Di tengah kondisi pandemi wabah covid-19, peredaran Narkoba masih saja merajalela. Beberapa berita tentang penangkapan kurir hingga pecandu Narkoba berseliweran di media. Memang persoalan narkoba menjadi problem yang sangat serius dewasa ini. Lembaga Pemasyarakatan saat ini pun dipenuhi oleh kasus Narkoba. Kurang lebih 60% penghuninya adalah terpidana Narkoba. Mulai dari bandar besar, pengedar kecil hingga pengguna yang tidak mendapat rehabilitasi di rumah sakit.
Persoalan Narkoba sangat kompleks untuk diurai benang merahnya. Tidak hanya pencegahan dan pemberantasan peredaran Narkoba saja, persoalan rehabilitasi pun menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan dengan sempurna. Residivisme kasus Narkoba cukup tinggi presentasenya. Selama ini bukan masalah rehabilitasi kesehatan yang membuat mereka menjadi residivis, melainkan tidak sempurnanya rehabilitasi sosial lah yang menghancurkan mereka.
Masyarakat masih kurang kooperatif terhadap ex-narapidana, termasuk narapidana kasus narkoba, yang telah bebas. Ada stereotip negatif yang selalu melekat pada mereka. Kecenderungan ini mengakibatkan mereka terjauhi oleh masyarakat, bahkan agama. Persoalan rehabilitasi sosial bagi ex-narapidana merupakan agenda yang sangat mendesak karena pidana penjara bukan merupakan solusi untuk menekan tingginya kriminalitas, terutama kasus pengguna narkotika.
Menurut hasil penelitian Institute of Criminal Justice Reform (ICJR, 2016) tidak ada penelitian ilmiah yang membuktikan bahwa hukuman pidana penjara membuat tingkat kriminalitas semakin rendah, malah membuat para alumninya menjadi lebih ahli dari sebelumnya, termasuk pada terpidana kasus narkoba. Selain itu penjara juga kerap membuat mereka jauh dan terasingkan dari masyarakat, sehingga meningkatkan angka residivis.
Selain itu, menurut Gunawan (2016) pada jurnal sosia informa mengatakan bahwa stigma yang terbangun di masyarakat merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap optimalisasi pemulihan ex-narapidana Narkoba. Apabila yang terbangun adalah stigma negatif, maka pemulihan tidak akan terealisasikan dengan baik.
Hal senada juga disampaikan oleh C. Djisman Samosir, dalam Penologi dan Pemasyarakatan (2016), bahwa sikap kurang menaruh perhatian terhadap bekas narapidana sesungguhnya patut disesalkan. Seharusnya masyarakat harus membuka diri kepada bekas narapidana dan tidak mengasingkan mereka dalam kegiatan sosial sehari-hari. Ketika masyarakat selalu berprasangka buruk, maka pada akhirnya akan mendorong bekas narapidana tersebut melakukan kejahatan kembali. Termasuk para narapidana kasus narkotika.
Maka sebagai upaya optimalisasi rehabilitasi bagi ex-narapidana narkoba, masyarakat dituntut untuk terlibat aktif dalam proses pemulihannya. Pelibatan masyarakat serta organisasi-organisasi sosial masyarakat dalam proses pembinaan dan pemulihan ex-narapidana narkoba dirasa mampu untuk meminimalisir angka residivisme serta dapat menimbulkan kesadaran jangka panjang bagi ex-narapidana tersebut. Persoalannya, kita mau atau tidak untuk menerima dan membina mereka.
Jika ditinjau dari aspek sosial dan budaya, sebenarnya bangsa kita memiliki modal baik untuk mengoptimalkan rehabilitasi sosial, karena masyarakat kita memiliki budaya gotong-royong yang baik untuk saling membantu. Terlebih lagi banyak Ormas yang memiliki sumber daya cukup untuk membantu memulihkan para pengguna narkoba maupun eks narapidana narkoba, seperti Muhammadiyah dan NU. Bahkan seharusnya kita sebagai masyarakat biasa pun bisa menjembatani mereka untuk mau berebenah menjadi manusia yang bisa lebih baik lagi. Siapa tahu jika kita mau membuka diri untuk mereka dan menerima kembali serta memberi bimbingan, bukan tidak mungkin potensi untuk mengulangi kejahatan semakin berkurang ataupun menghilang. Meskipun sulit bukan berarti tidak mungkin. Mudah-mudahan peringatan Hari Anti Narkoba beberapa hari lalu di masa pandemi ini dapat benar-benar diresapi, baik bagi para pengguna yang masih terjerumus, maupun kita yang memiliki potensi untuk membantu memulihkan mereka dengan tidak selalu memberi label negatif.
Wallahua’lam bisshawwab
Royyan Mahmuda Daulay, alumni Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta