Pancasila kembali hangat menjadi bahan diskusi. Tanggal 1 Juni dianggap sebagai hari lahirnya Pancasila, meskipun banyak menolak. Sisi lain, nilai Pancasila justru sepi dari perbincangan. Padahal, sudah makin kelihatan gejalanya di masyarakat tumbuh suburnya ideologi-ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Makin kuat upaya merongrong Pancasila. Belum lagi dengan makin banyaknya penyimpangan-penyimpangan dalam wujud perilaku dan kebijakan yang bertentangan dengan Pancasila.
Sayangnya, hal itu kurang disadari dengan baik. Pancasila hanya dianggap sebagai dasar negara. Tidak lebih dari itu. Tidak ada upaya mempelajari, mengahayati, dan mengamalkannya. Akibatnya, Pancasila mudah dilupa oleh masyarakat. Padahal, dengan makin hilangnya Pancasila dalam kehidupan masyarakat, maka makin mudah pula ideologi-ideologi menyelusup masuk. Pancasila benar-benar tidak bekerja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Radhar Panca Dahana, sastrawan dan budayawan, Pancasila belum mewujud dalam kehidupan bangsa. Sehingga, “Kita merasa kehilangan ideologis,” tegasnya.
Lebih lanjut, Radhar menganggap, Pancasila kurang atau bahkan tidak dijadikan pijakan moralitas dalam berbangsa. Padahal justru karena kesalahan itulah, bangsa ini sulit terkontrol perilaku moralnya. Kalau sudah demikian, penyimpangan-penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila pun mudah ditemukan. Di sana-sini, sering dijumpai aktivitas politik, ekonomi, dan sosial yang jauh dari nilai Pancasila.
Hal itu tentu membalikkan makna sejarah berdirinya negara ini. Di mana menurut Prof. Dr. Taufik Abdullah, Republik Indonesia adalah negara yang didirikan melalui pengorbanan bangsa. ”Dan Pancasila adalah landasan ideologis yang mewadahi idealisme luhur bangsa,” katanya. Meskipun, lanjut Taufiq, sampai kini pergumulan untuk mendekati cita-cita luhur tersebut masih berlanjut.
Oleh karena itu, mestinya seluruh hasrat hidup bernegara adalah untuk mendekati cita-cita tersebut. Bukan justru membalikkan tata nilai yang sudah disepakati tentang pengakuan terhadap Pancasila. Melihat hal yang demikian, maka upaya mencampuradukkan bermacam ideologi negara adalah bentuk penyimpangan sekaligus pengkhianatan terhadap negara. Sayangnya, upaya mengembalikan cita-cita lama tersebut bukanlah perkara gampang. Ini adalah tantangan tentang bagaimana tetap menjaga Pancasila dan membersihkan dari segala praktik penyimpangannya.
Ini penting, karena menurut Yudi Latif, “Pancasila adalah ideologi besar yang bisa menyatukan bangsa.” Kalau tidak dijaga dan dibentengi, arus globalisme akan merusak Indonesia. Penetrasi globalisme sudah masuk demikian dalam. Itu sebabnya Indonesia menjadi surga investasi bagi warganegara asing. “80% perbankan kita dikuasai asing, 90% pertambangan kita dikuasai asing,” tandas Yudi. Kondisi tersebut jelas bertentangan dengan semangat yang dibawa Pancasila.
Oleh karena itu, mestinya seluruh hasrat hidup bernegara adalah untuk mendekati cita-cita tersebut. Bukan justru membalikkan tata nilai yang sudah disepakati tentang pengakuan terhadap Pancasila. Melihat hal yang demikian, maka upaya mencampuradukkan bermacam ideologi negara adalah bentuk penyimpangan sekaligus pengkhianatan terhadap negara. Sayangnya, upaya mengembalikan cita-cita lama tersebut bukanlah perkara gampang. Ini adalah tantangan tentang bagaimana tetap menjaga Pancasila dan membersihkan dari segala praktik penyimpangannya.
Menjaga nilai Pancasila berarti juga komitmen untuk melaksanakan nilai-nilai di dalamnya. Mendiskusikan Pancasila sebagai dasar filosofi negara, semestinya diikuti dengan mewujudkan idealismenya. Misalnya, sebagaimana dinyatakan Buya Ahmad Safi’i Maarif, bagaimana bangsa Indonesia ini segera mencapai tujuannya, yakni “mengeluarkan bangsa dari himpitan-himpitan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.” Apalagi ini sangat mudah ditemukan landasan teologisnya. Al-Quran demikian banyak memberikan sandaran untuk mengeluarkan umatnya dari himpitan-himpitan tersebut.
Tujuan utama inilah yang mesti mengayomi kehidupan berbangsa kita. Kesadaran mengenai keadilan sosial semestinya menjadi pegangan agar tidak dengan mudah melakukan peyimpangan atau bahkan pengkhianatan. Jadi kalau Muhammadiyah itu menyatakan Pancasila sebagai dasar negara dar al-ahdi wa al-syahadah, “Maka pasal 33 UUD 1945 harus digugat, dihidupkan kembali, dan dijadikan pedoman dalam memperkuat perekonomian bangsa, tentunya dengan keadilan sosial yang merata,” pungkas Buya, Oleh karena itu, pusat perhatian kita harus digeser kepada sisi praksis Pancasila dan ajaran Islam. Terutama untuk mengubah kesenjangan sosial ekonomi yang dari hari ke hari semakin melebar. Fakta sosial ekonomi Indonesia saat ini adalah sebagai akibat dari tidak diperhatikannya sila kelima Pancasila.
Dengan kalimat lain, menurut Al Makin, Dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, “Perlu adanya penafsiran baru agar Pancasila benar-benar menjadi dasar filosofi negara.” [bahan: nisa, thari, gsh; tulisan: ba]
Sumber: Majalah SM No 13 Tahun 2016