Muhammadiyah dan Transformasi Surau di Minangkabau
Oleh : Dewi Ayu Larasati, SS, M. Hum
Kedudukan Surau di Minangkabau
Orang Minang identik dengan Islam dan karakternya melekat dengan filosofi adat istiadat yang dianut. Dengan kata lain Adat Minang dilebur secara total ke dalam konsep masyarakat Islam.
Pada mulanya sebelum agama Islam datang, filsafat adat di Minangkabau mendasarkan diri pada ketentuan alam, dan setelah Islam masuk ke Minangkabau, maka filsafat adat Minangkabau disempurnakan oleh hukum agama (syara’). Sehingga mulailah terjadi persentuhan yang saing tarik-menarik antara adat dan agama.
Pepatah adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah merupakan puncak dari keseluruhan proses persentuhan, perbenturan, penyesuaian, dan perpaduan antara adat yang telah datang terlebih dahulu di Minangkabau dengan agama Islam yang datang kemudian. Realitas yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, menjadikan agama dan adat sebagai pandangan dan sikap hidup. Adat seiring sejalan dengan syara’. Sehingga adat dan syara’ tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, tidak dapat bertikai satu sama lain, kalau bertikai akan batal.
Apabila kedua sarana ini telah berperan sempurna, maka akan didapati di sekelilingnya masyarakat yang hidup dengan memiliki akhlak perangai yang terpuji dan mulia (akhlakul-karimah) sesuai bimbingan syarak.
Dalam buku Ayahku, Buya Hamka menuturkan antara adat dan syara’ di Minangkabau, payahlah menyisihkan karena ia bukan minyak dengan air, melainkan berpadu satu sebagaimana perpaduan minyak dengan air dalam susu, karena Islam bukan tempel-tempelan dalam adat Minangkabau, melainkan suatu susunan Islam yang dibuat menurut pandangan hidup orang Minangkabau.
Demikianlah kedudukan pertalian adat dengan agama di Minangkabau sehingga salah seorang ahli adat, Datuk Panduko Alam—pengarang Rancak di Labuh—pernah mengatakan, “Walau bagaimanapun banyak ilmu, walau bagai bintang di langit, bagai pasir di tepi pantai, ujungnya hanya dua perkara, (yaitu) pertama, iman, dan kedua, Islam”.
Salah satu lembaga Islam yang penting di Minangkabau adalah surau. Surau merupakan lembaga pribumi yang telah menjadi pusat pengajaran Islam yang menonjol, juga titik tolak Islamisasi Minangkabau.
Surau sangat popular dalam nagari, tak seorangpun yang tidak mengenal surau. Surau juga menjadi identitas suatu kaum dan nagari.
Surau juga tidak terlepas dari adat Minang. Bangunan surau merujuk pada bangunan khas suku Minang. Atapnya berbentuk runcing seperti tanduk kerbau, arsitektur bangunan ini terlihat seperti perpaduan antara rumah Gadang dan masjid di Indonesia pada umumnya.
Dalam Ensiklopedi Islam, surau adalah tempat umat belajar mengaji, sarana pendidikan atau madrasah tarbiyah bagi anak nagari di Ranah Minangkabau. Bimbingan tauhid ditanamkan turun-temurun melalui tradisi surau.
Namun surau dalam tradisi Minang tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah. Kegiatan adat dan sosial juga dapat dilakukan di surau. Surau pun menjadi tempat penanaman identitas melalui pembelajaran dan penggemblengan jati diri dan keterampilan hidup orang Minangkabau. Berlatih pidato adat, berpetatah-petitih, bermain silat dan berkesenian randai, adalah bentuk pelatihan konkrit lainnya yang diperoleh di surau selain sebagai tempat melaksanakan rutinitas ibadah, belajar mengaji dan maknanya. Melalui surau telah juga terbantu proses menanamkan nilai-nilai budaya, toleransi, kepemimpinan, kerjasama dan kejujuran.
Didikan surau telah banyak mencetak orang-orang besar di negeri Indonesia ini, seperti Buya Hamka, Bung Hatta, H. Agus Salim, dan Sutan Syahrir.
Dengan demikian, surau menjadi sebuah sarana komprehensif untuk ajaran budaya, ajaran falsafah kehidupan, dan ajaran agama Islam.
