Ekonomi Pancasila di Tengah Pandemi Covid-19

KULON PROGO, Suara Muhammadiyah – Pandemi Covid19 menumbuhkan kesadaran baru dalam semua kegiatan di masyarakat, protokol kesehatan dengan memperhatikan physical distancing dan perilaku hidup sehat harus selalu digemakan kepada seluruh masyarakat untuk memutus mata rantai penularannya.

Protokol ini diterapkan dalam acara Sosialisasi Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika oleh M. Afnan Hadikusumo anggota DPD RI yang diselenggarakan MPR bekerjasama dengan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kulonprogo di Aula Kantor PD Muhammadiyah Kulonprogo 27 Juni 2020.

Dalam paparannya Afnan mengemukakan bahwa sistem ekonomi Pancasila pertama kali disebutkan di salah satu artikel karangan Dr. Emil Salim pada 1967. “Yang kemudian pada tahun 1979 beliau menjelaskan bahwa ekonomi Pancasila dapat dipahami sebagai sistem ekonomi pasar dengan kendali pemerintah. Istilah ini juga memiliki beberapa nama lain, seperti ekonomi pasar terkendali, sistem ekonomi campuran, dan sistem ekonomi jalan ketiga,” ungkapnya.

Sebenarnya sistem ekonomi ini sudah ada sejak zaman neo-klasik. Sistem ini dibangun menggunakan paham liberal dengan menjunjung nilai individualisme dan kebebasan pasar yang ditambah dengan nilai-nilai Pancasila. Ekonomi Pancasila sebenarnya dibentuk untuk mengubah perekonomian kolonial menjadi nasional,

Implementasi ekonomi Pancasila dalam berusaha bagi warga negara berupa : Pengelolaan sistem keuangan yang baik dengan berlandaskan nilai agama atau ketuhanan Yang Maha Esa. Memberikan gaji dan fasilitas karyawan sesuai dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.

Menghasilkan produk usaha terbaik, tidak bertentangan dengan nilai dan norma masyarakat sehingga dapat menjaga persatuan bangsa. Mengedepankan permusyawaratan dalam perusahaan untuk memutuskan segala masalah menyangkut. Adanya proses distribusi yang baik dan produk yang bisa dimanfaatkan banyak pihak sehingga berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam sesi diskusi yang hangat disinggung tentang bagaimana sikap anggota DPD RI terhadap usulan RUU HIP, Afnan mengatakan menandaskan mayoritas anggota DPD RI menolak usulan RUU HIP tersebut dengan alasan RUU tersebut masih belum memenuhi asas-asas penyusunan suatu undang-undang.

Dari aspek Filosofis, Pancasila merupakan staats fundamental norm atau Pokok-pokok kaedah fundamental negara, sebagai kaidah fundamental negara diaktualisasikan dalam pasal-pasal dan ayat UUD tahun 1945 sehingga disebut berfungsi sebagai dasar negara. Selain itu Pancasila memiliki fungsi sebagai pandangan hidup, sebagai dasar negara, dan sebagai idiologi nasional. Atas dasar itulah, maka tidak diperlukan lagi perumusan nilai-nilai Pancasila dengan membentuk UU HIP, tandas Afnan.

Dari aspek sosiologis, penyusunan RUU HIP menimbulkan misleading dari rumusan norma hukum, antara HIP menjadi pedoman dan iptek menjadi landasan. Bahkan rumusan HIP juga tidak jelas, terutama dalam memberikan peran kepada Presiden sebagai implementor pembinaan HIP. Jika Presiden ditempatkan sebagai sebuah Lembaga dan bukan sebagaio kepala negara/kepala pemerintahan, maka harus diperhitungkan persinggungan politik egosentrisme.

RUU inipun tidak dapat diimplementasikan. Jika RUU ini diundangkan akan dapat menemui kendala dalam implementasinya. Kenapa? Pertama, politik hukum menempatkan RUU ini menjadi UU payung atau UU pokok. Kedua, dalam RUU itu disebutkan bahwa bagi penyelenggara negara dalam menyusun, merencanakan, dan menetapkan kebijakan pembangunan nasional harus merujuk pada UU HIP ini atau istilahnya UU payung, sayangnya dalam konstruksi hukum di Indonesia tidak dikenal dengan UU payung atau UU satu lebih tinggi dari UU yang lainnya. Atas dasar itulah, maka dapat dikatakan UU HIP akan sulit untuk diimplementasikan.

Ini belum masuk pada aspek yuridis, dimana banyak sekali aturan-aturan hukum yang nantinya akan bertabrakan satu dengan lainnya jika RUU ini diundangkan.

Hadir dan memberikan presentasi pada acara tersebut, Drs. Mawardi (Ketua Majelis Dikdasmen PD Muhammadiyah Kulonprogo), serta dimoderatori Nanang Wahyudi. (Ariefhartanto/Riz)

Exit mobile version