Reformulasi Ideologi Muhammadiyah

Achmad Jainuri

Dalam gerakan sosial keagamaan, ideologi merupakan aspek yang sangat penting sebagai acuan dasar program gerakan. Rumusan ideologi menempati urutan keempat dari tahapan terbentuknya sebuah gerakan (Blumer, 1966). Sebelum Muhammadiyah berdiri Kiai Dahlan mensosialisasikan ide dan gagasannya kepada masyarakat, membentuk espirit de corp melalui beberapa perkumpulan yang secara rutin ia datangi, membentuk moral gerakan melalui ceramah yang dilakukan, yang di daerah luar Yogyakarta dilakukan sambil menjalankan pekerjaan rutin berdagang; baru setelah itu pembentukan ideologi bersamaan dengan didirikannya Persyarikatan Muhammadiyah dan; terakhir dirumuskannya program gerakan Muhammadiyah.

Tahapan keempat dan kelima dari proses di atas tidak ditemukan dalam rumusan formal seperti yang ada sekarang, tetapi masih menyatu pada elit pendiri gerakan, Kiai Ahmad Dahlan. Dalam diri Kiai Ahmad Dahlan sesungguhnya representasi ideologi sekaligus juga program gerakan. Kondisi seperti ini umum terjadi dalam gerakan sosial keagamaan. Rumusan ideologi Muhammadiyah awal masih menjadi acuan gerakan hingga sekarang. Penyempurnaan ideologi melalui perumusan kembali secara periodik harus dilakukan seiring dengan tuntutan perkembangan kehidupan.

Karena itu, pertanyaan pertama yang harus dijawab adalah: kenapa ideologi Muhammadiyah harus dirumuskan kembali? Karena, ideologi bukanlah doktrin kaku yang tidak bisa berubah. Hanya kelompok Marxian yang memandang bahwa ideologi merupakan rumusan kaku yang tidak bisa berubah dan yang harus diindoktrinasikan kepada rakyat. Ideologi Muhammadiyah merupakan rumusan tentatif yang bisa berubah, yang digali dari sumber nilai Islam, keyakinan, tradisi, dan pemikiran kontemporer serta pemikiran para elit Persyarikatan. Ideologi Muhammadiyah ada dalam Jawaban Masalah Lima, Muqaddimah Anggaran Dasar, AD-ART, MKCHM, HPT, Pedoman Hidup Muhammadiyah, serta sumber resmi yang dikeluarkan oleh Persyarikatan. Fungsi ideologi 1. sebagai alat untuk melihat persoalan atau kondisi kehidupan yang dihadapi masyarakat dan yang ingin diubah oleh Muhammadiyah; 2. merasionalkan pandangan, ide, gagasan, dan program gerakan; 3. sebagai alat untuk mempertahankan diri dan melawan serangan lawan; 4. Justifikasi filosofis bagi tujuan gerakan.

Muhammadiyah melihat bahwa kondisi masyarakat Indonesia pada awal abad ke-duapuluh diselimuti olah kebodohan, kemiskinan, dan ketidakmampuan diri menjalani hidup sehat. Untuk mengatasi keadaan ini Muhammadiyah menjawab dengan menyelenggarakan pendidikan bagi masyarakat, membuka poliklinik dan rumah sakit, serta panti asuhan dan rumah jompo. Karena itu pilihan program kemanusiaan seperti tersebut di atas merupakan pilihan rasional dan tepat saat itu.

Reformasi pendidikan yang dilakukan oleh Muhammadiyah memfasilitasi peserta didik untuk tidak hanya paham ilmu agama tetapi juga mengajarkan ilmu umum, dalam rangka membentuk ulama-intelek atau intelek-ulama. Kesan umum menggambarkan bahwa umat Muslim apabila diajak berbicara tentang ekonomi, hukum, dan masalah sosial budaya tidak bisa aktif sebagaimana kelompok lain yang memiliki pendidikan umum. Pandangan yang meyakini bahwa ilmu menurut Islam adalah ilmu agama dalam arti khusus, ditegaskan oleh Muhammadiyah bahwa ilmu agama dan umum keduanya sangat penting bagi umat Muslim.

Program-program yang dijalankan oleh Muhammadiyah mendapat reaksi dan serangan dari sebagian kaum Muslimin sebagai meniru perbuatan orang kafir, dan karena, itu tidak sepatutnya Muhammadiyah mengembangkan program itu. Bagi Muhammadiyah, persoalannya bukan terletak pada sikap meniru atau tidak meniru perbuatan orang lain, tetapi apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah memiliki landasan kuat yang dijadikan alasan Persyarikatan yakni: “dari manapun datangnya, asal tidak bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam, tidak berdosa.” Hal ini sebagai wujud ijtihad Muhammadiyah menyangkut masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang di dalam sumber pokok Islam sendiri belum dijelaskan.

