Ibnu Jarir atau Al-Thabari, demikian biasa dipanggil. Ahli Tafsir sekaligus menjadi rujukan umat Islam. Bukan hanya menjadi rujukan tafsir Al-Qur’an, tetapi dia juga menjadi sandaran pertanyaan tentang persoalan hukum pada masanya.
Ibnu Jarir Al-Thabari lahir pada tahun 223 H (838 M), di kota Ammul, ibukota Thabaristan, sekarang masuk wilayah negara Iran. Ia mempunyai nama lengkap Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Ghalib bin Al-Thabari Al-Ammuli. Seperti kebanyakan anak-anak semasa itu Ibnu Jarir mulai belajar agama dengan membaca dan menghafal Al-Qur’an pada umur 7 tahun, sudah mulai mencatat Hadits dimulai pada umur 9 tahun. Pada masa awal belajar agama diampu oleh ayahnya sendiri, kemudian Ibnu Jarir dikirim untuk ar-Rihlah li Thalabil Ilmi di berbagai daerah seperti Rayy, Basrah, Kufah, Mesir, dan Syiria.
Al-Thabari berguru kepada banyak ulama, besar sekali pengaruh para gurunya ini dalam pemahaman ilmu tafsir Al-Thabari. Ia berguru kepada Humayd bin Mas’adah dan Bishr bin Muaz Al-Aqadi di Kota Basrah. Ia berguru juga kepada Ahmad bin Yusuf as-Sa’labi, Al-Hasan bin Muhammad as-Sabbah Al-Za’farani dan Abi Saud Al-Astakhari untuk belajar ilmu qira’at dan ilmu fikih.
Kapasitasnya sebagai seorang ulama, Al-Thabari banyak menulis karya. Akan tetapi yang sampai kepada kita hanya beberapa, seperti misalnya Tarikh Al-Umam wa Al-Mulk, Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, Ikhtilaf Al-Fuqaha’, dan Kitab Tabsyir Uli Al-Nuha wa Ma’alim Al-Huda. Sedangkan yang masih menjadi manuskrip antara lain Sharih as-Sunnah, Rami Al-Qaws, Al-Aqidah, Al-Jami’ Al-Qira’at Al-Masyhurah wa Al-Syawaz.
Hadits Al-Himyar, ar-Risalah min Tiff Al-Qawl fi Al-Bayan ‘an Ushul Al-Ahkam. Setelah menyelesaikan berbagai karyanya, Al-Thabari menetap di Baghdad dan sempat singgah di tempat kelahirannya di Tabaristan. Di tempat kelahirannya inilah Ibnu Jarir wafat dalam usia 85 tahun. Yakni pada 27 Syawwal 310 H, bertepatan dengan 17 Februari 923 M. Ia dikuburkan di kediamannya di ‘Rahbah Ya`qub’.
Ibnu Jarir Al-Thabari hidup dalam situasi yang menguntungkan. Yakni di masa umat Islam sedang mengalami kejayaan dan kemajuan di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Zaman di mana Al-Thabari dan para ulama lain menikmati semangat belajar dan mengajar.
Budaya “Rihlah” atau perjalanan untuk menuntut ilmu sangat tinggi. Walaupun begitu, tindakan tidak fair juga kerap terjadi pada saat itu. Fanatisme madzhab dan pertikaian perbedaan pendapat keagamaan. Ibnu Jarir pernah menjadi korban kekerasan karena perbedaan pendapat dalam menafsirkan ajaran Islam.
Bermula ketika ia berceramah di Masjid Jami’ Kota Baghdad, ketika sekelompok orang bertanya tentang kedudukan Nabi Muhammad di atas ‘Arsy, yang bertepatan Al-Thabari menafsirkan akhir surat Al-Qur’an Al-Isra’ ayat 79. Al-Thabari menjawab bahwa hal tersebut tidak mungkin, kemudian beliau mengutip sebuah syair yang berbunyi “Subhanun man laisa lahu anisun, wa la lahu fi ‘arsyihi jalisun” (Mahasuci Dia yang tidak serupa dengan manusia, dan tidak ada tempat untuk duduk di Arsy selain Dia).
