Dakwah Kultural – Penyebaran Islam di Nusantara (Malay archipelago) berlangsung damai. Islamisasi dengan cara damai itu, menurut Dawam Rahardjo, ternyata menyisakan ‘masalah’, karena dilakukan dengan mistisisme atau tasawuf. Islam mistik sering dipertentangkan dengan Islam syari’ah. Maka, muncul paham yang menentang Islam mistik dari kalangan modernisme, puritanisme, dan kombinasi dari keduanya.
Muhammadiyah mengusung modernisasi dan purifikasi, sehingga sering dianggap tidak ramah budaya. Moeslim Abdurrahman dalam Muhammadiyah sebagai Tenda Kultural (2013) menyatakan, “Menurut saya, ‘dosa’ gerakan-gerakan purifikasi Islam, mungkin yang harus disesali tidak hanya karena sejarahnya yang ganas dan apriori terhadap seni dan budaya lokal. Tapi, yang lebih parah, kalau seperti Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid ternyata menjadi jumud, karena tidak mampu memperbarui kesadaran Islam yang lebih substansial dan terbuka untuk memaknai bahwa dakwah bukanlah identik dengan propaganda iman. Melainkan, dakwah sesungguhnya adalah setiap kerja religious untuk peradaban dan kemanusiaan.”
Dakwah Kultural
Pada Tanwir 2002 di Bali, Muhammadiyah menyusun konsep Dakwah Kultural, yang menegaskan sikap terhadap kebudayaan. Konsep ini merespons kemajemukan masyarakat dan situasi yang semakin kompleks, supaya para dai Muhammadiyah mampu bersikap arif, bijak, cerdas, dan kreatif dalam berdakwah. Penanaman nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan harus memperhatikan potensi, keadaan, dan kecenderungan manusia (secara individu dan kolektif) sebagai makhluk budaya.
Kajian sosiologi-antropologi menyatakan manusia sebagai homo religious (cenderung mengaitkan sesuatu dengan kekuatan ghaib), homo festivus (senang mengadakan festival), homo symbolicum (memiliki kecenderungan mengekspresikan pemikiran, perasaan, dan tindakannya dalam bentuk simbol-simbol, berupa: bahasa, mitos, tradisi, kesenian). Manusia juga disebut homo ridens (senang humor atau tertawa) dan homo ludens (suka bermain).
Dakwah kultural tidak mengubah wajah Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi munkar. “Dakwah kultural lebih dimaksudkan untuk menjawab tantangan zaman, dengan seluruh wewenangnya untuk memberikan apresiasi terhadap budaya yang berkembang, serta menerima dan menciptakan budaya yang baru dan lebih baik sesuai dengan pesan Islam sebagai rahmatan lil alamin,” (PP Muhammadiyah, Dakwah Kultural Muhammadiyah, 2004, hlm 18). Muhammadiyah hanya mengubah strategi dakwah menjadi lebih dinamis, kreatif, dan inovatif. Dakwah model ini dipraktikkan langsung oleh Nabi saw, sehingga mengundang simpati banyak orang untuk memeluk Islam.
“Beragama Islam tidak berarti harus jauh dari dunia seni atau bersikap antikesenian. Jika beragama Islam merupakan fitrah manusia, maka berkesenian pun adalah naluri manusia. Berpijak pada nilai-nilai fitrah kemanusiaan yang cenderung kepada kebenaran dan kebajikan, maka sesungguhnya berkesenian yang mengekspresikan keindahan itu juga dapat merefleksikan nilai-nilai kebenaran dan kebajikan bagi kemaslahatan hidup umat manusia,” (Dakwah Kultural Muhammadiyah, hlm 55). Seni yang menghasilkan keindahan adalah wujud refleksi dan ekspresi jamaliyah Tuhan yang Maha Indah. (muhammad ridha basri)
Sumber: Majalah SM Edisi 17 Tahun 2019