Prof Dr H Haedar Nashir, MSi
Masyarakat Indonesia dikejutkan kembali oleh peristiwa di Tanjungbalai Sumatra Utara. Sejumlah rumah peribadatan dirusak dan dibakar massa. Awal pemicu karena seseorang memprotes bunyi pengeras suara dari sebuah masjid dekat rumahnya yang dianggapnya mengganggu. Beredar banyak informasi bermacam-ragam seputar protes itu. Sebagian warga marah dan akhirnya melakukan tindakan merusak tempat peribadatan lain. Peristiwa tersebut ditangani pihak berwajib dan kalangan Forum Komunikasi Umat Beragama juga mengambil peran untuk memulihkan keadaan.
Sebelum ini terjadi juga kasus serupa di Sigli Aceh dan Tolikara Papua, serta kasus lainnya beberapa tahun ke belakang. Bukan hanya konflik bernuansa keagamaan, sebenarnya konflik sosial lainnya juga terjadi seperti perang atarsuku, antardesa, antarkampung, dan antarkelompok di sejumlah daerah. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk dan sangat besar jumlah penduduknya tampaknya gesekan dan konflik sosial akan selalu terjadi. Tentu kita tidak menghendaki konflik apapun karena akan merugikan kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan di negeri ini.
Karakter Kemajemukan
Sebagaimana diketahui bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk. Semboyan Bhineka Tunggal Ika menggambarkan karakter kemajemukan itu. Kebhinekaan tersebut terbentuk dalam proses sejarah yang panjang, didukung oleh komitmen kolektif para pendiri dan warga bangsa yang menemukan titik integrasi nasional dalam kebhinekaan yakni kesatuan dan persatuan Indonesia. Meski demikian, kebhinekaan itu tetap tumbuh berproses dan tidak pernah final mengikuti hukum kehidupan umat manusia yang berinteraksi sosial secara dinamis. Di dalamnya ada dinamika antara konsensus dan konflik, persaingan dan kerjasama, idealisasi dan jalan pragmatis, nilai ideal dan kepentingan, serta beragam dialektika khas dunia.
Masyarakat majemuk memiliki sifat non-komplementer, satu sama lain pada dasarnya sulit bersatu. Ketika bangsa Indonesia yang bhineka itu bersatu, menurut para ahli hal itu karena ada nilai perekat yang disepakati bersama, yakni Pancasila yang menjadi komitmen nasional para pendiri bangsa tahun 1945 melalui proses pergumulan yang intens dan sarat pengorbanan, termasuk peran Ki Bagus Hadikusumo dan para tokoh nasionalis Islam lainnya dalam memberi solusi dari tujuh kata pada Piagam Jakarta ke Sila Ketuhanan Yang Maha Esa demi keutuhan Indonesia yang baru satu hari merdeka. Peristiwa sejarah yang penting itu oleh Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara disebut sebagai “hadiah terbesar umat Islam untuk Indonesia”. Dalam pandangan antropolog ternama, Prof Dr Koentjaraningrat, umat Islam sebagai mayoritas merupakan kekuatan integrasi sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Demikian pula peran kekuatan-kekuatan agama lain, yang terlibat dalam proses integrasi nasional dalam pergerakan dan pembangunan Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan.
Peristiwa yang terjadi di Tanjungbalai, Aceh Sigli, Tolikara, Sampang, dan sebelum ini Ambon dan Poso serta daerah lainnya sebenarnya dapat dibaca dalam konteks kehidupan berbhineka yang terus berproses tidak sekali jadi itu. Hal itu harus menjadi perhatian semua pihak di satu pihak selalu dituntut tindakan yang tepat dan tegas, dipihak lain perlu dicari pemikiran dan solusi agar peristiwa serupa tidak terulang, selebihnya meniscayakan pembacaan terus-menerus dinamika kemajemukan yang kompleks agar ke depan diperoleh model resolusi konflik sekaligus pengembangan model kehidupan bangsa Indonesia yang “berbhineka tunggal ika” dalam karakter yang relijius, moderat, damai, toleran, solidaritas kolektif, sekaligus dinamis dan berkemajuan.
