Marpuji Ali
Berpijak pada pengalaman (dan kelemahan) dua pola tata kelola tersebut, Perguruan Muhammadiyah Kotabarat berupaya keras dan sungguhsungguh mengembangkan pola baru yang bisa disebut “tata kelola atau manajemen satu atap”.
Tidak berselang lama setelah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan rilis hasil UNBK jenjang SMP tahun 2019, tiba-tiba nama SMP Muhammadiyah Program Khusus (PK) Kotabarat Solo menjadi perbincangan hangat di kalangan pengelola maupun penyelenggara sekolah Muhammadiyah. Ia diperbincangkan karena prestasi yang ditorehkan sangat mengesankan, yakni menjadi satu-satunya sekolah Muhammadiyah yang masuk 100 (seratus) sekolah dengan nilai tertinggi, tepatnya rangking 27. Sebenarnya, prestasi itu bukan kali pertama. Sebab, pada 2018 malah berada di peringkat 18, demikian pula pada 2017.
Perlu diketahui bahwa SMP Muhammadiyah PK berada dalam naungan Perguruan Muhammadiyah Kotabarat, yang beralamat di Jalan Muwardi 24 Surakarta. Perguruan ini juga mengelola TK Aisyiyah PK, SD Muhammadiyah PK, dan SMA Muhammadiyah PK. Ringkasnya, Perguruan Muhammadiyah Kotabarat telah dan sedang bereksperimen mengelola sekolah dengan tata kelola (manajemen) satu atap dimana jenjang TK, SD, SMP, hingga SMA di bawah satu naungan manajemen.
Pola ini (baca: tata kelola satu atap) bisa dikatakan eksperimen baru di lingkungan Muhammadiyah. Sejauh ini, ada dua pola yang berkembang yakni pola sentralisasi ala Surakarta dan pola desentralisasi ala Yogyakarta. Idealnya, pada pola sentralisasi lokomotif pengembangan sekolah di tangan Majelis Dikdasmen (penyelenggara) karena keuangan terpusat di situ. Sementara itu, idealnya, dalam pola desentralisasi lokomotif pengembangan sekolah di tangan kepala sekolah (pengelola).
Kedua pola tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Yang ditekankan di sini kelemahan. Dalam pola sentralisasi cenderung stagnan (mandeg), Karena sekolah yang dikelola terlalu banyak. Terlebih, bila pimpinan Dikdasmen tidak mampu membaca situasi baru dan bersegera memetakan arah pengembangan sekolah ke depan. Kelemahan pola desentralisasi adalah sekolah terlalu ringkih, karena hanya berpijak pada satu kaki, sehingga kala tersandung masalah, mudah sekali goyah dan rontok.
Kehadiran perguruan ini terbilang unik, karena pemrakarsa dan lokomotifnya Takmir Masjid Kotabarat. Secara teknis administratif tetap di kelola induknya; TK ditangani Aisyiyah, demikian pula SD-SMP-SMA ditangani Majelis Dikdasmen.
Akan tetapi, fungsi-fungsi pengembangan diperankan Takmir Masjid, dan belakangan ada tim pengembang, yang anggotanya dipilih dari unsur Takmir Masjid dan ahli pendidikan. Tim pengembang menjadi mitra strategis, bukan atasan, pengelola sekolah. Hal ini ditandai dengan pola interaksi yang akrab dan dinamis, sehingga ide-ide kreatif muncul dari dua arah dan diperbincangkan secara demokratis. (bersambung)
Sumber: Majalah SM Edisi 18 Tahun 2019