Sebagai justifikasi filosofis bagi tujuan gerakan, ideologi Muhammadiyah secara jelas disebutkan dalam Anggaran Dasar pada bab Maksud dan Tujuan: “Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” Untuk mencapai tujuan ini dilakukan dengan melaksanakan program kemanusiaan yang menekankan pada pembentukan masyarakat yang berilmu, memiliki penghasilan, dan sehat. Program ini yang membentuk sifat Persyarikatan sebagai “gerakan dakwah amar makruf nahi munkar; gerakan kultural yang menanamkan etika moral agama dalam setiap diri individu Muslim, bukan gerakan struktural yang berorientasi pada kekuasaan politik dan; gerakan purifikasi dan modernisasi.

Reformulasi yang dimaksudkan dalam tulisan ini tidak berarti mengganti semua rumusan yang sudah ada, tetapi lebih pada penyempurnaan aspek-aspek ideologis yang tidak kompatibel seiring dengan tuntutan perkembangan

Karena itu untuk melihat persoalan yang berkembang sekarang ini, yang Muhammadiyah harus menjawabnya, maka rumusan ideologi penting dilakukan. Dalam kaitan ini, perubahan merupakan ciri utama yang mewarnai sejarah perkembangan Muhammadiyah hingga kini. Jika Muhammadiyah menolak perubahan (deception) maka akan tergilas oleh perubahan itu sendiri. Penolakan terhadap perubahan akan mengalami disruption, yakni kesulitan yang dihadapi oleh Persyarikatan dalam melaksanakan program karena ada kelemahan. Karena itu inovasi menjadi pilihan penting untuk mengatasi persoalan yang ada (disruptive innovation).

Persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat sekarang ini, yang secara ideologis tidak hanya dilihat oleh Muhammadiyah, tetapi juga akan harus dicarikan solusinya. Dalam aspek

(1) keagamaan: muncul aliran dan gerakan baru (transnational) serta kecenderungan sikap keberagamaan yang saling menyesatkan; isu radikalisme agama yang diarahkan kepada umat Muslim, dan bahkan sebagian orang mengkaitkannya dengan Muhammadiyah;

(2) politik: sistem politik yang liberal dan pragmatis, transaksional, plutokratis, dan belum terlaksananya demokrasi secara ideal dalam semua proses politik;

(3) sosial: kesenjangan ekonomi yang semakin melebar, meluasnya pengaruh IT dalam kehidupan sehari-hari, conflicting relationship antar sesama, dan meluasnya bencana lingkungan dan sosial;

(4) budaya: tidak berdayanya budaya agama (meaninglessness) berhadapan dengan budaya modern yang materialistis dan konsumeristis, hilangnya integritas pada diri seseorang: kejujuran, kebenaran, ketulusan, kedisiplinan, dan sebagainya;

(5) ekonomi: bergesernya kekuatan ekonomi umat ke korporasi, tertutupnya lapangan kerja bagi rakyat kebanyakan sehingga menambah angka kemiskinan, dan sebagainya.

Untuk mengatasi persoalan keagamaan, yang dalam periode ini diatasi dengan menjamurnya kajian Ahad pagi, bisa ditingkatkan dengan kajian rutin tematik bagi, terutama, pimpinan persyarikatan untuk menambah wawasan keislaman; bidang politik, mendorong kader Muhammadiyah untuk berada di mana-mana, melalui komunikasi silaturrahim pada simpul-simpul kekuasaan yang ada di masyarakat secara persuasif; bidang sosial: jika dalam periode ini lahir trisula baru: MDMC, Lazismu, dan pemberdayaan masyarakat memperkuat trisula lama: pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial, maka trisula-trisula baru diharapkan secara berkesinambungan menambah trisula lama; bidang budaya: menanamkan nilai-nilai agama untuk memperkokoh integritas diri melalui pendidikan moral agama; bidang ekonomi: memberikan pendidikan ketrampilan sebagai modal kerja dan akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk bisa memanfaatkan peluang yang diberikan oleh pemerintah maupun swasta.

Diagnosa tentang kondisi serta situasi persoalan yang dihadapi umat dan bangsa serta solusi yang akan dilakukan, berbeda antara satu daerah degan daerah lain. Karena itu, rumusan ideologi yang akan dilakukan harus bisa secara elastis mendasari pelaksanaan program Persyarikatan di daerah yang beragam tersebut. Dalam rumusan ideologi revisi, tata administrasi organisasi juga harus dilakukan. Tujuannya, untuk meningkatkan, pertama, komitmen warga Persyarikatan mentaati semua aturan organisasi. Karenanya, kemungkinan dilakukannya diskresi juga terakomodasikan, apabila aturan yang ada tidak ditemukan landasan aplikasi program. Pelaksanaan diskresi akan berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Kedua, komitmen terhadap amal usaha, yakni keterikatan kita semua untuk memajukan dan mengembangkan amal usaha. Jika semua aspek seperti yang dijelaskan di atas ada dalam rumusan ideologi, maka fungsi ideologi sebagai acuan pelaksanaan program akan membawa pada kemajuan Persyarikatan dalam mewujudkan masyarakat ideal yang dicita-citakan oleh Muhammadiyah.

Achmad Jainuri, Guru Besar UIN Surabaya, Anggota Majelis Diktilitbang, PP Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 5 Tahun 2020

Exit mobile version