Muhammadiyah Menegakkan Demokrasi

Judul                     : Muhammadiyah dan Salafisme di Masa Demokrasi Indonesia

Penulis                 : Muhammad Hilali Basya

Penerbit              : Suara Muhammadiyah

Cetakan               : 1, Februari 2020

Tebal, ukuran    : xxii + 124 hlm., 14 x 21 cm

Banyak orang beranggapan bahwa demokrasi mampu menyembuhkan semua penyakit. Ternyata tidak. Demokrasi tidak otomatis menciptakan kultur masyarakat inklusif. Demokrasi seperti di Amerika Serikat melahirkan Donald Trump, di India melahirkan diskriminasi pada umat Islam. Demokrasi membutuhkan upaya bersama segenap unsur elemen bangsa di dalamnya untuk mewujudkan nilai-nilai kesetaraan dan kemanusiaan. Pernyataan ini dikemukakan seorang Indonesianis asal Amerika Serikat, Robert Hefner, dalam diskusi di Institut DIAN/Interfidei Yogyakarta, 12 Maret 2020.

Reformasi 1998 merupakan momentum penting bagi peneguhan demokrasi di Indonesia. Muhammad Amien Rais kerap disebut sebagai lokomotif reformasi oleh karena peranannya. Dia mampu merangkul segenap elemen bangsa untuk menciptakan suatu tatanan baru bangsa Indonesia yang lebih maju. MPR RI yang dipimpinnya mengupayakan amandemen UUD 1945 dalam rangka membangun tatanan Indonesia yang lebih demokratis. Hingga saat ini, demokrasi di Indonesia terus mengalami pematangan dan pendewasaan, baik di level elite pemerintahan maupun di tataran masyarakat.

Sebagaimana pernyataan Robert Hefner, penguatan demokrasi membutuhkan kontribusi berbagai pilar negara. Muhammadiyah merupakan salah satu pilar civil society yang mengokohkan demokrasi di Indonesia. Muhammadiyah berperan melalui para elite, lembaga afiliasi, dan warganya. Selain Amien, para tokoh Muhammadiyah semisal Haedar Nashir, Din Syamsuddin, Dawam Rahardjo, Munir Mulkhan, Syafiq A Mughni, Abdul Mu’ti, Moeslim Abdurrahman, Amin Abdullah, Syamsul Anwar merupakan di antara yang terlibat aktif mengokohkan demokrasi dengan peran masingmasing. Mereka mentransmisikan gagasan Islam Berkemajuan yang berpadu dengan demokrasi.

Penerimaan demokrasi di Muhammadiyah disebabkan karena faktor doktrin keagamaan Muhammadiyah yang inklusif dan dinamis. Tidak hanya purifikasi, namun juga modernisasi. Muhammadiyah di satu sisi menggunakan jargon al-ruju ila al-Qur’an wa al-Sunnah sebagaimana digunakan kalangan pengusung ideologi salafiwahabi. Namun dalam pemahaman terhadap doktrin agama, Muhammadiyah menggunakan pendekatan kontekstual yang berlandaskan pada seperangkat manhaj tarjih. Menurut Hilali, Muhammadiyah juga menggunakan metode istishlah dan mengadopsi kemoderenan (Islamizing modernity).

Dalam buku ini, Hilali menggunakan definisi Mawadi al-Rasheed, bahwa salafisme adalah gerakan Islam yang mengharuskan Muslim untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan mendasarkan penafsiran pada ulama al-salaf alshalih (hlm 12). Paham salafisme menghasilkan ragam corak pemikiran. Dikenal salafi modernisreformis dan salafi konservatif-revivalis. Salafi modernis yang dimotori Muhammad Abduh, menafsirkan semangat Islam secara kontekstual. Kembali ke masa Nabi dipahami dengan memunculkan nilai-nilai Islami yang diajarkan Nabi: kebaikan, keadilan, keterbukaan, meritokrasi, memuliakan perempuan, dan seterusnya. Tatakelola pemerintahan yang demokratis dianggap sesuai dengan ajaran Nabi. (ribas)

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 7 Tahun 2020

Exit mobile version