Prof Dr Syafii Maarif
Silaturrahim dan silaturrahmi berasal dari bahasa Arab, berkaitan dengan ajaran Islam, sedangkan kohesi sosial dari bahasa Inggris, sebuah konsep sosiologis untuk memupuk hubungan dan solidaritas di antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Silaturrahim mengacu kepada kultur menyambung kasih sayang di antara keluarga dekat yang bertalian nasab, darah, dan keturunan. Adapun silaturrahmi juga punya tujuan serupa, tetapi jangkauannya lebih universal untuk seluruh umat manusia, dan bahkan alam semesta.
Kohesi sosial sebagai proses sosial bertujuan melakukan konsolidasi warga yang beraneka macam, demi mengurangi ketidakadilan, ketimpangan sosial-ekonomi, dan keretakan dalam masyarakat. Di sinilah bertemunya konsep silaturrahim dan silaturrahmi dengan gagasan kohesi sosial dalam makna terciptanya sebuah harmoni dan keseimbangan sosial yang adil, rukun, dan dalam semangat persaudaraan yang tulus dan dinamis. Tanpa keadilan yang mantap, maka akan sulitlah sebuah kohesi sosial dapat diwujudkan, apalagi juga ditinjau dari ajaran Al-Qur’an yang mutlak menekankan tegaknya keadilan dan persaudaraan dalam kehidupan kolektif manusia.
Dalam sebuah dunia yang lintang-pukang (istilah sosiolog Inggris Anthony Giddens), dunia modern dengan ilmu dan teknologi yang semakin canggih, tabiat dasar manusia tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan dengan sifat nenek moyang mereka yang suka berperang untuk saling membunuh dan saling menghancurkan. Dunia Muslim tidak terkecuali, khususnya di kawasan Asia Barat Daya dan Afrika, filosofi silaturrahmi sudah semakin menyingkir, perang saudara yang membinasakan masih saja merebak, tidak jarang berlindung di balik jargonjargon agama atas nama Tuhan, sehingga kohesi sosial menjadi sesuatu yang sangat mahal.
Konsep kohesi sosial biasa dikaitkan dengan upaya mempercepat proses demokratisasi untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang lebih adil dan efisien untuk kepentingan seluruh lini kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat. Mungkin negara-negara di Eropa Utara dan Selandia Baru, semangat silaturrahmi mereka dalam bingkai kohesi sosial lebih dirasakan sebagai sesuatu yang kongkret, padahal masyarakat di sana tidak punya Pancasila sebagaimana rakyat Indonesia yang bangga dengan ideologi ini.
Pancasila dengan lima nilai dasarnya memang hebat dan dirumuskan secara piawai oleh para pendiri bangsa. Dasar negara dan ideologi ini mengandung cita-cita luhur untuk membimbing dan mengisi kemerdekaan bangsa dan negara, tetapi setelah Indonesia merdeka lebih 70 tahun, idealisme Pancasila itu masih berbenturan dengan kenyataan karena masih menganganya ketimpangan sosial-ekonomi yang parah.
Pada tahun 1930-an, saat Indonesia belum merdeka, ada sementara ulama Muslim Indonesia yang menentang ideologi nasionalisme yang diusung oleh kaum nasionalis yang sebagian besar beragama Islam. Dalih yang dikemukakan adalah karena nasionalisme adalah perpanjangan faham kesukuan (tribalisme) yang ditentang Islam. Sebenarnya pendapat golongan ini tidak terlalu salah karena dua pemikir dan penyair besar Hindu dan Muslim: Rabinranath Tagore dan Muhammad Iqbal juga menentang nasionalisme yang bisa merusak perumahan kemanusiaan sejagat.
Tetapi untuk nasionalisme Indonesia tuan dan puan tidak perlu cemas karena sila kedua Pancasila dalam rumusan “Kemanusiaan yang adil dan beradab” akan selalu mengawasi ideologi negara-bangsa ini agar tidak menyimpang dari koridor yang benar. Nasionalisme Indonesia dalam kawalan sila kedua tidak boleh tergelincir ke dalam kubangan tribalisme dan/atau imperialisme sebagai tahap ketiga nasionalisme yang melampaui batas.
Berbeda dengan perkembangan nasionalisme Eropa yang anti sistem absolutisme dan dominasi gereja, nasionalisme Indonesia adalah ideologi dan gerakan untuk menuntut kemerdekaan bangsa dari sistem kolonialisme yang zalim dan diskriminatif. Dengan kata lain, nasionalisme Indonesia mengandung cita-cita keadilan sosial dan demokrasi sebagai gambaran ideal dari kemerdekaan sebuah bangsa dan negara. Sumber-sumber ekonomi yang sekarang masih tergenggam di tangan kelompok kecil harus secepatnya diatur-ulang agar taring nasionalisme Indonesia tidak tumpul seperti sekarang.
Untuk ke depan agar ketimpangan sosial di Indonesia tidak semakin menganga, maka perlu dalam tempo singkat dilakukan konsolidasi yang efektif antara semangat silaturrahim, selaturrahmi, kohesi sosial, dan ideologi nasionalisme yang semuanya bertujuan untuk menciptakan sebuah masyarakat Indonesia yang adil, sejahtera, damai, aman, dan bermartabat. Kegagalan bergerak kepada cita-cita mulia ini, maka tidak mustahil sebuah ledakan sosial bisa membayangi kita semua. Semoga elite bangsa dan elite negara secara sungguh-sungguh menyadari tantangan dahsyat ini!
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 4 Tahun 2020