Konteks Masalah
Hidup dalam masyarakat yang majemuk memang tidak mudah. Konflik sosial selalu terjadi di mana pun di muka bumi ini, lebih-lebih dalam kehidupan bangsa yang majemuk. Dalam kemajemukan atau kebhinekaan itu terdapat perbedaan agama, suku bangsa, ras, dan golongan yang di dalamnya terkandung sejuta aspirasi, pemikiran, sikap, dan orientasi tindakan dalam dinamika sosial yang kompleks (cross cuting of interest). Lebih-lebih dengan jumlah penduduk yang terus bertambah di atas 237 juta jiwa dengan segala macam persoalan yang menyertainya seperti kemiskinan, kesenjangan sosial ekonomi, masalah ketenagakerjaan, urbanisasi, narkoba, terorisme, alienasi, marjinalisasi, hilangnya akses politik, terkurasnya sumberdaya alam, korupsi, dan berbagai masalah krusial lain yang berpotensi menimbulkan ledakan sosial bagaikan api dalam sekam di tubuh bangsa ini.
Karenanya diperlukan pemahaman yang lebih mendalam dan luas mengenai akar konflik sosial dan keagamaan, terutama dalam konteks kemajemukan masyarakat dan bangsa Indonesia. Selain itu, penting juga dipahami benih-benih konflik agar dapat dicegah untuk tidak terjadi. Manakala terjadi juga perlu dipikirkan bersama bagaimana penanganan dan pemecahannya secara seksama, sehingga tidak meluas dan terulang kembali. Inilah dinamika kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan yang majemuk.
Ketika sebagian besar rakyat Indonesia bergulat dengan persoalan-persoalan yang berat, mereka menyaksikan sebagian kelompok kecil menguasai segala macam aset dan akses bangsa, mengeksploitasi besar-besaran sumberdaya alam untuk mengeruk keuntungan tak terbatas, bertindak korup dan ajimumpung kekuasaan, bergaya hidup hedonis dan pragmatis, serta demoralisasi. Kondisi ini menjadi benih dan faktor pemicu yang sangat rawan untuk tumbuhnya kecemburuan, kemarahan, dan anarkisme sosial dalam beragam ekspresi. Radikalisme, terorisme, konflik sosial, dan beragam gesekan antargolongan dan kelompok merupakan bagian dari ekspresi amuk sosial yang serbarawan tersebut.
Sementara itu sebagai konsekuensi atau keniscayaan era baru reformasi dan pilihan amandemen UUD 1945 di tengah arus globalisasi yang serbaterbuka terjadi proses liberalisasi kehidupan politik, ekonomi, dan budaya yang membawa dampak sangat kompleks dalam kehidupan kebangsaan. Proses liberalisasi ini dalam konteks tata nilai keindonesiaan yang berbasis pada agama, Pancasila, dan kebudayaan yang hidup dalam kesadaran kolektif bangsa dan menjadi pilar fundamental kehidupan bernegara membawa akibat atau sekaligus memunculkan proses erosi, deviasi, dan distorsi dalam kehidupan kebangsaan. Masalah ini bersifat fundamental, yang memerlukan proses rekonstruksi kehidupan kebangsaan yang bermakna dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya jika Indonesia mendambakan masa depan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat.
Dalam kondisi yang demikian maka umat Islam sebagai mayoritas dan Muhammadiyah sebagai kekuatan Islam moderat yang besar pengaruhnya dituntut sebagai peredam, mediator, fasilitator, dan menjadi uswah hasanah bagaimana membangun kehidupan keagamaan, kemasyarakatan, dan kebangsaan yang berkeadaban mulia serta mencerahkan semesta sebagaimana dicontohkan Rasulullah di masa kerisalahannya. Muhammadiyah harus menjadi pengikut Nabi Muhammad dalam menyebarkan Islam sebagai rahmatan lil-’alamin.
Sumber: Majalah SM Edisi 17 Tahun 2016