YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – “Ada beberapa kejanggalan-kejanggalan yang disajikan oleh jaksa penuntut dalam proses penyidikan, termasuk sejumlakh saksi kunci yang tidak dihadirkan dalam persidangan,” ungkap Peniliti Senior ICW Donal Fariz, dalam Acara Webinar BEM PTM se-Indonesia pada Rabu (17/06).
Acara Webinar ini mengangkat tema mengenai Unfair Trial Kasus Novel Baswedan dan Tantangan Berat Pemberatan Korupsi di Indonesia. Webinar ini berlangsung atas inisiatif dari BEM PTM se-Indonesia dengan mengundang beberapa narasumber yaitu Satria Unggul Wicaksana Prakasa, Direktur Eksekutif Pusat Studi Anti-Korupsi dan Demokrasi (PUSAD), Donal Fariz (Peneliti Senior ICW) dan juga Muhammad Isnur (YLBHI).
Terlebih, Donal menjelaskan lebih lanjut bahwa tuntutan tersebut jauh lebih singkat bila dibandingkan dengan perjalanan pengusutan perkara yang terjadi pada 2017 lalu ini. Hingga turunnya perintah presiden untuk dibentuknya Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang terdiri dari POLRI pun belum menemukan siapa dalang dibalik serangan tersebut.
Di sisi lain, Muhammad Isnur menambahkan keberlangsungan jalannya persidangan tidak sesuai dengan hukum peradilan. Meskipun terdakwa sudah mengakui, namun berbagai macam kejanggalan tidak ubahnya membuat hukum menjadi cacat hingga menghasilkan tuntutan jaksa berupa satu tahun penjara. “Tak perlu dielakkan lagi, ini sudah terlihat unfair dalam proses persidangan. Terlebih para dugaan pelaku yang tidak hanya dilakukan oleh dua atau tiga orang saja.”ungkapnya.
Lebih lanjut Satria Unggul Wicaksana Prakasa (PUSAD) mengatakan berbagai kasus terror pun sering dialami oleh Novel Baswedan. Bahkan sebelum kasus penyiraman air keras padanya, terlebih sebelum kejadian ini Novel sebagai penyidik KPK dan penyintas anti-korupsi sudah sering mendapatkan perlakuan terror.
Selaku Koorpresnas BEM PTM se-Indonesia, Nur Eko mengajak sebagaimana kapasitasnya sebagai mahasiswa turut mengajak kepada teman mahasiswa dan para aktivis untuk turut mengikuti dan mengawal perkembangan kasus ini.
Menggunakan hak dan suara sebagai mahasiswa, sebagai agen penerus, jangan tajut untuk bersuara. Selaku BEM UM Surabaya, Nur Eko ingin agar mahasiswa tidak diam dan bungkam, terlebih takut untuk mengkritisi putusan-putusan peradilan. “sebagai mahasiswa, jangan mau diam saja, terlebih sebagai aktivis, tunjukan rasa pedulimu terhadap kejanggalan dan ketidakadilan yang terjadi di Indonesia.”tambahnya.
Mahasiswa yang memiliki peran sebagai masa depan Indonesia, sepatutnya memiliki rasa kecewa mendalam atas proses hukum yang tidak berjalan dengan adil dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Terlebih, bagaimana kedepannya dengan masa depan KPK di Indonesia jika melihat kejadian cacatnya hukum seperti ini.(rahel)