Rupanya jawaban itu berdampak besar, orang-orang yang tidak setuju dengan jawabannya tidak terima. Mereka melempari Al-Thabari dengan wadah tinta. Tidak berhenti di situ, mereka bahkan mengejar dan mengepung rumahnya. Amukan massa dapat diatasi setelah pemerintah mengerahkan pasukan untuk menghentikan pertikaian.
Karya Utama: Tafsir Al-Thabari
Kitab tafsir Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an merupakan karya utama Ibnu Jarir Al-Thabari dalam bidang tafsir Al-Qur’an. Dalam tafsirnya sering menggunakan kata ta’wil daripada tafsir, rupanya ia tidak membedakannya. Bagi Al-Thabari, dua-duanya adalah sinonim (mutaradif). Dua-duanya merupakan metode untuk memahami Al-Qur’an dengan berbagai alat bantu, seperti munasabah ayat (hubungan antara satu ayat dengan lainnya), asbab Al-Nuzul (sebab turunnya Al-Qur’an), makiyyah dan madaniyyah (ayat Al-Qur’an yang turun sebelum dan sesudah Hijrah Nabi ke Madinah), dan sebagainya.
Tafsir Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an atau dikenal Tafsir Al-Thabari menggunakan metode penafsiran tafsir bil Al-Ma’tsur. Metode penafsiran Al-Qur’an ini mempunyai definisi yakni penafsiran yang disandarkan kepada riwayat-riwayat generasi Muslim awal, berdasarkan riwayat dari Nabi, Sahabat, Tabi’in, maupun Tabiut Tabi’in. Walaupun di lain tempat Al-Thabari juga menggunakan ijtihadnya (tafsir bir ra’yi) dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Sistematika kitab Tafsir Al-Thabari menggunakan tartib Mushafi, penafsiran Al-Qur’an sesuai dengan urutan ayat dan surat dalam mushaf Al-Qur’an. Selain itu, kitab tafsir ini menggunakan metode tahlili (analisis): memaparkan berbagai aspek dari kandungan nilai-nilai AlQur’an dan menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian mufassir.
Dalam penafsiran Al-Qur’an, Al-Thabari menekankan pada sisi kebahasaan. Ia menjelaskan kata-kata Al-Qur’an dengan syair-syair Arab kuna. Ia juga menjabarkan dengan ilmu Bahasa Arab (Nahwu), dan menjelaskan i’rabnya. Dalam permasalahan fikih dalam ayat Al-Qur’an, Al-Thabari tidak terjebak dalam belenggu taqlid. Ia selalu berusaha memahami nilainilai Al-Qur’an tanpa melibatkan perselisihan dan perbedaan faham yang dapat menimbulkan perpecahan.
Al-Thabari juga mengumpulkan seluruh ragam dan varian qira’at Al-Qur’an dengan berbagai macam, baik yang diterima maupun yang syadz. Kemudian ia urai satu persatu. Apabila terjadi perbedaan dari qira’at masyhurah (riwayat qira’at yang masyhur), ia masih mentoleransi, selama tidak menyentuh inti isi dan makna ayat Al-Qur’an.
Salah satu keahlian Al-Thabari yang beliau tunjukkan dalam kitab tafsirnya ialah dalam bidang sejarah. Ketika menjelaskan ayat-ayat yang berhubungan dengan sejarah, ia menjabarkannya dengan panjang lebar, dengan dukungan cerita-cerita pra-Islam (riwayat isra’iliyyat). Al-Thabari sering mengambil sumber cerita dari orang Yahudi dan Nasrani yang telah menjadi Muslim, seperti: Ka’ab Al-Ahbar, Wahab bin Munabbih, Abdullah bin Salam, dan Ibnu Juraij.
Fauzi Ishlah, Kabid Pengembangan Intelektual DPD IMM DIY
Majalah SM No 19 Tahun 2015