JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ramainya perdebatan RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) akhir-akhir ini menarik perhatian Pusat Studi Buya Hamka (PSBH) Universitas Prof. Dr. Hamka (UHAMKA). Dalam rangka merespon RUU HIP itu PSBH melaksanakan Webinar yang disiarkan melalui video telekonferensi, pada Sabtu, 27 Juni 2020.
Para pembicara dalam Webinar ini adalah Prof. Jimly Asshiddiqie, Maneger Nasution dan JJ Rizal. Diskusi dihadiri lebih dari 80 orang yang terdiri akademisi dan peneliti dari berbagai lembaga seperti UIN Imam Bonjol Padang, UM Sumatera Barat, STAIDA Payakumbuh dan Simak Institute (Lembaga Studi Islam dan Kebudayaan).
Webinar ini membicarakan tentang Pancasila dalam Pandangan Buya Hamka. Tujuannya adalah agar bangsa Indonesia membaca kembali sejarah keterlibatan umat Islam dalam merumuskannya, hingga kesepakatan terbentuknya Pancasila.
Budi Johan sebagai pemantik diskusi membuka pandangan Buya Hamka tentang Pansila. Menurut Budi Johan, yang juga Wakil Ketua PSBH, Buya Hamka menulis buku khusus tentang Pancasila yang berjudul Akar Tunggang Pancasila.
Dalam buku itu Buya Hamka menjelaskan bahwa yang menjadi Akar Tunggang Pancasila adalah Ketuhanan. Ketuhanan adalah dasar dari sila-sila lainnya.
Dalam diskusi Webinar itu, Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa suasana RUU HIP merupakan respon dari dilupakannya peristiwa 1 Juni selama 32 tahun Orde Baru. Sekarang ketika anak-anak Soekarno memegang kekuasaan, peristiwa bersejarah itu dimunculkan kembali. Namun begitu, kritik manta ketua MK itu, peristiwa tanggal 22 Juni juga tidak boleh dilupakan sebagai bagian dari sejarah Pancasila.
“Pidato 1 Juni itu di abaikan selama masa Orde Baru. Tapi peristiwa 22 juni jangan juga diabaikan”, ujar Jimly.
Tanggal 1 Juni, menurut Jimly, harus ditempat pada tempat yang proporsional. Sebab pidato 1 Juni adalah pidato pribadi Bung Karno. Sementara peristiwa 22 juni adalah hasil kesepakatan bersama yang juga diketuai oleh Bung Karno.
Ditegaskan Jimly, perbedaan pendapat tentang Pancasila sudah selesai. Semua telah sepakat dengan pancasila yang ada sekarang. Umat Islam juga sudah menerima Pancasila meskipun kewajiban menjalankan syariat dihapus. Oleh sebab itu, jangan lagi Pancasila diotak-atik dan dikembalikan pada perdebatan awal, tegas anggota DPD RI tersebut.
Terkait dengan pandangan Hamka, Jimly mengatakan bahwa menurut Buya Hamka, sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sila utama dan sila pokok yang menyinari sila yang lain. Dalam khutbahnya Hamka menyebut bahwa Pancasila ibarat angka 10.000,-
Empat nol di belakang angka tidak akan ada maknanya tanpa ada angka satu di depan. Maksudnya adalah bahwa sila-sila yang dalam dalam Pancasila tidak akan ada artinya bila tidak didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Terakhir ia mengingatkan, jangan sampai ide satu partai dijadikan sebagai agenda negara.
Pembicara kedua dalam diskusi, Maneger Nasution mengatakan hal serupa. Bahwa menurut Buya Hamka, memahami sila kedua, tiga, empat dan lima harus dirujuk pada sila pertama, yakni ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian cara membaca Pancasila menurut Buya Hamka adalah kemanusiaan yang adil dan beradab berdasarkan ketuhanan, persatuan Indonesia berdasarkan ketuhanan.
Menurut Wakil Ketua LPSK, RUU HIP ini bermasalah; alasannya antara lain adalah pertama, RUU ini (baca; HIP) cacat filosofis, kedua, RUU HIP inkonstitusional. Sebab 1 Juni adalah ijtihad pribadi Soekarno, ketiga, RUU HIP ahistoris. Kalau kita menggunakan teori siklus Ibn Khaldun maka problem hari ini hanya pengulangan sejarah saja. Pidato Bung Karno harus ditempatkan di tempat yang proporsional. Keempat, adanya sekularisasi Pancasila. Padahal sila pertama tentang ketuhanan adalah core (inti) dari Pancasia. Kelima, adanya agenda tersembunyi di balik RUU HIP ini.
Lebih lanjut, JJ Rizal mengatakan bahwa Buya Hamka pernah menggugat penulisan sejarah nasional. Hamka mempertanyakan posisi umat Islam dalam sejarah Indonesia. Bagi Hamka sejarah Indonesia merupakan sejarah Islam sentris. Sejarah umat Islam Indonesia merupakan bagian sejarah umat Islam dunia.
Oleh karena itu, umat Islam perlu jelas kedudukannya dalam sejarah. Karena Pancasila akan menjadi dasar negara, dimana sumbangsih umat Islam sangat besar dalam kemerdekaan Indonesia, maka pemaknaan pancasila itu harus dipulangkan pada Islam.
Terlebih kata Buya Hamka, Pancasila itu hidup dalam kata merdeka. Kata merdeka itu adalah kata yang lekat dengan Islam dan takbir dalam shalat.
Dalam diskusi Webinar ini sebagian besar peserta sepakat meminta PSBH menyatakan sikap agar RUU HIP tidak hanya dihentikan tapi juga dicabut dan dibatalkan. (riz)