Ungkapan berikut menggambarkan pentingnya surau bagi masyarakat Minang. Nagari mempunyai masjid (ba-musajik) dan surau (ba-surau) tempat beribadah,
Musajik tampek ba ibadah,
tampek balapa ba ma’ana,
tampek baraja Al Qur’an 30 juz,
tampek mangaji sah jo batal.
Artinya, masjid dan surau menjadi pusat pembinaan umat untuk menjalin hubungan masyarakat yang baik (hablum-minan-naas) dan terjaminnya pemeliharaan ibadah dengan Khalik (hablum minallah).
Eratnya pertalian adat dan syara’ inilah yang membuat masyarakat Minangkabau meyakini surau sebagai tempat di mana orang belajar agama Islam dan sekaligus belajar adat. Dengan begitu, lembaga ‘surau’ memainkan peranan yang amat penting dalam membina dan mendidik masyarakat untuk memahami adat dan mengamalkan syariat.
Muhammadiyah dan Islamisasi Surau
Menurut Dr. Suaidi Asyari, M.A., Ph. D dalam bukunya Nalar Politik NU-Muhammadiyah: Overcrossing Java Sentris, tidak ada satu kelompok muslim pun di negeri ini yang benar-benar menjalankan Islam tanpa tercampur dengan tradisi lokal. Dalam hal ini, Harry J. Benda menegaskan bahwa “Indonesia belum sepenuhnya terislamisasikan”.
Jika kita tilik ke sejarah, hubungan antara agama dan kebudayaan memiliki korelasi yang kuat dalam tatanan hidup masyarakat Indonesia yang kompleks dengan keragaman budayanya. Faktor korelasi antara agama dan budaya ini pula yang menyebabkan adanya perbedaan kultur keagamaan antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Seperti halnya keberhasilan proses Islamisasi di Indonesia memaksa Islam sebagai pendatang, untuk mendapatkan simbol-simbol kultural yang selaras dengan kemampuan penangkapan dan pemahaman masyarakat yang dimasukinya demi pengakuan dunia Islam. Langkah ini merupakan salah satu watak Islam yang pluralistis yang dimiliki semenjak awal kelahirannya.
Dengan demikian perkembangan Islam di Nusantara berkaitan erat dengan simbol-simbol kultural atau aset-aset lokal. Dapat dikatakan bahwa aset lokal merupakan mediator-fasilitator sekaligus menjadi pusat kegiatan keislaman dan pembangunan peradaban. Di Minangkabau, aset lokal yang paling strategis digunakan dalam penyebaran agama Islam adalah surau.
Surau yang menjadi lembaga penting dalam transformasi pengetahuan keagamaan Islam di Minangkabau telah mengalami dinamika kultural atau transformasi kultural.
Latar belakang kehadiran surau pada awalnya bukanlah dilatarbelakangi oleh budaya Islam. Surau di Minangkabau sudah ada sebelum kedatangan Islam. Surau dalam sejarah Minangkabau diperkirakan berdiri pada 1356 M yang dibangun pada masa Raja Adityawarman di Kawasan bukit Gonbak. Seperti kita tahu dalam lintasan sejarah Nusantara, bahwa pada masa ini adalah masa keemasan bagi agama Hindu-Budha, maka secara tidak langsung dapat dipastikan bahwa eksistensi dan esensi surau kala itu adalah sebagai tempat ritual bagi pemeluk agama Hindu-Budha.
Menurut Azyumardi Azra, secara bahasa “surau” berarti “tempat” atau “tempat penyembahan”. Menurut pengertian asalnya, surau adalah bangunan kecil yang dibangun untuk penyembahan arwah nenek moyang. Sebagai tempat ibadah, yang merupakan simbol keluhuran dan ketinggian, surau paling awal biasanya didirikan di tempat paling tinggi, atau paling tidak, lebih tinggi dari bangunan lain. Sehingga bangunan surau dikesankan sebagai bangunan yang ‘mistis’, karena memiliki ‘keramat’ atau sakral yang dipercayai oleh segenap warga disekelilingnya.
Di samping berfungsi sebagai tempat peribadatan bagi pemeluk agama Hindu-Budha, surau pada masa itu juga sebagai tempat berkumpul para pemuda untuk mempelajari pengetahuan suci dan tempat memecahkan masalah sosial.
Kedatangan Islam ke Sumatera Barat telah memberikan pengaruh dan perubahan bagi kelangsungan surau. Surau mulai terpengaruh dengan panji-panji penyiaran agama Islam. Dengan waktu yang tidak lama, surau kemudian mengalami islamisasi, dengan ditandai beberapa aktivitas keagamaan.
