Wahyu Hidayat
Hubungan seks merupakan kebutuhan pokok bagi setiap makhluk yang bernyawa, termasuk manusia. Sebagaimana kebutuhan pokok lainnya, hubungan seks harus terpenuhi guna mempertahankan keberlangsungan hidup manusia. Seorang psikolog yang mendalami ilmu seksologi, Zoya Amirin mengatakan, tidak terpenuhinya kebutuhan seks akan berdampak pada fisik dan psikis, seperti kecenderungan untuk mudah marah, tidak bahagia, serta perilaku negatif lainnya seperti bergosip.
Agama Islam merupakan agama yang selalu memperhatikan kebutuhan setiap pemeluknya, termasuk kebutuhan seks sebagaimana disebutkan di awal. Sejalan dengan hal itu, Islam memberikan rambu-rambu jika seseorang ingin berhubungan seks secara sah, yaitu dengan menikah. Salah satu tujuan menikah agar hubungan seks tidak dilakukan sembarangan layaknya hewan yang tak berakal.
Adanya ikatan perkawinan menjadikan hubungan seks yang sebelumnya haram menjadi halal, bahkan sunah. Kendati demikian, pernikahan bukan sekadar melegalkan hubungan seks semata. Ada beberapa tujuan yang mesti tercapai setelah melangsungkan pernikahan, salah satunya menjadikan keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah.
Hukum menikah adalah sunah, sebagaimana disampaikan nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari “wahai para pemuda, jika kalian telah mampu (untuk menikah), maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menentramkan mata dan kelamin.”
Kendati demikian, menikah yang hukum asalnya sunah bisa berubah sesuai dengan keadaan orang yang akan melangsungkan pernikahan. Menikah hukumnya bisa berubah menjadi wajib apabila seseorang telah mampu, baik dari segi fisik maupun finansial, sedangkan jika ia tidak segera menikah dikhawatirkan akan terjerumus pada perbuatan yang bertentangan dengan syariat, seperti berzina.
Sebuah pernikahan juga bisa berubah hukumnya menjadi makruh, apabila orang yang akan melangsungkan pernikahan hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan seksnya sedangkan ia dalam keadaan yang kurang mampu, baik dari segi materi maupun non materi. Pada akhirnya ia tidak mampu untuk menghidupi pasangannya.
Untuk orang yang telah memiliki nafsu yang menggebu namun merasa belum mampu, Allah memerintahan agar bisa menahannya, sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an surat an-Nur 33 “dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya”. Dalam hal ini, Rosulullah menganjurkan untuk berpusa sebagai salah satu cara untuk menahan nafsu, sebagaimana disampaikan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan imam al-Bukohori “bagi yang belum mampu (untuk menikah) maka berpuasalah, karena puasa bisa menjadi tameng baginya”.
Visi dan misi dalam pernikahan
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika hendak melangsungkan pernikahan selain untuk memenuhi kebutuhan seks, salah satunya visi dan misi atau tujuan yang akan dicapai dalam bahtera rumah tangga di masa mendatang. Visi dan misi dalam rumah tangga sangatlah penting. Tanpa keduanya, calon orang tua akan kesulitan dalam mengaplikasikan pola asuh anak. Visi dan misi ibarat denah dalam sebuah peta. Tanpa denah yang jelas, seseorang akan merasa kesulitan ketika menentukan jalan yang akan ditempuh saat hendak mencapai tujuan.
Visi dan misi pernikahan sebaiknya dibuat sebelum melangsungkan pernikahan, bahkan semenjak mencari pasangan. Seseorang yang memiliki visi misi memiliki seorang anak yang saleh harus mengawalinya dengan memilih pasangan yang akan mewujudkan visi dan misinya tersebut. Untuk memperkuat pernyataan ini, penulis mengutip pendapat yang disampaikan salah seorang tokoh pendidikan Islam asal Aleppo, Abdullah Nasih Ulwan. Beliau mengatakan, mendidik anak dimulai dari mencari pasangan hidup. Pasangan hidup yang saleh, otomatis akan membimbing anak-anaknya agar menjadi anak yang saleh. Sebaliknya, pasangan hidup yang jauh dari tuntunan syariat, kemungkinan besar akan mengaplikasikan pola asuh anak yang jauh dari sentuhan agama.
Setali tiga uang, sekretaris umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti mengatakan bahwa pendidikan anak bisa dimulai sejak sebelum anak lahir ke dunia, bahkan sejak memilih orang tua. Ia menambahkan, pemilihan pasangan yang baik merupakan hak dasar anak yang harus dipenuhi oleh calon orang tua.
Memilih pasangan hidup merupakan bagian dari pendidikan. Jika ingin memiliki anak yang berkulatitas, maka harus diawali dengan pemilihan pasangan yang berkualitas.
Dalam Islam, pemilihan calon pasangan hidup disandarkan atas 4 hal. Agamanya, wajahnya, nasab atau silsilah keturunannya, dan yang terakhir hartanya. Agama merupakan hal paling fundamental dalam menentukan pilihan pasangan hidup. Hal ini berkaitan dengan visi dan misi saat menentukan calon pasangan, karena agama-lah yang akan menjadi pegangan dalam menjalani kehidupan.
Selain memperhatikan agama, wajah keturunan serta harta harus menjadi pertimbangan dalam mencari pasangan. Memilih pasangan yang memiliki wajah rupawan tak kalah penting, begitu juga dengan garis keturunan, serta harta yang dimiliki oleh si calon pasangan.
Nabi Muhammad juga memberi anjuran kepada umatnya untuk memilih pasangan yang sekufu. Memilih pasangan yang sekufu atau setara bertujuan agar nantinya tidak terjadi ketimpangan antar pasangan di masa mendatang.
Pernikahan bukanlah sebuah perlombaan, tidak perlu cepat untuk mencapai sebuah “kemenangan”. Menikah juga bukan sprint, namun maraton. Butuh banyak persiapan agar hubungan bisa bertahan hingga kematian yang dapat memisahkan. Jika menikah hanya bertujuan untuk melampiaskan hawa nafsu, lebih baik menikahnya ditunda dulu.
Wahyu Hidayat, SH, Alumni Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta angkatan 2014