Jalan Berliku Dunia Buku
“KUTUKAN!” Kata itu diucapkan aktivis literasi, Muhidin M Dahlan, dalam forum dengar pendapat tentang RUU Perbukuan di Kantor DPD RI Daerah Istimewa Yogyakarta. “Jangan sampai kutukan ini terjadi terus-menerus!” katanya, seraya merinci permasalahan dunia perbukuan. Terkait harga kertas, regulasi pajak, aturan distribusi buku, kehadiran toko buku online, sampai minat baca. Di tahun 2000an, kita dihebohkan dengan tutupnya toko buku Alabene, Toko Buku Djawa, Gunung Agung, Eureka, dan baru-baru ini Aksara. Toko buku konvensional Gramedia juga mengalami penurunan penjualan sejak 2012.
Bagai benang kusut, sulit ditegakkan. Pemerintah belum bisa memberi solusi. Padahal, bangsa ini perlu berpacu membangun peradaban dan mengejar ketertinggalan, yang salah satu langkah strategisnya adalah dengan gerakan literasi. Wajar jika Ahmad Syafii Maarif, sejak 1985 lantang meneriakkan supaya Muhammadiyah menampilkan diri sebagai gerakan ilmu. “Harus rakus membaca!” katanya.
Menilik sejarah awal, Muhammadiyah dan gerakan literasi memiliki pertautan yang erat. Peneliti LIPI, Ahmad Najib Burhani menyebut bahwa salah satu pilar dari jati diri Muhammadiyah adalah schooling atau pendidikan. “Makna pendidikan di sini tidak hanya dibatasi pada pendidikan formal di sekolah, tapi juga transmission of knowledge melalui majalah, buku, dan media informasi lain,” tuturnya. Itulah yang membuat Muhammadiyah awal tidak hanya berkonsentrasi mendirikan sekolah dan mendidik kader bangsa melalui sistem sekolah, tapi juga membangun Majelis Pustaka dan Taman Pustaka.
Terbitan Majelis Pustaka, kata Najib, bukan hanya Almanak Muhammadiyah, tapi juga buku-buku penting seperti: Siswosoedarmo & Moechtar Boechary, Islam lan theosoefie, (Soerakarta: Moehammadijah b/g Taman Poestaka, 1926) dan Mochtar Boechary & M. Idris, Tasawoef: kapirid saking Kitab Ihyā’ ‘ulūm al-din, (Soerakarta [Indonesia]: Moehammadijah, Bagejan Taman Poestaka, 1928).
Menurut Najib, makna penting Suara Muhammadiyah tidak sekadar menerbitkan buku, namun juga menjadi salah satu bentuk schooling kepada masyarakat dengan menyalurkan wacana yang terkait dengan gagasan pembaruan dan modernitas. Pernyataan itu dibenarkan sejarawan, Abdul Munir Mulkhan. “Gerakan ini bahkan secara eksplisit menempatkan penerbitan pers dan buku sebagai kegiatan dalam ART-nya, bukan sekadar program, ketika orang melek huruf bisa dihitung dengan jari,” ulasnya.
Buah dari kepeloporan menggerakkan gerakan iqra ini dirasakan oleh masyarakat Hindia Belanda. “Gerakan ini berjaya di masa lalu karena terus berijtihad berfikir kritis, yang menggerakkan publik,” kata Munir. Menggairahkan dunia perbukuan di saat 95% penduduk buta huruf merupakan derap langkah tidak populer. Lambat laun, kepeloporan ini berhasil menggugah keasadaran bangsa.
Sekretaris IKAPI DIY, Sholeh UG menyatakan, Muhammadiyah memiliki banyak penulis dan pemikir yang memberi warna dalam dinamika bangsa. “Tahun 1980an wacana banyak didominasi oleh Muhammadiyah, seperti Amin Abdullah, Amien Rais, Dawam Rahardjo, itu yang mendominasi wacana di Indonesia dan saya pikir sekarang masih banyak. Penerbitan Muhammadiyah atau penerbitan oleh orang Muhammadiyah juga cukup banyak,” katanya. “Kuntowijoyo, baik dengan sastra profetik maupun new sosial profetik, mengubah wacana di Indonesia, termasuk kondisi sosial juga berubah,” ujarnya.
Perubahan kondisi sosial ditengarahinya ikut mengubah peta dunia perbukuaan setelah tahun 2000-an. Melewati usia seabad, Muhammadiyah perlu lebih kreatif dalam upaya mencerdaskan umat dan menebar kesadaran baru. Memasuki era revolusi 4.0 di mana big data sebagai sumber daya masa depan, kemampuan untuk mengolah dan memanfaatkan data menjadi utama. Dokumen-dokumen buku bisa ditemukan dalam bentuk digital. Sementara ironisnya, semangat literasi tidak berbanding lurus dengan akses terhadap sumber bacaan yang tidak terbatas.
Ketua PP Muhammadiyah Dadang Kahmad menyatakan, ada kesalahan dari evolusi literasi di tubuh bangsa ini. “Dulu zaman tradisi lisan begitu luas, seharusnya beralih ke tradisi tulisan, sebelum ke tradisi elektronik atau tradisi audio visual. Tapi bangsa Indonesia ini agak terlambat, tradisi tulisan itu terlompati, sangat sebentar kira-kira tahun 1950-1960an, tapi itu sangat sebentar karena kita proses pembentukan negaranya pun tidak begitu bagus berpihak kepada literasi, kepada tulis dan baca,” ungkapnya. Menurutnya, pada fase 1970an, seharusnya Indonesia beralih ke tradisi tulis. “Tiba-tiba langsung ke tradisi audio visual, dan sekarang tradisi elektronik beralih ke tradisi digital,” ulasnya.
Menurut Najib Burhani, era televisi ini berlanjut denga kehadiran YouTube. “Kita bahkan sekarang lebih memilih melihat YouTube daripada membaca buku untuk mendapatkan informasi, bukan hanya yang ringan, tapi juga yang ilmiah dan serius. Khan Academy adalah salah satu contoh bagaimana pendidikan dikemas melalui YouTube. Para muballigh dan dosen, di beberapa universitas, juga menggunakan YouTube dan Podcast untuk menyampaikan materinya. Buku lantas hanya menjadi salah satu alternatif saja di dunia sekarang ini,” kata Wakil Ketua MPI PP Muhammadiyah itu.
Di abad 21, pengetahuan bisa diakses dengan mudah. Orang menjadi tidak terbiasa membaca buku secara utuh dan berpikir runtut. Berlimpahnya informasi menjadi masalah baru. Tercipta kebingungan-kebingungan baru. Bahkan melahirkan sikap confirmation bias, yaitu hanya memperhatikan pengetahuan yang mendukung apa yang diyakini dan sesuai kecenderungan pribadi. Hanya percaya pada informasi yang membuat nyaman. Kalangan akademisi menyebutnya sebagai gelaja post truth.
Atas ragam kondisi ini, menurut Munir Mulkhan, Muhammadiyah harus menggali kembali keteladanan Kiai Ahmad Dahlan dan menangkap substansi ide yang ditawarkan untuk memajukan umat. Selain kepada Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang harus segera berbenah, Munir berharap banyak kepada Suara Muhammadiyah. “Penting unit khusus di Suara Muhammadiyah yang mengampu penerbitan buku kritis. (Dengan itu) kita bisa kembalikan marwah gerakan pembaru ijtihadi,” harapnya.
Direktur Utama Suara Muhammadiyah, Deni Asy’ari mengaku punya kewajiban moral untuk ikut serta dalam membangkitkan kembali geliat dunia perbukuan. “Gerakan literasi itu salah satu syaratnya yaitu dinamika penerbitan buku-buku. Di Muhammadiyah lahirnya intelektual baru, munculnya kelas terdidik dengan bacaan-bacaan baru, itu tidak lepas dari kontribusi penerbitan buku-buku berkualitas di lingkungan Muhammadiyah. Hari ini, referensireferensi untuk itu semakin menipis, bahkan, maaf, tokohtokoh intelektual kita hari ini tidak konsentrasi lagi seperti dulu, untuk menerbitkan buku-buku hebat,” ungkapnya.
Penerbitan buku yang belakangan diintensifkan oleh Suara Muhammadiyah dimaksudkan untuk menggeliatkan kembali pergulatan pemikiran serta memenuhi kebutuhan bacaan bagi upaya pencerdasan masyarakat. “Di tengah merosotnya gerakan literasi, kita ingin hadir memberikan semacam warna baru minimal di lingkungan Muhammadiyah, bahwa walaupun gerakan literasi penerbitan bukubuku baru, update bacaan-bacaan baru langka sekarang, Suara Muhammadiyah menjadi sebuah harapan bagi khalayak Muhammadiyah maupun masyarakat secara luas,” katanya.
Tidak hanya karya penulis Indonesia, SM juga menerjemahkan karya berbahasa asing. Gerakan penerjemahan di lingkungan Muhammadiyah melalui SM sebenarnya sudah sejak zaman doeloe. Pemikiran dan wacana progresif dari beragam belahan dunia diperkenalkan. Sebagai wujud ikhtiar gerakan iqra Muhammadiyah menuju peradaban utama.
Inilah dunia buku dengan segala keruwetannya. Membenahi dunia perbukuan harus menyeluruh dengan itikad baik semua kalangan. Mulai dari penulis yang harus lebih giat, pendistribusian yang lebih merata, regulasi yang lebih tertata, hingga pembumian minat baca.
Sebagai gerakan pencerahan, Muhammadiyah harus menjemput titik terang dunia perbukuan. Memberi energi baru bagi dunia buku, yang menurut Sholeh UG, sedang mengalami kejenuhan. Mengapa harus buku? Kata Mohammad Hatta, “Aku rela dipenjara, asalkan bersama buku. Karena dengan buku, aku bebas.” (ribas, bahan: rbs, rizq & gsh)
Pembelian buku secara online dapat dipesan melalui Suara Muhammadiyah Store
Sumber: Majalah SM Edisi 9 Tahun 2018