Pada awalnya Rasul mengingatkan para sahabat untuk menghindari duduk di pinggir jalan sebagai bentuk kehati-hatian. Ketika mereka mengemukakan alasannya, Nabi pun tidak melarang, hanya saja memberikan rambu-rambu yang harus diperhatikan
Safwannur
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا لَنَا مِنْ مَجَالِسِنَا بُدٌّ نَتَحَدَّثُ فِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ» قَالُوا: وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ؟ قَالَ: غَضُّ الْبَصَرِ، وَكَفُّ الْأَذَى، وَرَدُّ السَّلَامِ، وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ، وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ (رواه البخاري و مسلم)
Dari Abu Sa’id al-Khudri ra., Rasulullah SAW bersabda: “Hendaklah kalian menjauhi duduk-duduk di pinggir jalan. Para Sahabat berkata: “Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap”. Rasulullah SAW berkata: “Jika kalian enggan (meninggalkan bermajelis di jalan), maka berilah hak jalan”. Sahabat bertanya: “Apakah hak jalan itu?” Beliau menjawab: “Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas diriwayatkan oleh Al-Bukhari, kitab al-Isti’dzan bab Bad’u as-Salam no. 6229 dan Muslim, kitab as-Salam bab Min Haqq al-Julus ‘Ala ath-Thariq Radd as-Salam no. 2161. Fenomena duduk di pinggir jalan memang menjadi suatu kebiasaan manusia. Seakan ada sensasi berbeda yang didapatkan manakala berkumpul bersama di pinggir jalan dibandingkan dalam ruangan. Realita di era modern, kita saksikan khususnya anak-anak muda senang menghabiskan waktunya untuk nongkrong di pinggir jalan, bahkan sebagian dibumbui kemaksiatan dengan berbagai modelnya, kadang lebih betah nongkrong berjam-jam ketimbang menyibukkan diri dengan beri’tikaf dan mengikuti majelis taklim di masjid. Para sahabat pun tidak terlepas dari kebiasaan ini dan pastinya berbeda dengan kita sekarang. Pada awalnya Rasul mengingatkan para sahabat untuk menghindari duduk di pinggir jalan sebagai bentuk kehati-hatian. Ketika mereka mengemukakan alasannya, Nabi pun tidak melarang, hanya saja memberikan rambu-rambu yang harus diperhatikan.
Menundukkan Pandangan
Mata adalah organ tubuh yang berfungsi untuk melihat objek yang ada di sekitar kita. Semua yang direkam oleh mata biasanya secara spontan ditransfer ke hati dan akan membekas dalam ingatan. Pikiran akan melanglang buana ke alam hayalan memikirkan apa yang dilihat oleh mata, manakala mata dibiarkan liar memandang kepada hal yang dilarang dan menyebabkan munculnya keinginan di dalam hati. Allah memerintahkan mukmin agar senantiasa menjaga pandangannya, semata-mata untuk menghindari fitnah. Bagi yang bermajelis di pinggir jalan tentu tidak terlepas dari melihat orang yang lewat, karena jalan adalah tempat berlalu lalangnya manusia. Mungkin saja ada di antara pengguna jalan yang tidak menutup aurat dengan sempurna. Orang mukmin harus berusaha sebisa mungkin untuk menjaga pandangannya dari sesuatu yang dapat menimbulkan efek negatif bagi dirinya. Allah berfirman:
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ ( النور : ٣٠)
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (Q.S. an-Nur [24] : 30).
Menghilangkan Gangguan
Gangguan di jalan bisa berupa sesuatu yang dapat menghalangi pengguna jalan untuk melewatinya atau sesuatu yang dapat membahayakannya ketika melintas, seperti batu, duri, pohon yang jatuh menimpa jalan dan sebagainya. Bisa juga gangguan yang berupa perilaku manusia jail yang suka mengganggu pengguna jalan dengan tindakannya. Hal ini adalah bentuk kepedulian terhadap sesama dan salah satu cabang iman. Sabda Rasul SAW:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ – أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ – شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah SAW: “Iman memiliki beberapa cabang, 60 atau 70 cabang, yang tertinggi ucapan la ilaha illalah dan terendah menyingkirkan gangguan di jalan (H.R. Muslim)
Menjawab Salam
Salam merupakan simbol persatuan dan media kasih sayang kaum muslimin. Menjawab salam hukumnya wajib bagi orang yang mendengar ucapan salam dari saudaranya sesama muslim. Jika yang memberi salam adalah non muslim, dijawab dengan ucapan wa’alaikum. Dalam salam terkandung doa mujarab rasa kasih sayang sesama. Sabda Rasul SAW:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا، وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَفَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى أَمْرٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ (رواه أبو داود)
Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Demi dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian belum beriman sampai kalian saling mencintai, maukah kalian aku tunjukkan satu perkara yang apabila kalian melakukannya kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Abu Daud)
Menyeru Kepada Kebaikan dan Mencegah Kemungkaran
Aktivitas amar ma’ruf nahi munkar adalah kunci kehidupan beragama dan para Nabi diutus menyampaikan risalah Islam dengan pendekatan ini. Imam al-Gahazali dalam Ihya Ulumiddin, menutur bahwa amar ma’ruf dan nahi munkar adalah kutub terbesar dalam agama. Begitu penting dan karenanya Allah mengutus para Nabi. Jika ia hilang, syiar nubuwwah (kenabian) pun hilang, agama rusak, kesesatan tersebar, kebodohan merajalela, satu negeri dan umatnya akan hancur binasa (Ihya’ Ulumiddin, vol. VII/1186)
Amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan tugas mulia setiap mukmin dan akan diberi pahala seperti bersedekah. Sabdanya yang diriwayatkan dari sahabat Abu Dzar ra.:
… وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ… (رواه مسلم)
“Menyeru kepada kebaikan itu merupakan sedekah, dan mencegah kemunkaran itu sedekah…” (HR. Muslim). Wallahu a’lam.
Safwannur, Alumnus Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah Yogya dan pengajar Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut Jabar
Sumber: Majalah SM No 13 Tahun 2017