Hidup itu gerak. Tanda hidup itu harus ada gerakan. Muhammadiyah hidup dan bisa hidup karena senantiasa bergerak. Kalau tidak bergerak bukan hidup namanya. Demikian pernah disampaikan oleh Buya A Malik Ahmad dalam sebuah training yang diselenggarakan PP IPM tahun 1970an akhir di Kompleks Muhammadiyah Tebet Jakarta. Selain hidup Muhammadiyah juga harus menghidupkan. Menghidupkan ruh perjuangan pengurus Muhammadiyah sendiri dan menghidupkan ruh perjuangan masyarakatnya. Ini baru bisa disebut Muhammadiyah yang benar, tambah Buya Malik Ahmad.
Hari ini apa yang pernah disampaikan oleh Buya Malik Ahmad (Allahuyarhamhu) terasa bermakna dan relevan untuk direnungkan dan dapat dilanjut dengan membuat aplikasi gerakannya. Salah satu aplikasi dari kalimat-kalimat bernas Buya Malik Ahmad itu adalah bagaimana menggerakkan ruh perjuangan Muhammadiyah lewat tabligh. Lewat upaya menyampaikan visi dan misi dakwah Muhammadiyah.
Intinya adalah, bagaimana merancang dan melaksanakan tabligh Muhammadiyah yang bisa menghidupkan ruh perjuangan Muhammadiyah. Karena hidup adalah gerak, maka dalam hal ini bagaimana membuat aplikasi tabligh yang dapat menggerakkan ruh dan kesadaran pimpinan, aktivis dan simpatisan Muhammadiyah. Tentu muballighnya sendiri harus hidup lebih dulu kesadaran dan ruh perjuangannya, baru kemudian dia dapat menularkan semangat juang dan kesadaran berjuang pada pendengarnya. Ketika bertabligh dia harus terasa benar kuat kesadaran dan ruh perjuangannya, dan ini yang kemudian bergema di dalam telinga dan jiwa pedengarnya.
Kekuatan kesadaran dan daya juang Muhammadiyah yang dimiliki muballigh harus prima dan penuh. Dengan demikian pilihan ayat, hadits, kisah tauladan yang dikemas dalam kalimat, kata-kata, dalam petikan dialog serta dalam argumentasi serta narasi atau penceritaannya memiliki kekuatan atau daya sentuh dan daya pesona. Pendengarnya akan larut dan masuk dalam situasi-situasi yang dibangun oleh rangkaian kata, kalimat, dialog narasi, argumentasi yang terbangun dalam keseluruhan tampilan, penuturan dan ekspresi tabligh dari muballighnya.
Ini jelas bukan tabligh yang biasa-biasa saja. Bukan tabligh yang linier, tegang, dingin yang membuat pendengar mengantuk atau bosan. Ini adalah tabligh yang penuh gaya. Perpaduan ilmu dan ketrampilan balaghoh dan berbalaghoh, mantiq dan bermantiq, ushul fikih dan berushul fikih dan dibumbui ilmu dan ketrampilan berkisah yang dimiliki muballigh demikian efektif ketika menjadi kemasan tabligh untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah Muhammadiyah. Dia dapat mengatur irama kata-kata dan kalimat, dapat mengatur warna suara atau vokalnya ketika memperagakan dialog-dialog penting dalam kisah tauladan misalnya.
Tabligh yang disampaikan dengan kemampuan seperti itu akan lebih efektif lagi kalau muballighnya dalam memilih dan mengolah tema menggunakan pendekatan model Nabi Muhammadi saw, yaitu pendekatan shidiq, amanah dan fathonah. Apa yang dia sampaikan, adalah betul-betul benar, terpercaya dan disampaikan secara cerdas. Tablighnya betul-betul sampai (tabligh) dengan utuh, bersih dan mengena (fasih).
Ketika mempraktikkan hadits Nabi yang berbunyi ballighuu ’ani walau ayah (sampaikan apa-apa yang dari padaku walau satu ayat) dia bisa membuat pendengarnya merasa dan menyaksikan ayat, walau satu ayat yang disampaikan itu, benar-benar hidup. Hidup memasuki kesadaran pendengarnya.
Mustofa W Hasyim, Lembaga Seni Budaya dan Olah Raga PP Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM Edisi 17 Tahun 2019 yang berjudul Menghidupkan Gaya Bertabligh