Namun di beberapa daerah, bekas surau Hindu-Budha, terutama yang terletak di daerah terpencil seperti puncak bukit, hilang dengan cepat karena ekspansi Islam. Karena itu, surau Islam biasanya dapat ditemukan dekat tempat tinggal penduduk, dan bukan lagi mengambil tempat terpencil sebagaimana di masa agama Hindu-Budha. Hal ini disinyalir bahwa jika surau berdiri dekat dengan lingkungan komunitas masyarakat, maka fungsi surau akan semakin efektif. Mereka sewaktu-waktu bisa melakukan shalat, dzikir dan i’tikaf dengan tanpa menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan. Dengan demikian, peran surau semakin tinggi dan dekat di hati masyarakat.
Tetapi, sisa-sisa karakter sakral surau pra-Islam dalam beberapa kasus masih dapat dilihat, khususnya pada bagian-bagian atapnya yang bertingkat. Di Minangkabau, banyak surau memiliki sejumlah puncak atau gonjong yang merefleksikan simbol-simbol adat. Maka, adaptasi simbol-simbol adat pra-Islam merupakan suatu pengakuan Islam terhadap lingkungan dan budaya lokal yang masih hidup.
Sebutan ‘surau’ juga dipertahankan oleh kaum Muslim tanpa mempertanyakan keberadaan asal-usulnya. Karena yang lebih penting masa itu adalah adanya sarana yang efektif untuk melakukan menyiarkan agama Islam. Nama atau label bukanlah hal yang prinsip dan yang lebih esensi adalah semangat dalam menciptakan suasana dan aktivitas di kalangan umat Islam dalam memperkokoh keimanan dan keislamannya. Nilai-nilai semangat inilah yang dipegangi umat Islam hingga surau dikenal khalayak luas sepanjang sejarah.
Dalam proses Islamisasi yang “indigeneous” itu Islam Indonesia membentuk muslim yang lembut, damai, toleran, dan harmoni. Menurut Esposito (1997), wajah Islam Indonesia lebih lembut, dibentuk oleh angin tropis dan pengalaman multikultural yang panjang. Inilah wajah Islam yang sekarang populer disebut Islam moderat atau Islam tengahan (wasithiyah).
Muhammadiyah merupakan kekuatan Islam kultural yang telah terbukti memberikan kontribusi besar pada keIndonesiaan, termasuk di ranah Minang, Sumatra Barat. Muhammadiyah berkarakter dan berkultur moderat-wasathiyah, bukan ekstremisme. Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbuka dengan perubahan dengan perkembangan zaman sehingga hadir di Indonesia sebagai jenis Islam yang mampu menyesuaikan dengan kondisi Indonesia.
Dalam penyampaian dakwah, Muhammadiyah memiliki citra sebagai pelaku dakwah kultural yaitu dakwah yang lebih ramah terhadap tradisi dan budaya lokal. Dakwah kultural Muhammadiyah dimaksudkan agar penyebaran agama Islam lebih lentur dan fleksibel. Dengan perspektif melihat budaya lokal dari sisi dalam, Muhammadiyah menjadikan kearifan lokal sebagai media dakwah.
Surau Nagari Lubuk Bauk yang terletak di daerah Nagari Lubuk Bauk, Batipuh Baruh, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat, konon menjadi tempat awal berkembangnya organisasi Muhammadiyah di Lubuk Bauk, kemudian menyebar sampai kauman Padang Panjang.
Menurut cerita masyarakat setempat, Surau Lubuk Bauk didirikan oleh para ninik mamak yang berasal dari suku Jambak, Jurai Nan Ampek Suku di atas tanah yang diwakafkan oleh Datuk Bandaro Panjang.
Surau ini memiliki peran besar dalam melahirkan santri dan ulama yang selanjutnya menjadi tokoh pengembang agama Islam di Sumatera Barat. Menurut sejarah, Buya Hamka sebagai tokoh Muhammadiyah pernah tinggal dan belajar mengaji di surau ini dari tahun 1925 hingga tahun 1928. Di surau tersebut juga menjadi insipirasi Buya Hamka melahirkan novel yang sangat terkenal yakni Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Surau ini pertama kali dibangun pada tahun 1809 dengan desain bangunan menunjukkan perpaduan adat dan agama (Diknaker Kab. Tanah Datar, 2001:31). Surau ini terdiri dari empat tingkat. Susunan atap bertingkat dengan bangunan menara melambangkan falsafah hidup masyarakat Minangkabau. Atap menara dibuat bersusun membentuk kerucut dengan bentuk susunan buah labu dihiasi kelopak daun mirip padmanaba pada bangunan Hindu.
