Muhammad Busyro Muqaddas
Sebagai gerakan keagamaan (Islam) yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan pendekatan ijtihad yang mengambil bidang sosial dan pendidikan, jelas sangat diperlukan adanya kesatuan doktrin tentang nilai-nilai Muhammadiyah sebagai syarat mutlak tercapai dan berhasilnya sosialisasi ajaran dan spirit Islam.
Menegakkan dan menjunjung tinggi ajaran Islam, memerlukan kemampuan diri untuk mensupremasikan Islam dalam keseluruhan sistim nilai lain, dan sekaligus memberi arahan baru yang Islami terhadap realitas sosial yang belum sejalan dengan ajaran Islam. Sistim nilai yang ada dalam Muhammadiyah pada hakikatnya merupakan saripati dari hasil pemahaman Al-Islam para pendahulu, yang barangkali menunjukkan adanya perbedaan dengan organisasi lain sesama Islam, di samping unsur kesamaannya. Menegakkan Islam berarti harus paham betul bahwa sesuatu itulah yang benar-benar Islam, dan seterusnya bahwa yang jelas Islam harus ditegaskan dan yang tidak Islam harus ditinggalkan.
Akan halnya Hadits yang diriwayatkan Turmuzi dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda, “Umat Yahudi telah bercerai berai menjadi 71 atau 72 golongan, dan umat Nasrani pun demikian, dan umatku akan bercera-berai dalam 73 golongan. Dan semuanya akan masuk neraka, kecuali satu aliran. Kata sahabatsahabat, “Siapakah yang satu itu ya Rasulullah? Jawab beliau,’ialah mereka yang mengikuti jejakku dan sahabat-sahabatku”. Maka, sosialisasi pemahaman Al-Islam kepada berbagai lapisan masyarakat dengan latar belakang sosial masing-masing, sungguh memerlukan kemampuan dan ketajaman serta ketepatan penafsirannya mengenai Al-Islam.
Sebagai gerakan Islam yang dituntut memiliki jaringan informasi sebagai alat sosialisasi gagasan keislamannya dengan segala permasalahan dan pemikirannya, maka kondisi yang ada pada Persyarikatan dewasa ini sama sekali belum memadai untuk maksud itu. Bagaimana sebenarnya persepsi tentang Islam dari kalangan pimpinan sampai dengan tingkat Daerah, belum lagi Cabang. Bagaimana pula dengan kalangan organisasi otonom angkatan muda yang kebanyakan di kalangan Perguruan Tinggi umum dengan latar belakang pemikiran dalam bidang tertentu banyak bersumber pada teori-teori dari ilmu-ilmu sosial Barat yang cocok untuk masyarakat borjuis.
Jiwa dari Hadits di atas sebenarnya terletak pada betapa urgennya pemikiran-pemikiran mengenai Islam yang harus dalam posisi tajdid (kembali atau penyesuaian pada kerangka Qur’an dan Sunnah) yang bagi Muhammadiyah telah menjadi salah satu identitasnya (identitas ke-3). Tapi seperti dewasa ini semakin mantap bahwa, berbagai aliran di dalam tubuh umat Islam semakin bervariasi antara lain berupa suburnya kembali bid’ah, takhayul, dunia ilmu hitam yang mengarah kepada syirik. Terdapatnya sementara kalangan yang masih mempersoalkan Hadits.
Pada dimensi lain nampak juga tren pemikiranpemikiran tentang pluralisme, absolutisme yang dinilainya tidak sesuai dengan kehendak Tuhan (?) dan juga pemikiran-pemikiran yang mencerminkan adanya teologi pembebasan maupun teologi perdamaian. Berbagai kecenderungan ini betapapun tidak memiliki dan mencerminkan akar filsafat Islamnya (dengan meletakkan Qur’an dan Sunnah dalam posisi dasariahnya). Namun, sedikit banyak merupakan masalah tersendiri bagi sebuah gerakan Islam seperti Muhammadiyah yang pada dimensi tajdidnya dituntut untuk mampu secara konsepsional dan operasional dalam bidang pemikiran-pemikiran dan sosialisasi mengenai Islam secara utuh, komprehensif. (IM)
Sumber: Majalah SM Edisi 9 Tahun 2019