Kunjungan kenegaraan ke India pun, Presiden Sukarno dan rombongan mendapat sambutan hangat dari rakyat setempat dan pejabat. Apalagi sambutan dari Perdana Menteri Jawaharnal Nehru. Indonesia tentu tidak dapat melupakan atas jasanya pada tahun 1947 yang telah mengusulkan kepada PBB agar segera turun tangan menyelesaikan ulah tentara Belanda yang menyerbu Indonesia kembali yang telah merdeka dan berdaulat. Dalam lawatan atau kunjungan itu, rombongan tidak melewatkan kesempatan baik, yakni melihat Taj Mahal di Agra, sebuah bangunan yang termasuk tujuh keajaiban dunia.
Presiden Sukarno bersama rombongan setelah melakukan berbagai agenda acara yang telah terjadwal selama beberapa hari tersebut, dalam perjalanan kembali, alhamdulillah, sampai di Tanah Air selamat dan sehat wal afiat.
Ceramah Nuzulul Qur’an di Istana Negara
Peringatan Hari-hari Besar Islam, di antaranya Peringatan Nuzulul Qur’an, biasanya diselenggarakan oleh Kementerian Agama, pada masa Presiden Sukarno, berlangsung setiap tahun di Istana Negara. Berbagai peringatan itu disiarkan langsung oleh RRI. Setelah itu, pada masa Presiden selanjutnya, tempat berlangsungnya peringatan tidak lagi di Istana Negara, tapi di Masjid Istiqlal. Disiarkan tidak lagi hanya oleh RRI, tetapi juga TVRI dan TV lainnya.
Pada bulan Ramadhan, KRH Hadjid diminta untuk ceramah pada Peringatan Nuzulul Qur’an di Istana Negara, Jakarta, tahun 1956. Permintaan itu pun disanggupi dan dilaksanakan dengan tulus. Dari peringatan itu ada sesuatu yang mengesankan baginya. Ibu Fatmawati yang sudah agak sementara lama tidak tinggal di Istana, pada malam Peringatan Nuzulul Qur’an itu, ia hadir di Istana. Bahkan lebih dari itu, karena Ibu Negara berkenan membaca beberapa ayat AlQur’an. Penampilannya yang tenang dan suaranya yang nyaring membuat semua yang mendengarkan terharu. Yang terharu bukan hanya hadirin yang mendengarkan secara langsung karena hadir di Istana. Tetapi juga bagi mereka yang nyetel radio di rumah atau di mana pun yang menyiarkan peringatan itu. Sebab, acara semacam itu biasanya disiarkan oleh RRI. Kalau TVRI dan semacamnya pada masa itu di Indonesia memang belum ada.
Ibu Wasilah Hadjid yang mengikuti siaran radio di rumah begitu terharunya sampai berdoa, “Ya Allah, semoga Bung Karno dan Ibu Fatmawati bisa rukun kembali …” Doa itu berisi harapan yang diucapkan karena keprihatinan. Karena, Ibu Fatmawati dan Bung Karno tidak tinggal bersama di Istana Negara lagi. Bu Fat bersama anak-anaknya termasuk Megawati (Presiden RI ke-5) tinggal di luar Istana Negara.
Keluarga sederhana dan bersahaja
Pak Hadjid dan Ibu Wasilah adalah dua sosok hamba Allah yang berpribadi sederhana dan bersahaja. Dalam berkeluarga mereka dikaruniai keturunan banyak, 13 anak (11 laki-laki dan dua perempuan). Mereka aktif dalam Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di mana mereka tinggal. Di antara anak lelakinya yang penulis kenal dekat dan akrab ialah H Haiban Hadjid (anak sulung). Ia pernah menjadi Kepala PGAAN Surakarta, Kepala Jawatan Pendidikan Agama DIY, Wakil Ketua Majelis HW PP Muhammadiyah, Majelis Pembimbing Kwartir Nasional Pramuka, dan Pimpinan Pasukan APS.
Ketika ia menjadi Ketua PWM DIY (1968 – 1971) kebetulan penulis mendampinginya sebagai Sekretaris. Sedangkan anak perempuan yang penulis kenal ialah Uswatun Hasanah. Ia aktif di ‘Aisyiyah dan pernah menjadi redaksi Majalah Suara ‘Aisyiyah. Bahkan ia telah menulis buku “Kehidupan dan Perjuangan Ayahku (Riwayat Hidup KRH Hadjid)”. Buku tersebut menjadi salah satu rujukan bagi penulis dalam kolom SM ini.
Demikianlah lika-liku hidup, perjuangan, dan pengabdian KRH Hadjid. Sepanjang hidupnya tidak pernah surut semangatnya untuk berjuang. Organisasi yang tak pernah ditinggal kan sejak awal sampai akhir hayatnya hanyalah Muhammadiyah. Sekalipun ia pernah memasuki organisasi lain, namun ia tak pernah meninggalkan Muhammadiyah. Karena ia merasa dibesarkan oleh Muhammadiyah, maka ia harus membesarkan Muhammadiyah. Ia siap dan giat menggembleng kader Muhammadiyah di mana pun dan kapan pun. Sang pejuang ini banyak jasanya, baik bagi Persyarikatan dan Umat Islam maupun bagi Bangsa dan Negara Indonesia. Pantas dan layak, ia mendapat Surat Keputusan Presiden tahun 1955 sebagai pejuang.
Pada hari Kamis malam Jum’at pukul 19.00 WIB, tanggal 23 Desember 1977, KRH Hadjid wafat di rumah kediamannya Kauman Yogyakarta dalam usia 79 tahun lebih 4 bulan. Keesokan harinya, setelah selesai ibadah Jum’at di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, jenazahnya dishalatkan oleh kaum Muslimin, khususnya dari keluarga besar Muhammadiyah. Ketua PP Muhammadiyah KH AR Fachruddin memberi sambutan pelepasan sebelum jenazah almarhum diberangkatkan ke pekuburan Pakuncen untuk dimakamkan. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Semoga Allah melimpahan maghfirah dan menerima semua amal perjuangannya. Habis
Sumber: Majalah SM Edisi 16 Tahun 2016
Artikel sebelumnya
KRH Hadjid Sang Pejuang (3) Difitnah dan Ditahan
KRH Hadjid Sang Pejuang (4) Berhaji bersama Presiden Sukarno