Sebagian masjid dibuka untuk shalat berjamaah. Pusat keramaian di sejumlah kota mulai didatangi publik. Warga masyarakat bersemangat ke masjid dan beraktivitas publik tertentu sebagai suasana baru memasuki apa yang oleh pemerintah disebut New Normal. Mungkin masyarakat berpikirnya sederhana, normal-baru itu keadaan sudah normal seperti semula.
Di sejumlah masjid bahkan mulai dilakukan shalat jum’at. Alhamdulillah, semoga semua menuju suasana membaik sebagaimana harapan kita. Siapa yang tidak ingin kita landai dan akhirnya terbebas dari pandemi Covid-19 yang berat ini?
Namun pemandangan kontras justru diumumkan oleh Juru Bicara Pemerintah untuk Percepatan Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto.
Dia menyebutkan per hari Sabtu (6/6/2020) kasus konfirmasi positif mencapai 993 orang, pada hari sebelumnya Jum’at menembus 703 orang positif. Sementara itu jumlah kasus sembuh 464 orang, dan kasus meninggal 31 orang. Secara akumulatif, jumlah kasus konfirmasi positif hingga Sabtu pukul 12.00 WIB mencapai 30.514. Sementara kasus sembuh secara akumulatif mencapai 9.907, dan kasus meninggal secara akumulatif menjadi 1.801. Ironis memang, antara aktivitas publik yang dilonggarkan dengan menaiknya angka positif Covid-19.
New Normal makin memerlukan koridor yang jelas. Apakah keadaan normal baru itu seperti apa, apa tidak dikaitkan dan mensyaratkan adanya kondisi relatif landai wabah Covid-19, atau tidak masalah tetap naik? Kapan sebenarnya normal baru dimulai dan apa jaring pengaman sosialnya? Bagaimana normal baru dalam penanganan di Rumah Sakit dan melindungi para petugas kesehatan bila angka positif Covid-19 tetap naik? Apa yang harus disiapkan masyarakat hidup di tengah normal baru terutama kedisplinan? Siapkah pemerintah dan masyarakat sendiri dengan segala akibat dan dampak dari penerapan New Norma? Terutama ketika terjadi hal-hal yang negatif dan tidak kita inginkan bersama.
Karenanya kalau ada pihak atau siapapun yang bersemangat mendorong aktivitas umum tanpa berpijak pada data pemerintah sendiri tentang naiknya angka positif Covid-19 serta siap dengan segala kemungkinan dan pengamanan, tentu kuranglah arif. Jangan merasa seolah wabah sudah berakhir, apalagi dengan sikap terlalu percaya diri. Sebab betapa berat ketika orang tertular dan harus bergulat menanganinya, yang akhirnya banyak korban jiwa. Para dokter dan petugas kesehatan yang berada di Rumah Sakit pun sangat berat bebannya, yang bertugas demi menyelamatkan jiwa manusia (hifdz nafs) di garis depan sekaligus menjadi benteng terakhir untuk kemanusiaan.
Apa yang dapat kita petik dari dua kenyataan kontras tersebut? Semua berhak memasuki suasana baru jika itu sudah menjadi pilihan niscaya, tetapi ikuti protokol kesehatan dan kebijakan pemerintah setempat dengan kedisiplinan tinggi. Ibarat orang sakit, kalau sudah dinyatakan sehat dan boleh pulang dari rumah sakit, namun tetap harus hati-hati dan menyesuaikan diri. Jangan memaksakan diri secara berlebihan tanpa mempertimbangkan kondisi. Pemerintah pun harus siap dengan segala kemungkinan dan konsekuensinya. Jangan seperti kasus bantuan sosial yang tidak singkron serta antar instansi atau pejabat yang saling berbeda pandangan dan penerapan.
Hal yang tidak kalah pentingnya menyamakan persepsi dan langkah tentang New Normal. Bangun dan kembangkan kebersamaan, jangan silang sengketa. Antarwarga tidak perlu saling bersengketa tentang keadaan. Berbeda pendapat normal di alam demokrasi, nanamun tidak perlu terpolarisasi dan memanfaatkan situasi berat ini dengan kegaduhan. Kasihan masyarakat di bawah yang beban hidupnya makin berat. Pun para petugas kesehatan yang bertugas dengan resiko berat. Jika semua pihak memang ingin New Normal siapa yang dapat mencegah? Istilah bahasa Jawa, “monggo kemawon”, dipersilakan kepada semuanya. Jika itu merupakan pilihan!
Namun satu hal yang nyata dan tidak dapat dibantah oleh siapapun, angka positif Covid-19 masih menaik dan belum melandai sebagaimana diumumkan resmi oleh Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto. Sementara pihak rumah sakit, dokter, dan para petugas kesehatan di lapangan masih berjuang keras menjadi benteng terakhir dalam hadapi Covid-19. Mereka tetap setia melayani pasien sambil menjaga diri agar tidak tertular karena merekalah yang langsung berhadapan dengan pasien di garda depan. Semoga semuanya dilindungi Allah SWT.
Karenanya sikap seksama atau waspada semua pihak sangat diutamakan. Pemerintah dan warga masyarakat harus sama-sama bertanggungjawab dengan seksama. Dalam Edaran PP Muhammadiyah nomor 05/EDR/I.0/E/2020 ada pernyataan penting pada poin 5., yang bunyinya “Umat Islam pada umumnya dan warga Muhammadiyah pada khususnya hendaknya tetap waspada disertai ikhtiar untuk mengatasi berbagai masalah pandemi Covid-19 baik kesehatan, sosial, maupun ekonomi. Bersikap berdasarkan agama (dīniyyah) sesuai manhaj Tarjih dan ilmu pengetahuan (ilmiah) tetap diutamakan. Dalam beribadah hendaknya tetap mengutamakan pertimbangan kesehatan, kemaslahatan, keselamatan, dan keamanan sesuai maqāṣid al-syarī’ah untuk menghindari mafsadat dan mengurangi penularan Covid-19.”.
Khusus bagi warga, kader, dan pimpinan Muhammadiyah di semua tingkatan dan ortom, UPP, dan amal usaha ikuti kebijakan PP Muhammadiyah. PP Muhammadiyah dalam mengambil kebijakan mempertimbangkan banyak aspek. Kebijakan diambil karena mempertimbangkan situasi. Situasi itu tidak statis, selalu berubah. Muhammadiyah tidak berada di ruang vakum. Kebijakan apapun ada plus-minusnya, dan harus diambil keputusan. Hukum pun dapat berubah sesuai ilatnya. Karenanya pahami dan ikuti garis kebijakan Persyarikatan dengan sikap ikhlas, taat azas, dan akhlak atau etika yang luhur dalam berorganisasi. Jika organisasi tidak mengikat anggotanya, di mana letak komitmen anggota terhadap Muhammadiyah sebagai jam’iyah. Di sinilah pentingnya setiap anggota merasa menjadi bagian dari organisasi Muhammadiyah!