Orang mengenalnya Haji Karim Oei, tokoh PITI, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. Di PITI, Haji Karim Oei menjabat Ketua Umum selama 10 tahun dari 1963-1973. Selama kepemimpinan Mayjen (Purn) Satibi Darwis, menjabat sebagai Bendahara Umum PITI.
Lahir di Padang tahun 1905 dengan nama Oei Tjeng Hien dari keluarga pengrajin emas. Pada usia 25 tahun, Oei akhirnya memeluk Islam setelah mempelajari berbagai agama yang ada dengan melakukan studi perbandingan agama.
Setelah masuk Islam, Karim Oei aktif sebagai Konsul Muhammadiyah Bengkulu. Konsul Muhammadiyah pertama Bengkulu ialah H. Yunus Jamaluddin, setelah beliau wafat diganti dengan Zainul. Setelah itu konsul dipegang oleh Hasan Din, ayah dari Fatmawati Soekarno. Hasan Din digantikan oleh Oei Tjeng Hien.
Pada tahun 1938 Bung Karno dipindahkan tempat pengasingannya dari Pulau Endeh ke Bengkulu. Muhammadiyah Bengkulu diinstruksikan oleh Pengurus Besar Muhammadiyah Yogyakarta untuk mengeluelukan kedatangan Bung Karno itu di Tebah Penanjung batas Kepahyang, dengan Bengkulu.
Maka sejak dari Curup dan Kepahyang jamaah Muhammadiyah telah menyambut Soekarno dengan baik. Dan tidak beberapa lama, Bung Karno menyatakan bergabung Muhammadiyah, oleh PB Muhammadiyah Yogyakarta, penggabungan Bung Karno disiarkan ke seluruh Indonesia.
Dalam salah satu Konperensi Muhammadiyah Bengkulu, dengan suara bulat Majelis Konsul Muhammadiyah dipegang oleh Haji Abdul Karim Oei Tjeng Hien dan Ketua Majelis Pengajaran dipegang oleh Bung Karno.
Sejak itu, hubungan dekat antara Soekarno dan Karim Oei terus berlanjut sampai kemerdekaan Indonesia. Diskusi keagamaan dan nasionalisme kemerdekaan di Bengkulu mendorong Abdul Karim Oei ikut terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pemuka Muhammadiyah Bengkulu mendapat ilmu sosial-politik yang diperjuangkan Soekarno, yang akhirnya menjadi nasionalis sejati yang memperjuangkan kemerdekaan dan modernisme Islam.
Sedangkan Bung Karno mendapat banyak ilmu agama dengan berdialog langsung dengan ulamaulama Muhammadiyah yang banyak dari Minang. Selama di Bengkulu, Bung Karno banyak menulis tentang keislaman yang dimuat dalam majalah Panji Islam dan Pedoman Masyarakat di Medan.
Sejak menjabat Konsul Muhammadiyah Bengkulu, Abdul Karim Oei terlibat dalam kegiatan Persyarikatan Muhammadiyah nasional. Berkawan baik dengan Buya Hamka, KH Mas Mansur, dan jajaran pimpinan PB Muhammadiyah Yogyakarta. Hubungan dekat dengan pengurus teras Muhammadiyah mengantarkan Abdul Karim Oei menjadi anggota Majelis Tanwir Muhammadiyah (1952–1973) dan Ketua Dewan Ekonomi Muhammadiyah (1964–1973).
Nasionalis dan Penjara
Sejak menjabat kepala penasehat untuk wilayah Sumatera tahun 1948, JJ Van De Velde sangat sibuk menyiapkan pembentukan beberapa Negara Federal di Sumatera. Setelah Negara Federal Bagian Sumatera Selatan dan Sumatera Timur terbentuk, mulai dipersiapkan pembentukan Negara Federal Bagian Bengkulu. Untuk itu, dikumpulkan semua pimpinan partai dan tokoh masyarakat, juga tokoh dari etnis Tionghoa dalam satu perundingan dengan pejabat Belanda. Tokoh penting Tionghoa Bengkulu yang memiliki pengaruh luas adalah Oei Tjeng Hien.
