Faiz Amanatullah
Sejak 2017 hingga sekarang duduk di bangku perkuliahan, tidak jarang kita mahasiswa dihadapkan dengan permasalahan sosial yang berkaitan dengan hukum. Mungkin sangat wajar karena Indonesia adalah negara yang berbasis hukum sejak awal mendeklarasikan dirinya sebagai negara independen. Bahkan hukum di Indonesia sudah menyatu dengan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, baik dari segi norma adat hingga undang-undang.
Rasanya penulis juga ingin beralih prodi dari konsentrasi ilmu pendidikan Islam menuju ilmu hukum murni. Sebab berangkat dari nasihat Imam Zarnuzi dalam karyanya Kitab Ta’limul Muta’alim yang mengatakan bahwa ilmu yang wajib kita perdalam dan pelajari adalah ilmu yang sedang dibutuhkan pada saat itu, karena akan mendatangkan manfaat lebih dari hasil yang kita pelajari. Kasus hukum yang terjadi selama penulis aktif di kampus diantaranya yaitu: UUMD 3, UU Minerba, RUU PKS, RKUHP KPK, UU Penyiaran, UU ITE, RUU HIP, serta yang sekarang sedang menjadi trending adalah kasus penyiraman kepada penyidik KPK –Novel Baswedan-.
Dengan kasus hukum di Indonesia yang membuat jenuh masyarakat bahkan mungkin wartawan dan redaktur pun bosan menerbitkan berita tentang hukum yang tidak berkesudahan. Dewasa ini juga orang kembali membicarakan terakit hubungan antara etika dan hukum. Hal ini antara lain muncul karena maraknya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pejabat negara bahkan hakim serta penegak hukum terkait.
Secara teori ataupun filosofis, etika dan hukum adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan seperti dua muka uang logam, namun kedua entitas ini berbeda dalam penegakannya. Etika adalah tempat dimana hukum itu ditemukan sedangkan hukum merupakan pengejewantahan hukum yang ditelah disepakati dan diformalkan dalam undang-undang.
Dalam disiplin ilmu hukum, kita akan menemukan hirarki hukum yang berawal dari nilai, asas, norma dan undang-undang. Dalam tingakatan tersebut, etika berada pada tataran norma dan asas, dalam artian posisi etika adalah jauh lebih tinggi diatas hukum. Implikasinya, pelanggaran terhadap etika secara sosiologis akan mendapatkan celaan dan hujatan yang sama atau bahkan lebih parah dari pelanggaran hukum yang dilakukan seseorang.
Penulis dan kawanan mahasiswa serta publik secara umum sangat geram ketika melihat seseorang yang sudah jelas dan nyata bersalah, tetapi harus dibebaskan begitu saja karena procedural hukum formal yang tidak memadai. Bahkan dapat dikatakan karena ketidakmampuan peradilan menyentuh orang-orang yang memiliki privilege (hak istimewa/power), dalam bentuk kuasa maupun finansial. Tidak ada usainya kita akan melihat orang yang memiliki jabatan tinggi akan semakin kokoh dipuncak karir politiknya, padahal jelas dan nyata sekali melakukan pelanggaran etik dan hukum yang tidak sepele. Secara etika, ketika seseorang melukai orang lain dengan efek yang sangat parah, maka ia akan dikenakan sanksi yang setimpal menurut kesepakatan masyarakat setempat. Namun, ketika hukum dikuasai oleh hakim yang tidak adil, otomatis perbuatan sejahat apapun akan dianggap wajar dengan menggunakan dalil undang-undang yang tidak sesuai dengan kasus yang sedang ditangani.
Tetapi etika akan tetap hadir ditengah keculasan berpikir para hakim ataupun politisi yang menggunakan uang untuk menyelamatkan dirinya dari jeratan hukum. Sebab etika tercipta dari budaya masyarakat yang sejatinya ia akan memiliki nilai keadilan yang objektif. Maka dari itu, jangan heran apabila tersangka kasus Novel Baswedan diberikan hukuman 1 tahun penjara, namun publik tetap bersuara bahwa fenomena ini merupakan ketidakadilan yang biasanya muncul seperti kasus hukum sebelum-sebelumnya.
Basis kepemimpinan di semua lapisan cenderung hanya berorientasi popular sebagai akibat budaya politik yang baru tumbuh dalam tradisi demokrasi yang masih tertatih-tatih. Dengan praktik kepemimpinan seperti ini maka akan menimbulkan gejala keterpisahan: antara kesadaran pusat kekuasaan yang mengklaim popularitas dukungan rakyat dengan kesadaran menengah yang memengaruhi pembentukan wacana publik. Keterpisahan antara retorika politik yang tercermin dalam media massa dan tindakan nyata yang memengaruhi dinamika kehidupan dalam masyarakat acapkali terjadi.
Tokoh-tokoh dalam proyek masyarakat tanpa disadari didorong pula oleh keadaan untuk terlibat dan melibatkan diri dalam agenda-agenda poltik nasional sehingga fungsi pembinaan masyarakat terbengkalai. Masyarakat bebas semakin tumbuh namun tidak terkendali. Karena tokoh masyarakat ditarik habis masuk ranah birokrasi politik. Contoh riil adalah ketika massa mahasiswa melakukan gerakan revolusi pada akhir tahun kemarin, kita melihat bahwa lakon dari aksi massa tersebut bukan hanya ditarik pada ranah politik, namun pada ranah iklan bisnis online serta menjadi artis dadakan yang popular. Pada dasarnya adalah sama, yaitu semakin kalah oleh eksistensi.
Pelanggaran etik biasanya memiliki implikasi setara dengan pelanggaran hukum. Banyak juga pejabat-pejabat negara di negeri-negeri lain yang memilih mengundurkan diri dari jabatannya karena terbukti atau bahkan baru diduga melakukan pelanggaran etik. Hal ini perlu apresiasi karena martabat kemanusiannya lebih utama daripada hanya jabatan semata. Namun konteks ini belum pernah terjadi di Indonesia. Adapun ia meninggalkan jika menurut UU/peraturan dia harus diberhentikan.
Kiranya peradilan hukum di Indonesia sangat perlu untuk ditinjau ulang baik dalam tataran norma hingga undang-undang. Karena etika yang sudah menjadi produk hukum di kalangan masyarakat perlu dilibatkan sebagai demarkasi antara keadilan dan ketidakadilan.
Faiz Amanatullah, Mahasiswa PAI UMY