang Buya oleh karena hikmah dan faedah yang terkandung di dalamnya. Sekali lagi, selamat ulang tahun Buya Syafii Maarif yang ke-85. Tabik!