Padmanaba berarti pusat tempat tumbuhnya bunga teratai. Mitos dari agama Hindu, Padma tumbuh dari pusat Dewa Wisnu (salah satu Dewa Trimurti), yang ketika terbangun dari semedinya di atas ananta, menerima wahyu bahwa melalui padma tersebut akan lahir Dewa Brahma. Padma yang keluar tersebut merupakan perlambang keberanian, kesucian, dan kemajuan. Dalam babad pewayangan, Dewa Wisnu dan Batara Kresna sebagai titisannya disebut Padmanaba. Kuncup Padmanaba melambangkan cita-cita pertumbuhan manusia yang suci, beriman, dan bertaqwa.
Nilai estetis dan religi Hindu tersebut masih dipertahankan hingga saat ini tanpa perdebatan. Bahkan eksterior berupa ukiran Minang melekat pada dinding menara dan dinding gonjong berupa ukiran motif kaluak paku, ukiran aka cino, hingga motif itiak pulang yang didominasi warna merah, kuning, dan hijau tetap dipertahankan dan semakin menambah keunikan Surau Lubuk Bauk. Cap izin Belanda yang berupa mahkota Kerajaan Belanda cukup menjadi bukti sejarah akan eksistensi surau ini di zaman kolonial.
Dengan adanya simbol-simbol lokal dalam surau tersebut menunjukkan ulama-ulama Muhammadiyah yang berperan besar dalam penyebaran agama di surau tersebut lebih kompatibel dengan budaya lokal dan tidak dalam posisi yang selalu antonim. Dengan demikian, Islam tidak selalu dalam posisi berhadapan dengan tradisi atau budaya lokal, akan tetapi memberi substansi dan makna yang mendalam.
Hingga sekarang surau ini masih eksis dengan megahnya berdiri sebagai kebanggaan dan kekayaan masyarakat Batipuah. Surau Lubuk Bauk ini selain difungsikan untuk tempat ibadah umat Islam, juga dikhususkan untuk menjadi pusat pendidikan non-formal masyarakat Minangkabau seperti belajar mengaji dan lain-lain.
Dalam perkembangannya Surau Lubuk Bauk tersebut termasuk salah satu benda peninggalan sejarah yang telah dilakukan kajiannya pada tahun 1984 oleh Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatra Barat bahkan juga sudah menjadi Cagar Budaya Kabupaten Tanah Datar. Surau ini juga menjadi salah satu daya tarik wisata terkenal di Tanah Datar, apalagi surau ini pernah dijadikan salah satu lokasi syuting film berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.
Purifikasi Surau
Biarpun, sesungguhnya teologi Muhammadiyah berwajah praksis, namun tidak berarti orientasinya bersifat transformatif, dalam arti memperjuangkan cita-cita emansipatoris secara sosial dan ‘memihak’ kepada yang tertindas. Gerakan Islam Muhammadiyah yang lahir sebagai gerakan purifikasi, sudah tentu, meletakkan soal ortodoksi sebagai ciri yang utama. Dakwah kultural dimaknai sebagai proses ‘humanisasi’ sosial dan juga ‘apresiasi’ terhadap budaya sebagai bentuk kreatifitas, walau rujukan ortodoksi tidak gampang ditinggalkan.
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik.
Muhammadiyah secara etimologis berarti pengikut Nabi Muhammad, karena berasal dari kata Muhammad, kemudian mendapatkan ya nisbiyah, sedangkan secara terminologi berarti gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dan tajdid, bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah.
Muhammadiyah berpandangan bahwa Agama Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu’amalat dunyawiyah yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan harus dilaksanakan dalam kehidupan perseorangan maupun kolektif. Dengan mengemban misi gerakan tersebut Muhammadiyah dapat mewujudkan atau mengaktualisasikan Agama Islam menjadi rahmatan lil-’alamin dalam kehidupan di muka bumi ini.
Ketidakmurnian ajaran Islam yang dipahami oleh sebagian umat Islam Indonesia, sebagai bentuk adaptasi tidak tuntas antara tradisi Islam dan tradisi lokal nusantara dalam awal bermuatan faham animisme dan dinamisme. Sehingga dalam prakteknya umat Islam di Indonesia memperlihatkan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, terutama yang berhubungan dengan prinsip akidah Islam yang menolak segala bentuk kemusyrikan, taqlid, bid’ah, dan khurafat. Sehingga pemurnian ajaran menjadi pilihan mutlak bagi umat Islam Indonesia.
Pada awal abad ke-20, surau menjadi sasaran dan target pembaruan Kaum Muda yang dipelopori gerakan Muhammadiyah, karena surau dipandang memegangi paham dan praktik keagamaan yang “tradisional”, yang penuh dengan bid’ah, khurafat, dan takhayul, dan karena itu perlu diberantas.
Menurut Azyumardi Azra dalam Islam Subtantif, kaum pembaru, khusus angkatan Haji Rasul atau yang lebih dikenal dengan Haji Abdul Karim Amrullah, ayah dari Hamka, dan Abdullah Ahmad menganggap bahwa surau-surau hanyalah sumber bidah, khurafat, dan takhayul karena memang di sana banyak dilakukan praktik tasawuf. Mereka menganggap surau itu ketinggalan zaman dan harus dibuat sekolah-sekolah Islam. “Muncullah Diniyah, Thawalib, dan lain-lain yang merupakan sekolah-sekolah Islam modernis,” tulis Azra.
Kala itu, Kaum Tua yang memiliki Perhimpunan tarekat dua aliran utama Sufi yang giat di daerah Minangkabau—Naksyabandiyah dan Syattariyah mendirikan tempat belajar (surau) dan memiliki murid-murid yang sangat taat kepada syekh atau guru yang mengajarkan tentang keyakinan Islam.
Hal inilah yang ditentang gerakan Paderi dan gerakan Kaum Muda. Gerakan ini bertujuan untuk membersihkan ajaran Islam di Sumatera Barat dari takhayul dan khurafat.
Kaum muda (modernis) yang diwakili oleh Muhammadiyah berpendapat bahwa ijtihad mengenai pokok-pokok agama itu lebih penting daripada bersandar pada tradisi ulama-ulama masa lalu.
Kalau banyak tokoh Paderi mengikuti model Arab yang mendukung perang jihad sebagai cara utama memperluas pengaruh mereka, namun Kaum Muda menyadari perlunya kompromi dengan para pemimpin adat dalam upaya menghilangkan penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat dan untuk mendapatkan pengikut. Sikap moderat itulah yang dianut Muhammadiyah.
Karena itu, Kaum Muda mendirikan madrasah modern sebagai alternatif pendidikan surau. Dan mereka sukses besar dengan upaya ini, sehingga bahkan banyak surau ditransformasikan menjadi madrasah. Akibatnya murid surau merosot hebat. Pada 1933, surau dilaporkan memiliki murid hanya 9.285 orang, sementara madrasah mempunyai 25.292 pelajar. Dalam masa kemerdekaan, hanya beberapa surau yang bertahan, dan bahkan di masa lebih akhir sebagiannya mulai menamakan diri sebagai “pesantren”. Adapun surau sendiri kemudian menjadi sekadar tempat belajar Al-Qur’an atau area sosialisasi anak-anak dan remaja.
Modernisasi – Transformasi Surau
Di Minangkabau munculnya gerakan pembaharuan Muhammadiyah lebih banyak didasarkan pada lokasi-lokasi dimana terdapat beberapa surau di beberapa tempat, dimana tenaga pengajarnya adalah para pemuda yang telah melaksanakan ibadah haji dan menetap beberapa saat di sana untuk mempelajari agama, dan setelah mereka pulang ke kampung halamannya mereka mengajar agama di tempat mereka berasal. Sebagaimana visi rantau Minangkabau untuk menuntut ilmu di luar dan kembali untuk mengembangkan daerahnya.
Haji Rasul (1879-1945), salah satu pemimpin ulama kaum muda, adalah orang pertama yang memperkenalkan Muhammadiyah ke wilayah Minangkabau. Pada saat melakukan perjalanan panjang ke Jawa, Haji Rasul menjumpai Jawa sudah mengalami kegiatan reformisme dan antikolonial. Dia menemukan orang yang lebih sejalan dengannya, Kiai H. Ahmad Dahlan, yang pada 1912 mendirikan Muhammadiyah, organisasi modernis-reformis yang mengikuti semangat Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani. Rasul terkesan dengan semangat pembaruan Islam Muhammadiyah dan inovasinya dalam pendidikan.
Pada saat itu Kyai Dahlan sedang mentransformasi pendidikan Muslim di sekolah-sekolah Muhammadiyah dengan restrukturisasi kurikulum agar mengikuti praktik Barat, standardisasi kelas, dan pengajaran dalam kelas. Haji Rasul pun mendapat angin baru di Jawa. Dia kembali ke Sumatera “membawa semangat baru”, kata Hamka.
Pada 1918, Rasul menata ulang Surau Jembatan Besi mengikuti upaya Dahlan di Jawa, menerapkan struktur tiga tingkatan kelas, lalu tujuh tingkatan kelas. Dia memperkenalkan buku-buku pelajaran baru, termasuk karya tokoh rasionalis Andalusia Ibnu Rusyd. Dia juga memperkenalkan penggunaan meja dan papan tulis.
Buya Hamka, anak Haji Rasul yang juga pernah menempuh pendidikan surau, dalam bukunya yang berjudul Ayahku, mengatakan bahwa murid-murid surau sebelum adanya pembaharuan, dalam belajar duduk di lantai mengelilingi sang guru untuk menerima pelajaran yang diberikan oleh guru mereka. Murid-murid tersebut membentuk halaqah, yang berbentuk lingkaran dan semuanya menerima pelajaran yang sama. Tidak dirancang suatu kurikulum tertentu, berdasarkan umur, lama belajar, atau tingkat-tingkat pengetahuan.
Kedatangan Haji Rasul telah membawa perubahan yang besar dalam lembaga ini. Sasaran utama dari Haji Rasul adalah kurikulum dari Surau Jembatan Besi. Pelajaran yang lebih ditekankan adalah pelajaran ilmu pengetahuan berupa kemampuan untuk menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya. Tekanan pada pelajaran ini dimaksudkan untuk memungkinkan murid-murid mempelajari sendiri kitab-kitab yang diperlukan dan dengan demikian secara lambat laun dapat mengenal Islam dari kedua sumber utamanya yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Kepada murid-murid ditanamkan semangat baru, yaitu semangat berdiskusi, berpikir bebas, membaca, memahami, dan berkumpul atau berorganisasi. Kitab-kitab mulai dibaca dan didiskusikan. Murid-murid boleh bertanya dan mendebat. Surau Jembatan Besi ini akhirnya berkembang menjadi lembaga pendidikan yang lebih penting dan mungkin paling berpengaruh di Minangkabau, yaitu Sekolah Thawalib.
Sistem pendidikan yang dikembangkan oleh Haji Rasul merupakan salah satu faktor yang mendorong Sumatera Thawalib untuk menyusun salah satu programnya yang lebih jelas dan terarah dalam bidang pendidikan, yaitu mengubah berbagai pengajian surau di daerah-daerah yang strategis menjadi sekolah-sekolah Islam untuk mengimbangi sekolah-sekolah sekuler yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Minangkabau. Lahirlah Thawalib School atau Perguruan Thawalib atau Sumatera Thawalib dengan nama lainnya. Sebagai lembaga pendidikan agama plus umum, semua bersatu dalam satu corak, ide, dan tujuan, yaitu menandingi sekolah umum, membendung pengaruh Kristen, dan melahirkan cendikiawan Muslim untuk kemajuan Islam dan ummatnya.
Dari hal tersebut, surau telah mengadopsi beberapa unsur pendidikan modern—yang telah diterapkan kaum reformis—khususnya sistem klasikal dan perjenjangan. Gerakan reformis-modernis Islam di surau ini juga muncul seirama dengan bangkitnya nasionalisme Indonesia melawan kolonial. Surau pun dimanfaatkan para ulama untuk membangkitkan semangat nasionalisme umat.
Orientasi surau sebagai lokus pendidikan Islam dan adat generasi muda Muslim Minangkabau telah mengalami berbagai perubahan dalam setiap perkembangan zaman. Walau eksistensi surau mulai goyah dengan munculnya madrasah sebagai hasil modernisasi pendidikan, selalu ada kerinduan untuk membangkitkan kembali surau dalam “gerakan kembali ke surau”. Peran instrumental surau dalam penguatan keislaman dan keadatan Minangkabau konon, “tak lakang di paneh, tak lapuak di hujan”.
Dewi Ayu Larasati, SS, M. Hum, Staf Pengajar Universitas Sumatra Utara