Oleh: Wildan Kurniawan
SUATU waktu, kaka kelas sekaligus pendamping asrama saya di pondok dahulu memberikan tawaran kepada saya untuk mencoba merantau lebih jauh dari Jogja, yaitu di tanah Minang. Kaka kelas saya, namanya Mas Erick, dia memiliki kedekatan personal dengan sosok Buya Syafii. Tawaran pergi ke tanah Minang ini sebetulnya tawaran dari Buya Syafii untuk alumni Mu’allimin yang beliau sampaikan melalui Mas Erick.
Tawaran merantau dari Buya Syafii ini memiliki tujuan yang begitu mulia. Saya akan sedikit ceritakan.
Salah satu tanah di Minang itu bernama Sumpur Kudus. Letaknya sekitar 4 jam dari kota Padang. Perjalanan ke sana, selain dengan kendaraan haruslah ditempuh dengan kesabaran. Medan yang masih cukup terjal membuatnya menjadi tanah khas yang memang diperuntukkan untuk orang-orang tangguh. Buya Syafii lahir di sana. Dari rahim seorang ibu dan ayah yang tangguh pula.
Sekian lama Buya meninggalkan tanah kelahirannya. Demi menimba ilmu di Jogja hingga Kanada. Puncak karirnya di Muhammadiyah, Buya menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2000-2005. Di usia senjanya Buya masih memikirkan tanah lahirnya. Daerah pelosok yang ia tinggalkan. Sebagai seseorang dengan jiwa yang besar, Buya merasa bertanggung jawab atas tanah kelahirannya itu.
Singkatnya, beliau meminta kepada Mas Erick untuk mengabdikan diri mengurus dan mengembangkan Muhammadiyah di Sumpur Kudus selama minimal 2 tahun. Syukur-syukur bisa lebih. Buya sendiri yang menjamin kebutuhan selama kita hidup di sana. Tetapi rupanya karena alasan tertentu Mas Erick belum bersedia. Jadilah ia mencari pengganti untuk bisa tetap mewujudkan keinginan Buya Syafii. Buya, tidak mencari orang selain alumni Muallimin.
Ketika tawaran itu datang kepada saya, tidak kemudian langsung saya menolak atau menyanggupi. Saya meminta waktu untuk berfikir dan menimbang segala kemungkinan jika saya menerima tawaran itu. Di satu sisi jiwa muda saya berontak luar biasa ingin beranjak dari zona nyaman Jogja. Tetapi di sisi lain, banyak hal yang harus dipertimbangkan jika benar-benar saya harus mengabdi di sana selama kira-kira dua tahun atau lebih. Terutama pertimbangan orangtua.
Saya bercerita kepada ibu tentang tawaran dari Buya Syafii. Mendengar hal ini, dari raut wajahnya tersirat perasaan bahagia. Ibu tersenyum dan menanyakan tentang bagaimana teknisnya jika saya betul-betul jadi berangkat. Saya belum bisa menjelaskan kepada ibu dengan detail bagaimana teknisnya. Tetapi yang jelas, di sana saya akan mengurus Muhammadiyah. Jika Muhammadiyah di sana mati maka saya harus menghidupkannya lagi, jika sudah hidup saya harus memberinya nutrisi supaya semakin berkembang dan tumbuh subur lagi.
Sementara waktu terus berjalan, saya harus segera mengambil keputusan. Saya sampaikan kepada Mas Erick bahwa pada prinsipnya saya bersedia, karena saat perbincangan dengan ibu, ibu tidak melarang. Saya juga meminta pendapat kepada Royyan Daulay, dan menurutnya kesempatan baik ini sungguh eman-eman untuk disia-siakan.
Bulatlah keputusan saya untuk berangkat. Mas Erick meminta saya untuk berkomunikasi secara langsung kepada Buya. Bisa lewat telepon atau langsung temui Buya di masjidnya.
