Seabad Muhammadiyah Nusa Tenggara Barat
Sejarah munculnya lembaga pendidikan Islam modern di NTB tidak dapat dilepaskan dari sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah. Ini tampak dari pendirian Sekolah Mu’allimin di Pancor, Lombok Timur pada 1937
Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Pada 30 April 2017, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, datang ke Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), untuk mengisi beberapa agenda, antara lain Tabligh Akbar, penyerahan Pondok Pesantren Al-Ikhlas Muhammadiyah Tolobali kepada Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) PDM Bima, dan peresmian ruang rawat inap dan instalasi gawat darurat (IGD) RS PKU Muhammadiyah Bima.
Selain sejumlah tujuan praktis di atas, kunjungan Haedar juga merupakan suatu bentuk rasa syukur atas kemajuan yang berhasil dicapai Muhammadiyah, tidak hanya di Bima, namun juga di NTB secara keseluruhan. Kini, Muhammadiyah di NTB mengelola puluhan sekolah dari SD hingga SMA, beberapa perguruan tinggi dan sejumlah klinik serta rumah sakit. Kesuksesan ini tidak datang tiba-tiba, tapi melalui proses sangat panjang, yang mencakup masa selama hampir seratus tahun.
Bagaimana perjuangan Muhammadiyah di NTB dalam satu abad ini? Salah satu catatan menyebutkan bahwa Muhammadiyah masuk ke NTB pada 1918. Namun, geliat aktivitas Muhammadiyah baru tampak jelas pada era 1930an. Ini ada kaitannya dengan kedatangan beberapa orang ulama dari Makkah yang kemudian berupaya keras menyebarluaskan ide-ide Muhammadiyah. Mereka adalah Tuan Guru H Harist, yang belajar di Darul Quran wal Hadits di Makkah, dan Tuan Guru H Abdurrahim, alumni Madrasah Darul Ulum, juga di Makkah, pada pertengahan 1930an. Ceramahceramah Tuan Guru H Harist yang simpatik dan persuasif disebut berhasil menarik minat banyak orang kepada Muhammadiyah, kendati masih banyak orang yang belum berani masuk Muhammadiyah.
Sama seperti di bagian lain Hindia Belanda, misi yang dihadapi para dai Muhammadiyah di tahun-tahun awal ini adalah membersihkan ajaran dan praktik Islam dari takhayul, bid’ah, dan khurafat. Ini bukan tugas mudah karena ada penolakan dari masyarakat setempat yang menganggap Muhammadiyah sebagai gerakan Wahabi dan menyimpang dari Islam. Bahkan ada pula yang menyebut Muhammadiyah sebagai agama baru. Sebagian lainnya menilai bahwa masuk Muhammadiyah adalah tindakan maksiat, dan orang yang melakukannya harus diasingkan. Celana dan dasi yang dikenakan para pemuda Hizbul Wathan saat berparade dikatakan sebagai pertanda datangnya hari kiamat.
Tentangan kepada Muhammadiyah juga mengarah kepada kekerasan. Salah satu muballigh Muhammadiyah di Lombok, Abdul Qodir Ma’arif, dalam sebuah tulisannya pada 1966 menyebut bahwa sudah ‘biasa batu2 melayang dari tangan2 kotor yang tidak bertanggung jawab’. Namun, lanjut Ma’arif, ‘pemimpin-pemimpin Muhammadiyah tidak berputus asa, terus berjalan, berjalan terus, bila perlu secara merangkak.
Muhammadiyah mengoreksi berbagai kepercayaan masyarakat setempat, umpamanya bahwa main sepak bola haram lantaran serupa dengan menendang kepala Husain bin Ali, dan bahwa memakai celana dan dasi juga haram karena sama seperti orang kafir. Para dai Muhammadiyah mengkampanyekan bahwa ini bukan sesuatu yang diharamkan. Tapi penyadaran soal hal ini dan sejenisnya tidak selalu berjalan mulus.
Ketua PDPM Kota Mataram, Mesa Muslih, pernah mengutip satu contoh tentang proses panjang berdirinya Muhammadiyah di Praya, Lombok Tengah. Kepemimpinan Muhammadiyah Praya sudah eksis di 1930an. Para pimpinan berencana meresmikan Ranting Muhammadiyah Praya tahun 1939, namun gagal karena ditolak warga. Usaha yang sama dilakukan tahun 1951, tapi kembali menemui jalan buntu. Ranting Muhammadiyah Praya akhirnya berhasil diresmikan tahun 1964, atau setelah seperempat abad dari upaya pertama.
Sembari melintasi berbagai halangan, Muhammadiyah terus memperluas jangkauannya di NTB. Hingga di ujung 1930an, Muhammadiyah berhasil berdiri di Desa Lekok Gangga, Lombok Utara (1933), Mataram (1936), Lombok Tengah (1936), Lombok Timur (1936), Bima (1937), dan Sumbawa (1939). Arti penting Muhammadiyah di NTB, khususnya Lombok, ditunjukkan dengan kehadiran dua tokoh penting Muhammadiyah, KH Mas Mansoer dan KH A Badawi, dalam peresmian Muhammadiyah Lombok Timur.
Sejarah munculnya lembaga pendidikan Islam modern di NTB tidak dapat dilepaskan dari sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah. Ini tampak dari pendirian Sekolah Mu’allimin di Pancor, Lombok Timur, pada 1937, yang dikelola oleh Asmo. Masih di Pancor, pada 1937 itu Haji Muhammad Sedek membangun Sekolah Kemajuan Islam. Pada periode 1930an itu, lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah merupakan jawaban dari meningkatnya keinginan masyarakat setempat untuk mencapai kemajuan dan meningkatkan taraf sosial ekonominya. Di sisi lain, sekolah Muhammadiyah juga merupakan alternatif bagi kaum Muslim yang tidak mau menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah Belanda, yang lebih berorientasi menghasilkan birokrat kolonial, dengan akses yang amat terbatas karena hanya tersedia bagi kaum ningrat, pejabat, dan orang kaya.
Kendati kepemimpinan tingkat ranting dan cabang Muhammadiyah di berbagai area di NTB sudah eksis sejak 1930an, lembaga atau majelis dalam Muhammadiyah setempat baru berkembang di periode-periode belakangan, seiring dengan kian berkembangnya amal usaha Muhammadiyah dan dukungan masyarakat. Majelis Tabligh NTB mulai menjalankan aktivitasnya tahun 1935, sementara Majelis Wakaf dan Kehartabendaan diorganisir pada 1959. Selanjutnya, Majelis Tarjih dibentuk tahun 1978 dan Majelis Pembina Kesejahteraan Umat pada 1990.
Pada 1960an, dakwah Muhammadiyah juga berupaya mendekati para penganut Islam Waktu Telu, Islam yang dianut sebagian warga Sasak, yang ajarannya bercampur dengan kepercayaan lokal lama. Ini antara lain dilakukan dengan mengirim muballigh Muhammadiyah ke para penganut Waktu Telu di pelosok NTB. Abdul Qadir Ma’arif pada pertengahan 1965 mengunjungi Sembalun, lereng Gunung Rinjani, dan Segara Anak. Dari sana, Ma’arif menekankan bahwa pemurnian Islam di antara penganut Waktu Telu harus difokuskan pada menyadarkan para pemuka masyarakat setempat, yang dikenal sebagai para Kiai dan Mangku.
Muhammadiyah dan Gerakan Pemuda
Di luar soal memurnikan doktrin dan praktik Islam, serta menjalankan berbagai usaha sosial kemasyarakatan, Muhammadiyah di NTB juga menaruh perhatian besar pada upaya regenerasi kader Muhammadiyah. Ini diimplementasikan dengan pembentukan berbagai organisasi pemuda dan pemudi. Awalnya, Pemuda Muhammadiyah NTB dibentuk pada 1932. Namun, organisasi-organisasi kepemudaan lainnya baru muncul beberapa dekade setelahnya. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) terbentuk pada akhir 1960an sedangkan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) tahun 1975. Sementara itu, Nasyiatul Aisyiyah sendiri baru eksis secara resmi tahun 1986, kendati aktivitasnya sudah berjalan sejak dekade-dekade sebelumnya.
KOKAM juga dibentuk di NTB. KOKAM NTB berpartisipasi aktif dalam membersihkan kaum komunis pasca gagalnya pemberontakan G 30 S/PKI 1965. Pelantikan KOKAM se-NTB secara resmi dilakukan pada pertengahan 1966, dipusatkan di Lapangan Mataram. Pelantikan ini sangat meriah karena diramaikan oleh kehadiran perwakilan berbagai organisasi lain, baik internal Muhammadiyah (seperti Pemuda Muhammadiyah, Aisyiyah, dan IPM) maupun organisasi-organisasi nonMuhammadiyah seperti Angkatan Darat, AKRI, Pramuka, GP Anshor, Golkar, KAMI, dan KAPPI. Pasca pelantikan, KOKAM se-NTB melakukan parade keliling Kota Mataram dan memperoleh sambutan yang antusias dari warga dan, pada gilirannya, kian menumbuhkan simpati pada Muhammadiyah.
Muhammadiyah: Jembatan Dunia Luar
Selama hampir seratus tahun, Muhammadiyah melalui amal usahanya telah berkontribusi besar di NTB, terutama dalam memperkuat keislaman dan memajukan pendidikan masyarakatnya. Dewasa ini, Muhammadiyah adalah organisasi keagamaan yang populer di kalangan kaum muda dan kelas menengah dan berpendidikan di perkotaan NTB.
Tidak hanya itu, Muhammadiyah juga merupakan jembatan bagi warga NTB menuju dunia luar. Sebagaimana diakui oleh Indonesianis asal Amerika, David D Harnish (2008), dalam sebuah tulisannya tentang Islam di Lombok, Muhammadiyahlah yang ‘dengan lebih baik menghubungkan kaum Muslim setempat dengan kaum Muslim di seluruh Indonesia dan dunia Islam global.
Muhammad Yuanda Zara, Sejarawan
Sumber: Majalah SM Edisi 13 Tahun 2017