Berhaji Mabrur (Tidak) Harus ke Makkah

Berhaji Mabrur (Tidak) Harus ke Makkah

Oleh Bahrus Surur-Iyunk

Tahun ini, jamaah haji Indonesia tidak diberangkatkan, dengan mempertimbangkan kondisi pandemi global covid-19. Bagi sebagian calon jamaah haji, bisa jadi, hal ini mengecewakan. Tetapi, bagi sebagian lainnya, jika ditilik lebih dalam dengan hati yang bersih,  hal ini akan menjadi lebih baik. Setidaknya, untuk menata kembali niat dalam hati.

Fariduddin ‘Aththar dalam karyanya, Tadzkirat Al-Auliya’, menceritakan pengalaman Abdullah Ibn al-Mubarak, salah seorang ulama zuhud dan masyhur di Mekkah pada masanya. Suatu hari, setelah menyelesaikan ritual ibadah haji, ia tertidur. Dalam tidurnya, ia bermimpi menyaksikan dua malaikat turun dari surga dan bercengkerama santai.”Berapa orang yang berhaji tahun ini?” tanya salah satu malaikat.

            “Enam ratus ribu orang”, jawab yang lainnya.

            “Berapa banyak yang diterima ibadah hajinya?”

            “Tidak seorang pun”,  jawabnya.

Ibn al-Mubarak mengisahkan, “Ketika aku mendengar itu, tubuhku menggigil, ‘Apa?’, kataku.” Aku berucap dalam hati, “Orang-orang ini datang dari berbagai penjuru belahan bumi dengan berbagai kesulitan dan keletihan di sepanjang perjalanan, harus berlayar di lautan, melewati padang pasir yang luas, namun usaha mereka sia-sia?

“Tapi ada seorang yang ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya telah diampuni, meskipun dia tidak jadi berangkat haji ke Baitullah.” Lanjut malaikat itu menceritakan.

“Siapa gerangan orang itu?”

“Ali Ibn al-Muwaffaq seorang tukang sol sepatu di Kota Damaskus.”

Mendengar nama itu, Abdullah Ibn al-Mubarak langsung terbangun dari tidurnya. Dengan rasa penasaran ia bergegas berangkat menuju kota Damaskus, Syiria, untuk menemui si tukang sol sepatu tersebut.

Sesampainya di Damaskus, ia mencari dan bertanya kepada orang-orang di sana dan menemukannya di pinggiran Kota Damaskus. “Apakah kamu yang bernama Ali ibn al-Muwaffaq?”

“Betul. Siapakah tuan?” Ali balik bertanya.

Ibn Al-Mubarak kemudian menyebutkan namanya dan menceritakan mimpinya. Mendengar itu, si tukang sepatu itu lalu menangis dan jatuh pingsan. Setelah siuman, barulah Ibn Al-Muwaffaq bisa menceritakan kisah hidupnya.

“Setiap musim haji tiba, aku selalu menangis jika mendengar suara talbiyah. Saya selalu berdoa. Ya Allah, ijinkan aku datang ke rumah-Mu. Ijinkan aku datang, ya Allah.”

“Karena keinginanku itu, maka setiap hari aku selalu menabung dari sebagian penghasilan aku sebagai tukang sol sepatu. Selama tiga puluh tahun, hingga akhirnya pada musim haji tahun ini, tabunganku sudah mencapai 350 dirham. Dan tahun ini aku berketetapan berangkat menunaikan ibadah haji ke Makkah.”

“Namun, suatu hari, istriku yang sedang hamil mencium bau masakan dari rumah tetangga. Dia memintaku untuk mencari sumber bau masakan itu sekaligus memintanya barang sedikit untuk istriku. Kemudian aku pun mencarinya. Aku mengetuk pintu lalu menjelaskan maksud kedatanganku. Wanita tetanggaku itu menangis mendengar kata-kata permintaanku.”

Si wanita itu lalu berkata, “Anak-anakku belum makan apa-apa selama tiga hari. Hari ini aku menemukan bangkai keledai, lalu aku mengambilnya sekerat dagingnya dan memasaknya. Daging itu tidak halal bagimu.”

“Hatiku serasa terbakar mendengarnya. Aku mengambil 350 dirhamku dan memberikannya kepada wanita itu. ‘Belanjakan uang ini untuk kebutuhan anak-anakmu’, kataku. Dan itulah ibadah haji.” Begitu kata Ibn Al-Muwaffaq kepada Abdullah Ibn Al-Mubarrak.

Abdullah Ibn al-Mubarak lalu berkata, “Malaikat telah berkata jujur dalam mimpiku, dan Penguasa surga benar dalam keputusan-Nya.”

Anda mungkin tidak akan terima dengan apa yang dikisahkan oleh Abdullah ibn Al-Mubarak di atas. Sebab, bukan hanya Anda, hampir semua orang menganggap bahwa berhaji harus tetap datang dan sampai ke tanah suci Makkah. Padahal, bisa jadi, mereka yang datang ke tanah suci lebih besar dan banyak didorong oleh keinginan duniawinya.

Dorongan duniawi itu tidak mesti berbentuk uang dan barang. Dorongan sekedar ingin tahu tanah suci, ingin menatap langsung Ka’bah dan Masjidil Haram, dorongan agar dipandang sebagai orang kaya dan sudah berhaji, dorongan ingin dipanggil “Pak Haji” dan “Bu Haji” setelah datang dari tanah suci, dan sekedar agar bisa bertamasya dan bercerita kepada orang lain tentang tanah suci dan pengalaman hajinya, adalah dorongan duniawi yang sering menyelimuti hati kita yang berhaji. Jika disadari dan beristighfar, Allah akan mengampuni. Jika tidak?

Karenanya, di era kekinian, jika seseorang yang belum menjalankan kewajiban haji disuruh memilih antara daftar haji dengan daftar tunggu selama 20 tahun atau berangkat umrah, mereka akan memilih umrah. Alasannya sederhana, takut tidak nutut ke usia dan tidak bisa melihat Ka’bah ke tanah suci.

Padahal, jika saja ia telah mendapat porsi haji dan masuk dalam daftar tunggu yang puuanjaang itu, lalu dia dipanggil ke sisi-Nya, bisa jadi ia telah mendapat prediket haji mabrur –meski tidak berangkat haji ke tanah suci. Mengapa? Karena kesucian dan keikhlasan hatinya terjaga, justru ketika tidak sampai berangkat haji ke tanah suci. Terlebih lagi, debu-debu riya’, sum’ah, ‘ujub dan takabbur beribadah itu sering muncul dan menempel saat menjalankan prosesi ibadah haji. Semoga Allah menjaga hati kita. Amin.

Bahrus Surur-Iyunk, Penulis buku Agar Imanku Semanis Madu (Quanta EMK, 2017), Nikmatnya Bersyukur (Quanta EMK, 2018) dan Menembus Batas Meraih Mimpi (SPK, 2019).

Exit mobile version