Suasana perundingan hampir semua sudah setuju membentuk Negara Federal, tinggal menunggu keputusan Oei Tjeng Hien, mengingat kondisi Indonesia dianggap sudah kalah ketika banyak pemimpin negara ditangkap dan dibuang ke Parapat. Suasana perundingan digambarkan Oei dalam buku “Haji Oei Tjeng Hien Mengabdi Agama dan Bangsa” sangat menarik. Dalam suasana penuh tekanan, Oei maju ke depan dan bertanya pada peserta, “Apakah pemerintah kita masih ada atau tidak? Negara RI masih ada atau tidak. . .?”
“Masih ada. . .” jawab sebagian besar peserta dalam suasana riuh. “Saudarasaudara bilang, pemerintah dan negara kita masih ada. Berarti Presiden, Wakil Presiden dan Menteri-Menteri kita masih ada. Meskipun mereka itu ditangkap dan dibuang di Parapat, tapi negara kita masih tetap utuh, dan Soekarno-Hatta masih tetap sebagai pemimpin negara Republik Indonesia. Bagaimana kita dapat bekerjasama dengan Belanda. Kita tidak bisa berbuat sendiri, harus menunggu keputusan dari pemerintah kita. Yang menyetujui, yang mendukung Negara Federal, itulah yang tidak lagi mengakui adanya pemerintahan dan negara RI, ini berarti penghianatan”.
Suasana menjadi kacau, dan pada akhir perundingan, Oei Tjeng Hien dianggap sebagai musuh Belanda. Jaminan keamanan yang awalnya dijanjikan oleh Kepala Polisi Van den Berg akhirnya diabaikan.
“Bagaimana keputusan ini, Tuan Oei Tjeng Hien”, Tanya Van den Berg. “Kami tidak bersedia. Tuan lihat sendiri. Saya minta dipenuhi janji Tuan supaya kembalikan saya ke Muara Aman”, pinta Oei.
“Tempat tuan di sana, di penjara”, jawab Van den Berg dengan kasar dan sinis. “Terhadap diri saya, Tuan berlaku curang, apalagi kalau Negara Federal Bengkulu berdiri, kami semua rakyat Bengkulu akan Tuan khianati”
Akhirnya Oei Tjeng Hien dijebloskan ke penjara selama 8 bulan sampai menjelang pengakuan kedaulatan RI. Itulah catatan pengalaman pejuang kemerdekaan Indonesia yang berasal dari Muslim Tionghoa. Oei Tjeng Hien lebih kita kenal sebagai Haji Karim Oei, Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) pertama pada tahun 1961.
Bersama Buya Hamka yang didapuk sebagai Bapak Muslim Tionghoa, Abdul Karim Oei berkeinginan menyelesaikan “problem Tionghoa” dan soal pembauran. Menurut Hamka, Islam-lah yang dapat memberikan jawaban paling tepat. Sebab, agama Islam memberikan jaminan bahwa seseorang akan mencintai tanah airnya, berdasarkan pedoman Muslim, yaitu hubul wathan minal iman (mencintai tanah air adalah bagian dari iman).
Karim Oei diakui banyak kalangan sangat peduli dengan solusi asimilasi Tionghoa di Indonesia, khususnya Muslim Tionghoa. Ia memiliki sikap yang jelas mengenai apa yang harus dilakukan oleh etnis Tionghoa. Menurut Karim Oei, setelah etnis Tionghoa menjadi WNI mereka harus keluar dari hidup mengelompok dalam etnisnya dan terjun di kalangan masyarakat dan ikut membantu menyelesaikan berbagai problem dan ikut membantu pembangunan bangsa.
Sunano, Penulis Buku ‘Muslim Tionghoa di Yogyakarta’
Sumber: Majalah SM Edisi 11 Tahun 2017