Gerakan kepanduan Muhammadiyah, Hizbul Wathan (HW), sudah berdiri sebelum Indonesia merdeka. Tepatnya pada tahun 1918, enam tahun setelah berdirinya Muhammadiyah. Fungsi utamanya adalah untuk membina, mendidik, dan mengasuh anak-anak, remaja, dan dewasa menjadi kader bangsa, kader umat, dan kader Persyarikatan.
Dari perananya yang cukup vital itu, HW pernah melahirkan beberapa kader persyarikatan yang sangat populer dan memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan dan kemajuan bangsa, diantaranya ada Soedirman jendral besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) pertama. Melalui perang gerilya yang dipimpinnya, harkat dan martabat pasukan militer Indonesia menjadi lebih dihargai dan dihormati. Bahkan banyak tokoh TNI hari ini yang mengakui bahwa dalam tubuh TNI mengalir darah Jendral Besar yang lahir dari persyarikatan Muhammadiyah tersebut.
Sayang memang, kiprah HW yang begitu melegenda harus dikubur dengan berlakunya surat keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 238/61 tanggal 9 Meret 1961 yang mengharuskan HW bersama dengan organisasi kepanduan lainnya melebur ke Pramuka, satu-satunya kepanduan yang diakui pemerintah. Dengan berat hati Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah membubarkan HW dan merelakan melebur dalam ikatan kepanduan yang diakui pemerintah itu.
Sekian tahun lamanya, ketika rezim penguasa sudah berganti, gerakan kepanduan HW dibangkitkan kembali oleh PP Muhammadiyah pada 18 November 1999 dengan surat keputusan nomor 92/SK-PP/VI-B/1.b/1999. Sejak itu, HW kembali memposisikan dirinya untuk mengemban tugas mulia, yaitu membentuk kader pembela tanah air yang bertauhid dan berakhak mulia. Namun agaknya, diusianya yang masih muda (setelah dibangkitkan kembali), langkah HW kembali terhambat dengan disahkanya Undang-undang Pramuka no 12 tahun 2010.
Berdasarkan keterangan Uun Harun Syamsuddin Ketua Kwartir Pusat (Kwarpus) HW, sebenarnya awal mula ada rancangan Undang-undang Pramuka, HW sempat diundang oleh komisi X DPR RI. Waktu itu disepakati bahwa Undang-undang itu terkait kepanduan secara luas bukan Undang-undang Pramuka sebagaimana sekarang. “Tapi ternyata kesepakatan hari itu tidak dibawa ke sidang paripurna DPR,” katanya.
Menurutnya, dari diskusi para ahli di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), UU Pramuka memang cacat hukum karena tidak ada sanksi pidana di dalamnya. Sebagaimana kita ketahui, lanjut Uun, undang-undang itu mewajibkan seluruh sekolah untuk menggunakan Pramuka sebagai ekstrakulikuler. Tapi perintah itu tidak diiringi dengan penjelasan sanksi pidana terhadap mereka yang tidak menjalankan UU tersebut. “Untuk merubah undang-undang itu, tidak ada cara lain selain Judicial Review,” tegas Uun.
Hal serupa juga disampaikan Haedar Nashir Ketua Umum PP Muhammadiyah pada Muktamar ke-3 HW yang berlangsung di Surakarta beberapa waktu lalu. Menurutnya, tidak ada jalan lain bagi HW selain melakukan Judicial Review karena peraturan itu sudah diundang-undangkan. “Jika itu Undang-undang, maka tidak ada jalan lain untuk merubahnya kecuali melakukan Judicial Review,” tuturnya kepada peserta Muktamar.
Sejalan dengan itu, Ketua Umum Kwarpus HW terpilih Muchdi Purwoprandjono juga menegaskan akan ditempuhnya jalur itu demi berkembang dan majunya HW. Janjinya, Judicial Review tetap akan dilakukan Muhammadiyah agar HW tidak dirugikan lagi. Karena langsung maupun tidak, Muchdi menambahkan, undang-undang itu lebih banyak merugikan HW sebagai gerakan kepanduan yang lahir sebelum bangsa ini merdeka. “Insya Allah paling lambat tahun kedua periode ini, langkah itu sudah direalisasikan. Kita sedang menyiapkan itu, lebih tepatnya sedang menyempurnakannya,” ucapnya. (gsh)
Sumber: Majalah SM No 16 Tahun 2016