Tetapi Allah berkehendak lain. Sebelum saya sempat mengiyakan secara langsung tawaran dari Buya, ibu jatuh sakit. Sakit yang sudah lama sekali tetapi baru kambuh lagi. Saya menimbang ulang keputusan untuk berangkat ke Sumpur Kudus, karena saya sudah terlanjur memberi harapan kepada Buya.
Untuk menyampaikan hal ini saya tidak sampai hati bertemu dengan Buya. Melalui sms, saya akhirnya menghubungi Buya untuk menyampaikan permohonan maaf karena belum bisa memenuhi keinginan Buya untuk menjadi alumni Mu’allimin yang mengabdi di tanah kelahirannya. Mungkin bagi Buya ini hal biasa. Karena ia bisa saja mencari orang lain yang mempunyai integritas dan kemampuan jauh lebih baik dari saya.
“Buya, saya mohon maaf belum bisa memenuhi keinginan Buya untuk mengabdi di Sumpur Kudus. Semua terjadi di luar kehendak saya. Ibu saya sakit dan saya harus tetap di Jawa agar bisa mengurusnya. Saya yakin Buya pasti mengerti, dan saya yakin akan ada pengganti yang lebih baik dari saya untuk berjuang di sana.”
Pesan saya berbalas.
“Tidak mengapa Wildan, semoga ibu lekas pulih. Salam hormat untuk beliau.”
Salam hormat? Untuk apa? Bukannya kecewa, beliau justru mendoakan dan mengirim salam untuk ibu saya yang tidak pernah sekalipun mereka bertatap muka.
Sepenggal kalimat dari seorang tokoh yang bagi saya sangat membumi. Akan biasa jika yang mengucapkan adalah orang biasa, dan terasa istimewa karena yang mengucapkan adalah seorang sosok yang senantiasa mengikat jiwanya erat-erat dengan masjid.
Untuk sebagian kalangan, sikap Buya Syafii kerap kali menuai pertentangan. Hinaan dan celaan sudah menjadi santapan keseharian. Orang-orang menyebut Buya liberal, antek asing, dan sebutan tidak terhormat lainnya. Tetapi Buya sudah kebal. Semakin dicaci, semakin kita sadar keluhuran budi dan kemuliaan hati seorang Buya Syafii.
Dalam tulisan ini saya tidak menjadi seorang pengagum sosok Buya Syafii. Saya hanya seorang mantan santri yang berusaha takzim kepada siapapun yang mengajarkan keluhuran budi. Tidak pandang tua muda, miskin kaya, kaum intelek atau pendebat, selama mereka mengajarkan keunggulan budi dan keluhuran pekerti, mereka akan saya hormati.
Cobalah sekarang anda tanyakan kepada orangtua yang berbondong-bondong memasukkan anaknya ke pesantren. Saya meyakini tujuan mereka memondokkan anaknya bukan supaya anaknya memiliki otak seencer Einstein. Tidak juga untuk menghafal materi matriks dan integral. Apalagi mendalami fisika kuantum yang bisa-bisa bikin otak mereka meledak.
Harapan terbesar mereka adalah supaya kelak putra-putri yang belajar di pondok bisa menjadi manusia dengan hati mulia. Manusia dengan akhlak yang luhur. Tidak mudah menyalahkan, ringan untuk memaafkan.
Jika Anda kenal dekat dengan Buya, sungguh anda akan menjumpai sosok yang begitu rendah hati. Prinsip ringan tangan dan berjuang dengan total. Okelah, mungkin ada beberapa pemikiran atau sikap dari Buya Syafii yang mungkin membuat saya dan anda sedikit gatal dan sangat ingin garuk-garuk kepala. Tetapi sebelum menyalahkan Buya tentang sikapnya, ada baiknya kita mengingat-ingat lagi, kapan terakhir kali kita keramas.
Selamat ulang tahun Buya Syafii. Semoga Allah menganugerahkan umur panjang, kesehatan, dan keberkahan. Aamiin.
Moh Wildan Kurniawan, Alumni Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta