Mukhaer Pakkanna
Sekelabat, saya teringat buku the Asian Drama (1968) karya sosiolog kenamaan dunia, Gunnar Myrdal. Dua jenis karakter budaya negara, ujar Myrdall, yakni, hard state dan soft state. Budaya hard state, katanya, adalah jenis budaya yang tegas, konsisten, taat pada rule of law, disiplin tinggi, produktif, dan berpandangan jauh ke depan.
Setalian dengan itu, -soft state-, jenis budaya yang lemah, inkonsisten, kurang displin, social distrust, kurang memanfaatkan waktu, malas, dan kurang taat pada rule of law (bahkan mudah memperkosa aturan main). Menurut Myrdal dalam risetnya pada awal 1960-an, banyak negara di Asia, termasuk Indonesia, mengalami kebangkrutan ekonomi, miskin dan disertai praktik korupsi merajalela sebagai akibat dari ketidakmampuan negara-negara tersebut menciptakan dan menerapkan hukum serta aturan-aturan yang jelas dan tegas.
Dari riset Myrdal itu, kemudian saya menelaah sengkarut yang terjadi dalam blantika panggung politik dan ekonomi di Tanah Air. Residu keterbelahan politik misalnya, yang hingga saat ini masih terawat, teradministrasi dalam rekaman ingatan, dan belum berkesudahan. Kontestasi Pilpres 2019 sebagai kasus, masih menyisahkan dendam-kesumat antar pelaku dan pendukung. Saling intai-mengintai pun menjadi barang yang galib.
Apa pun momen yang terjadi, pasti diseret pada pola perilaku dendam itu. Pelbagai aturan dan kelembagaan yang diciptakaan penguasa, pasti tidak akan pernah dipercaya oleh pihak oposannya. Ujungnya, bisa terjadi low trust society, kata Francis Fukuyama dalam karyanya Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity (1995).
Begitu juga sebaliknya, pihak penguasa acapkali memproduksi kecurigaan atas pelbagai komentar yang dianggap miring dari pihak lawannya. Bahkan, memproduksi tindakan kriminalisasi terhadap pihak yang bersuara lantang. Penguasa selalu mencari celah kelemahan lawannya untuk segera ditindak oleh aparat keamanan.
Tatkala panggung kehidupan kita menghadapi persoalan global, pandemi wabah Covid-19 misalnya, terlihat jelas relasi keretakan itu. Sehingga mempersulit upaya-upaya penyelesaian masalah. Elite politik, baik dari kalangan penguasa maupun oposannya, mempertontonkan tindakan-tindakan yang kurang elok dan tidak terpuji. Saling balas sahutan ibarat anak ingusan yang kehilangan boneka mainan.
Terus terang, lama kelamaan, mereka sulit menjadi suri-teladan oleh masyarakat. Maka, jangan heran, jika suatu saat masyarakat mengekspresikan kekecewaannya dengan mengikuti kemauannya sendiri, karena kehilangan trust kepada elite politik.
Di level bawah dan menengah bawah, sejatinya mulai membuncah kembali sifat kedermawanan dan gotong-royong. Tapi, penguasa kurang mengapitalisasi kekuatan modal sosial itu untuk menguatkan kohesi sosial itu. Mereka dbiarkan jalan dalam lorong yang tak bertepi.
Maka, modal sosial yang bertumpu pada “community base on trust culture” menjadi luruh. Padahal modal sosial inilah, sejatinya, menurut Fukuyama bisa menggerakkan operasionalitas rasional dalam bidang ekonomi, politik, dan hukum. Karena absennya trust society maka akan menghilangkan jejaring kerja sama yang saling menguntungkan di antara entitas.
Kondsi centang-perenang seperti digambarkan di atas, menyulitkan bangsa untuk menjadi negara maju. Kita disandera oleh lelaku budaya soft-state, seperti yang dideskripsikan Myrdall di atas. Saling tidak percaya menjadi wahana reproduksi budaya soft-state.
Ujungnya, kita pun melahirkan mental marah dan tempramental. Mental introvert, yang acap selalu menyalahkan kemajuan pihak lain. Kitapun tidak jernih lagi melihat setiap masalah karena dililit cara pandang yang streotype dan stigmatik pada pihak lain. Artinya, bangsa kita sulit beranjak maju karena kita semua bermantal keropos.
Ciputat, 8 Juni 2020
Mukhaer Pakkana, Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta