Wildan Kurniawan
Kasus kematian seorang warga Amerika kulit hitam, George Floyd kembali menjadi catatan buruk dalam sejarah keberlangsungan hidup manusia. Goresan tinta itu menambah deretan daftar kasus rasisme di muka bumi, tempat yang seharusnya diisi oleh kebaikan dan kedamaian.
Persoalan Rasisme adalah sebuah permasalahan kuno yang seolah tiada habisnya. Jika ditelaah secara ringan, pangkal dari isu rasisme adalah perasaan merasa tinggi dari kelompok atau golongan lain. Merasa lebih layak dihormati, merasa lebih pandai, lebih pintar, dan menganggap kelompok lain bodoh, rendah, bahkan hina. Perasaan lebih tinggi tersebut dilandasi atas perbedaan yang sifatnya biologis.
Mari kita bicara sejenak tentang sejarah rasisme di dunia. Kita tengok di Afrika Selatan, munculnya politik Apartheid menjadi isu nyata adanya pembagian kasta berdasarkan warna kulit manusia. Ketika itu, Afrika Selatan masih berada di bawah jajahan Inggris. Para koloni mencetuskan sebuah gagasan gila dengan membagi kedudukan warga jajahan mereka menjadi beberapa golongan, antara lain warga kulit putih, kulit campuran, dan kulit hitam. Sistem ini mengakar selama puluhan tahun di sana. Hingga puncaknya, tahun 1991 Politik Apartheid dihapuskan oleh presiden Frederik Willem de Klerk.
Jauh sebelum politik Apartheid muncul, isu rasisme seolah menjadi “pandemik” yang tak berkesudahan. Bencana rasisme menyebar tanpa ada jaring pengaman kokoh yang mampu menahan lajunya. Isu rasisme mengendap di palung bumi terdalam, tetapi sekalinya meledak ia akan meluluhlantahkan pondasi kepercayaan dan menyulut api perpecahan.
Suatu waktu, ketika presiden Obama berhasil menjadi presiden Amerika muncul harapan isu rasisme di Negara yang katanya liberal itu mulai redup bahkan menghilang. Tetapi rupanya gayung belum bersambut. Pasca turunnya presiden Obama, dan digantikan oleh Trump isu rasisme kembali menyeruak di permukaan dengan eskalasi cukup tinggi.
Tidak berhenti di Amerika, di Indonesia pun isu rasisme masih tergolong cukup tinggi. Adanya stigma negatif yang ditujukan kepada sebagian warga Negara Indonesia menjadi sumber kericuhan yang sulit untuk diredam. Terhitung sudah beberapa kali warga Negara Indonesia dari bumi Papua menjadi korban rasis yang dilakukan oleh sesama warga Indonesia.
Dalam Islam, kita mengenal sosok Bilal bin Rabah seorang budak yang digambarkan berkulit hitam milik Umayyah bin Khalaf yang dimerdekakan oleh Abu Bakar Ash-shidiq. Kemudian Wahsyi bin Harb, seorang budak dari Afrika milik Hindun yang dikenal karena membunuh Hamzah bin Abdul Mutholib, paman Nabi Muhammad SAW. Bilal dan Wahsyi adalah dua contoh dari sekian budak lain yang pada masa Nabi diperlakukan secara tidak manusiawi.
Hadirnya Islam, dengan ajaran yang dibawa oleh manusia paling mulia di muka bumi yaitu Muhammad SAW menjadi angin segar di tengah kondisi perbudakan masa jahiliyah. Perlahan tapi pasti, Muhammad mengentaskan perbudakan dengan cara yang begitu indah. Tidak hanya dibebaskan, bekas budak tersebut bahkan hidup berdampingan dan menjadi sahabat yang sangat disayang oleh Nabi Muhammad SAW.
Keluarga sebagai Agen Perdamaian
Dalam kehidupan sosial, peran keluarga khususnya orang tua adalah menanamkan nilai-nilai dan norma kehidupan kepada anak sebelum mereka terjun langsung di masyarakat. Naluri anak adalah serba ingin tahu. Dengan jutaan pertanyaan yang berkelebat dalam pikirannya, ia akan menuntut jawaban dari siapa saja. Penanaman nilai ini penting sebagai upaya pembentukan karakter anak dalam menghadapi pergaulan hidup yang tidak bisa ditebak ke mana arahnya.
Semua orang berpotensi untuk menjadi rasis, tidak terkecuali. Pada skala pertumbuhan, sikap rasisme dimulai ketika seorang anak bertanya mengapa ada orang lain yang berbeda dengan dirinya. Perbedaan yang dimaksud tentu saja yang berkaitan dengan fisik. Baik dari warna kulit, jenis rambut, hingga bentuk mata, hidung dan anggota badan lainnya. Dari pertanyaan ini kemudian muncul pertanyaan lain dengan dimensi yang lebih luas. Di sinilah orang tua dituntut perannya dalam memberikan pemahaman kepada putra-putri mereka.
Orang tua berperan besar dalam mengajarakan bagaimana bersikap atas perbedaan yang ada. Orang tua juga harus memberikan pemahaman bagaimana cara bersikap terhadap perbedaan. Tidak hanya dari segi fisik, tetapi perbedaan lain yang keberadaannya adalah sebuah keniscayaan.
Benih-benih rasis tanpa kita sadari ada di kehidupan sehari-hari. Semisal seseorang yang membandingkan rambut keriting dan lurus, atau hidung mancung dan pesek. Bahkan dalam lingkup yang lebih kecil, orang tua yang membandingkan satu anak dengan anaknya yang lain, atau anaknya dengan anak orang lain. Suka membandingkan sesuatu menjadi embrio dari pola pikir rasisme. Semua terjadi tanpa kita sadari.
Di dalam Alquran, Allah menjelaskan bahwa manusia diciptakan dengan sebaik-baiknya bentuk dan sesuci-sucinya jiwa. Seorang filsuf Swiss, Jean Jacques Rousseau mengatakan bahwa sifat dasar manusia adalah baik. Perubahan pola pikir, sikap, laku dan tindakan dipengaruhi semata karena lingkungan di mana ia tinggal. Faktor lingkungan memiliki andil yang sangat besar dalam kemunculan paham rasisme, dan kita tidak bisa menolak itu. Upaya yang bisa kita lakukan adalah menekan dan mencegah perilaku rasis tumbuh subur dan mengakar menjadi karakter dalam diri.
Perbedaan dalam skala apapun seringkali memicu perdebatan. Perdebatan yang berkepanjangan tak kunjung menemukan titik terang hingga akhirnya memicu perpisahan dan perpecahan. Jika dilihat dengan jernih, perbedaan adalah sebuah bangunan yang tersusun berdasarkan banyak partikel kehidupan. Manusia tidak bisa memilih dari rahim siapa ia dilahirkan, dengan kulit berwarna apa ia hidup, atau dari suku mana mereka dibesarkan. Dalam Islam, perbedaan adalah rahmat dan anugerah dari Tuhan yang Maha Kuasa.
Korban rasis memiliki trauma yang tidak disepelekan beratnya. Sebagian dari mereka bisa selamanya mendendam. Tidak ada tempat di hati para korban bagi kelompok yang melakukan diskriminasi kepada mereka. Padahal, manusia diciptakan Tuhan dengan keberagaman. Seorang korban rasis, ia akan membunuh keberagaman itu dengan hatinya sendiri.
Bahaya isu rasisme adalah munculnya stigma buruk terhadap golongan tertentu secara menggurita. Padahal, seseorang berlaku baik dan jahat tidak karena warna kulit mereka, tidak juga dari agama mana mereka berasal. Munculnya sikap suuzon atau prasangka buruk adalah jalan pintas membunuh nurani. Dengan matinya nurani, kita akan dibutakan oleh doktrin jahiliyah yang keberadaan dan eksistentinya tak lekang dimakan zaman.
Kasus kematian yang menimpa George Floyd ini semoga menjadi kasus terakhir dari sebuah kebengisan nafsu yang menjelma tindakan amoral seorang anak manusia. Perilaku hina yang hinggap dalam diri manusia berakal. Menekan leher dalam kondisi tangan diborgol, tanpa perlawanan, adalah sebuah tindakan yang tidak pernah terlintas dalam benak orang berakal dan beriman.
Kelapangan perasaan, kejernihan pikiran, adalah modal bersama dalam menyikapi sebuah perbedaan menjadi penghargaan. Keluarga, di manapun berada diharapkan mampu berperan dengan maksimal sebagai garda terdepan dalam menumbuhkan karakter generasi muda cinta perdamaian.
Wildan Kurniawan, penulis dan pemerhati isu-isu kekeluargaan, Alumni Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta