Oleh: Muhammad Adib Syihabudin
Tepat pada hari Ahad, 31 Mei 2020, 85 tahun silam, lahirlah seorang putra dari pasangan Ma’rifah Rauf Datok Rajo Malayu dan Fathiyah yang nantinya menjadi tokoh besar yang dicintai dan menjadi panutan bagi khalayak ramai dengan pemikiran, petuah dan kepribadiannya. Ya, beliau adalah Ahmad Syafii Maarif yang biasa dikenal dengan Buya Syafii.
Penulis bukanlah seorang yang sering bertatap muka dengan beliau, dekat dengan beliau, bahkan buku memoar seorang anak kampung yang merupakan buku otobiografi Buya saja belum khatam, namun hanya beberapa kali dalam satu forum, baik forum diskusi besar atau sesekali diskusi kecil di masjid Nogotirto dekat tempat tinggal beliau selepas maghrib. Bisa dikatakan bukan diskusi karna kita sebagai audiens dibuat mati kutu dan terkesima mendengar petuah dan keteladanan beliau yang tak sempat menyela sepatah katapun.
Namun setidaknya pernah mengeyam pendidikan di atap yang sama pada dua institusi yang berbeda yaitu di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta yang memberikan pondasi keagamaan dan kemandirian pada beliau, yang kelak beliau bawa untuk berkelana dalam memberikan pandangan islam sebagai agama rahmat bai semua dan untuk berkelana di setiap jengkal kehidupannya.
Insitusi yang kedua adalah kampus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang pada masa beliau lebih dikenal sebagai Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) yang kelak mengantarkan beliau menjadi guru bangsa dan pengajar yang ulung bagi setiap sendi kehidupan, bahkan pemimpin tertinggi di negeri ini pun masih mendengar dan meminta petuah dari beliau karna darah guru sebagai pengajar dan pemberi tauladan melekat erat di nadinya.
Lewat perjumpaan singkat dengan beliau di beberapa forum bukanlah tanpa arti, melainkan melahirkan pandangan yang luas tentang kebangsaan, keislaman dan pelajaran disetiap aspek kehidupan. Lewat perjumpaan dengan beliau, lahirlah petuah-petuah yang yang populer ditelinga masyarakat dengan bahasa yang melambai-lambai khas melayu.
Petuah pertama yang melekat di pikiran adalah hidup jangan kepalang tanggung yang beliau tuturkan sewaktu Darul Arqam Purna Mu’allimin yang artinya hidup jangan serba nanggung, selesaikan apa yang pernah kita mulai, jadilah spesialis pada keahlian tertentu. Kemudian beliau meneruskan kalimatnya bahwa jadilah siapapun, apapun, cari kelebihan yang diberikan Tuhan padamu karena salah satu bentuk timbal balik dari bersyukur adalah memaksimalkan kelebihan yang dimiliki.
Jadilah guru yang mencerdaskan dan inspiratif, jadilah dokter yang tulus dan peduli, jadilah polisi yang jujur dan berintrgritas, jadilah pemimpin yang adil dan amanah dan tiap lini kehidupan lainnya, pungkas beliau melanjutkan petuahnya. Beliau tidak pernah mengerutkan dahi dan merasa kecewa setiap kali orang berkenalan dengen beliau sambil menyebutkan pekerjaan atau perannya.
Beliau selalu tersenyum sambil sambil mengatakan “bagus, hebat, luarbiasa” atau kalimat sanjungan lainnya dan tentunya meneruskan petuah hebatnya yang menginspirasi itu. Buya selalu bersemangat dan antusias mendengar setiap jawaban perkenalan dan keinginan lawan bicaranya, apapun pekerjaan dan perannya dalam kehidupan, selagi mempunyai cita-cita mencerdaskan dan memajukan bangsa ini. Terlebih anak muda yang membuat beliau selalu optimis akan cita-cita pendahulu bangsa ini.
Buya sangat senang pada seseorang yang mau memaksimalkan potensinya dan mengabdikan dirinya pada sektor yang jarang sakali disentuh kebayakan orang, seperti sektor kepolisian, lembaga pemasyarakatan, badan intelijen, saudagar, olahragawan, content creator dan sektor yang jarang disentuh lainnya. Alasannya sederhana yaitu memperkaya sektor tersebut dengan orang berintegritas, secara tidak langsung membantu negara mencapai tujuannya sendiri.
Petuah kedua adalah belajarlah dari siapapun, bahkan jika iblis membuat sekolah, masuklah kesana dan belajarlah!. Petuah tersebut dilontarkaan sewaktu beliau berkunjung ke asrama sewaktu penulis masih duduk di kelas akhir Mu’allimin. Dihadapan santri-santri, beliau melontarkan kalimat tersebut dengan nada tidak terlalu tinggi namun amat menekan tiap suku kata yang beliau ucapkan, selolah-olah memberi garis bawah dan memberi alarm pada kami untuk memahami dan melaksakanan petuah beliau.
Kalimat itu seolah seperti masuk telinga kanan, keluar telinga kiri yang pada waktu itu belum paham apa yang Buya maksud. Namun secara tidak sadar, petuah itu terekam dalam memori kecil pada otak, yang pada beberapa tahun setelahnya baru tersadar petuah yang Buya maksud. Kesadaran dan ingatan akan petuah itu timbul karena adanya suatu problem kehidupan yang bisa didapatkan apabila manusia terus mencari jati dirinya, maka kesadaran hanya butuh waktu untuk memahaminya.
Petuah tersebut bisa dibilang ektrem oleh khalayak ramai karena membawa nama iblis dan kita diminta belajar di sekolah tersebut. Terlebih oleh sekelompok orang yang berbeda pandangan atau anti dengan Buya Syafii. Namun apabila dapat ditelaah lebih dalam petuah tersebut sama dengan petuah masyhur khudzil hikmah walau min ahlin nifaq yang artinya ambillah pelajaran walau dengan orang munafiq sekalipun.
Kedua petuah tersebut memiliki arti yang sama dan keduanya sama-sama saling menguatkan. Sama halnya petuah bijak yang mengatakan pengalaman adalah guru terbaik, maka mencari pengalaman adalah mencari guru, bahkan terkadang kita belajar dari suatu pengalaman yang buruk atau salah, kemudian kita mempelajarinya agar tidak terjadi kesalahan di kemudian hari.
Kita bisa belajar dari pencuri, ketika suatu rumah mengalami pencurian dan setelah diselidiki pencuri tersebut masuk lewat jendela, maka yang dilakukan adalah memasang teralis pada jendela rumah. Jika boleh ekstrem sedikit, perusahaan kunci, cctv belajar dari seorang pencuri untuk mengembangkan suatu produk mereka. Apabila seseorang tidak belajar dari pengalaman buruk sekalipun, kita tidak akan menemukan kunci, cctv atau benda keamaan lainnya sampai saat ini juga.
Kembali ke petuah belajar di sekolah iblis yang juga syarat akan makna mendalam untuk kita renungkan dan kita sadari. Iblis pun punya sifat yang patut kita teladani yaitu kesungguhan dan pantang menyerah dalam menggoda manusia. Maka yang bisa diambil pelajaran dari Iblis bukan menggoda manusia, melainkan sifat kesungguhan dan pantang menyerah tersebut. Buya juga menyarankan untuk mempelajari buku-buku yang bahkan tidak direkomendasikan oleh orang lain karena takut terpengaruhi pemikirannya.
Kebanyakan orang takut membaca buku yang berbeda pandangan, beda keyakinan maupun perbedaan yang lainnya. Namun Buya dengan lantangnya meminta untuk membaca buku apapun sekalipun itu jauh dari pandangan kita. Beliau selalu menuturkan, apabila takut atau tidak mau membaca yang berbeda pandangan, lantas dari mana kita mendapat pelajaran, dari mana kita mengetahui pandangan kita benar sedangkan tidak tahu pembandingnya. Karna sejatinya perbedaan itulah yang terkadang menguatkan idelologi dan memperkaya khasanah keilmua yang dimiliki.
Selain kedua petuah diatas ada pula kalimat indah yang setiap kata yang dikeluarkan mampu melambai-lambaikan suasana hati seperti aku terdampar ke tepi semata-mata karena belas kasihan ombak, bukan generasi pemuda kalau hanya mengekor dan berlindung dibawah payung pendahulunya, jangan jadi ombak yang riuh hanya di tepi pantai tetapi jadilah air bah yang dapat merubah kehidupan, jangan membajak Tuhan untuk kepentingan politik dan masih banyak lagi.
Petuah itu ucapkan selalu berdasarkan apa yang beliau alami sewaktu mengarungi lika-liku kehidupan. Petuah beliau seolah mudah sekali beliau ucapkan dan seperti gerakan otomatisasi dari bibir untuk mengeluarkan kata-kata bijak, namun ucapan dan dan perbuatan beliau selalu selaras dan tidak pernah pecah kongsi. Jika boleh meminjam kalimat guru saya, Buya sudah sejak lama berdamai dengan ucapan dan perbuatan.
Setidaknya penulis pernah dua kali berada dalam satu mobil yang sama untuk mengantarkan beliau di beberapa acara, beberapa kali bertemu Buya di masjid Nogotirto untuk bersilaturahim. Dimanapun berada apabila ada Buya, disitulah petuah dan teladan kehidupan muncul seperti seolah tak terpisahkan dari raganya. Apabila teringat kata Buya Syafii, kata petuah dan keteladanan harus berada di ranking teratas yang wajib disebutkan.
Di usianya yang senja, dimana orang seusia beliau tidak mau berpikiran yang berat apalagi harus mengurus ini, itu, namun Buya tetaplah Buya yang dikenal banyak orang, tetap bersikeras ingin memberikan apapun yang beliau bisa untuk bangsa ini. Beliau masih meyempatkan waktunya untuk almamater tercintanya dengan menjadi ketua tim Pengembangan Kampus Terpadu Mu’allimin, menjadi Pimpinan Umum di majalah Suara Muhammadiyah, dan konon kataya nasehat beliau masih di dengar di kalangan Istana.
Akhir kata, selamat ulang tahun Buya Syafii Maarif yang ke 85 tahun, semoga tetap mencerahkan lewat petuah-petuah dan keteldalanan Buya. Di batang usia yang senja ini, teruslah memberi harapan pada anak-anak muda untuk mengejar impian yang mereka harapkan, agar cita-cita bangsa lewat founding father bangsa terdahulu tidaklah hanya termaktub dalam uangkaian kata, namun dapat di gapai pada kemudian hari.
Muhammad Adib Syihabudin, Alumni dan Musyrif Madrasah Mu’allimin Muhamadiyah Yogyakarta