Wudhu dengan Air Satu Gayung

wudhu

Berwudhu (Dok image)

Jika telah berubah sifat-sifatnya, seperti telah berubah rasa, bau maupun warnanya, maka air itu tidak dapat digunakan untuk bersuci lagi

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Saya mau bertanya tentang wudhu menggunakan air satu gayung, dimana air tersebut diambil dengan cara diciduk dari satu gayung. Apakah sah? Apakah air tidak menjadi musta’mal? Hal inikarena ada hadis riwayat Muslim dimana Utsman mencontohkan wudhu dengan cara menciduk air dari bejana berulangkali. Mohon penjelasan mengenai hal tersebut serta pendapat imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’. Terima kasih atas jawabannya.

Wassalamu ‘alaikum wr. w.b

(disidangkan pada Jum’at, 19 Jumadilawal 1440 H / 25 Januari 2019 M)

Jawaban:

Wa ‘alaikumus salam wr. wb.

Terima kasih atas pertanyaan saudara kepada Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dari pertanyaan yang saudara ajukan, ada dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, tentang air musta’mal menurut Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dan kedua, pendapat Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ tentang air musta’mal.

Untuk Menjawab persoalan pertama, terlebih dahulu kami paparkan pembagian air menurut para ulama. Berdasarkan sifatnya, para ulama membagi air menjadi tiga macam,

Pertama, air mutlak, adalah air yang masih murni, suci dan tidak bercampur dengan apa pun, sehingga bisa digunakan untuk menyucikan diri seperti wudhu, mandi dan menghilangkan najis. Termasuk ke dalam golongan air mutlak adalah air hujan, salju, air es, air embun, air laut dan air telaga.

Kedua, air mutanajis adalah air yang sudah tercampur dengan benda najis, sehingga tidak bisa digunakan untuk menyucikan diri. Dengan catatan kurang dari dua kullah atau sekitar 270 liter. Namun, jika air tersebut lebih dari dua kullah, dan salah satu sifatnya tidak berubah, maka air tersebut tidak dihukumi sebagai air mutanajis.

Ketiga, air musta’mal adalah air yang sudah dipakai seseorang untuk berwudhu, mandi janabah, atau menghilangkan najis. Para ulama berbeda pandangan mengenai penggunaan air musta’mal untuk bersuci kembali.

Sebagian ulama berpendapat bahwa air bekas wudhu seseorang tidak boleh digunakan kembali untuk berwudhu. Demikian pula air bekas mandi janabah juga tidak boleh digunakan untuk mandi janabah oleh orang lain. Namun, ada juga sebagian ulama yang berpandangan bahwa air musta’mal itu boleh digunakan untuk bersuci kembali selama masih memiliki sifat-sifat air, dan pendapat ini yang sejalan dengan pendapat Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah.

Pembahasan mengenai air musta’mal untuk bersuci ini sudah ada pada buku Tanya Jawab Agama jilid 6 halaman 2, bahwa Nabi saw membolehkan kaum muslimin bersuci menggunakan air yang telah digunakan untuk bersuci, sebagaimana hadis Nabi saw,

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ النِّسَآءُ وَالرِّجَالُ يَتَوَضَّئُوْنَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ وَ يُشْرِعُوْنَ فِيْهِ جَمِيْعًا [رواه أحمد].

Dari Abdullah bin Umar (diriwayatkan), ia berkata, adalah perempuan-perempuan dan laki-laki pada masa Rasulullah saw berwudhu pada bejana yang satu, maka semuanya menggunakan air itu [HR. Ahmad No. 6001].

عَنْ مَيْمُنَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنَ الْجَنَابَةِ [أخرجه الترمذى وقال حسن صحيح].

Dari Maimunah ra. (diriwayatkan), ia berkata, aku dan Rasulullah saw pernah mandi janabah dari satu bejana [Ditakhrij oleh at-Tirmidzi, no. 57 dan dikatakan hasan shahih].

عَنْ رُبَالَةَ بِنْتِ مُعَوِّذَ قَالَتْ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَسَحَ رَأْسَهُ مِنْ فَضْلِ مَاءٍ كَانَتْ بِيَدِهِ [رواه الترمذى وأبو داود ولفظ له].

Dari Rubalah binti Mu’awwidz (diriwayatkan), ia berkata, bahwasanya Rasulullah saw menyapu kepalanya (dalam berwudhu) dari kelebihan air yang ada di tangannya [HR. at-Tirmidzi, no. 32 dan Abu Dawud, no. 111 dengan lafal Abu Dawud].

Dari keterangan di atas jelaslah bahwa air yang telah dipakai untuk bersuci itu boleh dipakai untuk bersuci lagi, asal tidak bercampur dengan benda najis atau benda haram, dan masih mempunyai sifat-sifat air. Jika telah berubah sifat-sifatnya, seperti telah berubah rasa, bau maupun warnanya, maka air itu tidak dapat digunakan untuk bersuci lagi.

Adapun hadis riwayat Muslim dimana Usman mencontohkan wudhu dengan cara menciduk air dari bejana berulangkali adalah sebagai berikut,

عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِإِنَاءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مِرَارٍ فَغَسَلَهُمَا ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِي الْإِنَاءِ فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ [متفق عليه].

Dari Humran budak Usman (diriwayatkan), bahwa dia melihat Usman meminta air wudhu, lalu dia menuangkannya pada kedua telapak tangannya tiga kali lalu mencuci kedua tangannya. Kemudian ia memasukkan tangan kanannya ke wadah air, lalu berkumur, memasukkan air ke dalam hidung dan membuangnya, kemudian membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh dua tangan kanannya sampai siku tiga kali, kemudian mengusap kepalanya, kemudian membasuh kedua kakinya sampai mata kaki tiga kali. Kemudian dia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa berwudlu seperti wudhuku ini, kemudian melakukan shalat dua rakaat, dimana dia tidak berbicara di dalamnya pada dirinya (tentang perkara dunia), niscaya dia diampuni dosa-dosanya yang terdahulu [HR. al-Bukhari, no. 159 dan Muslim, no. 332 dengan lafal Muslim].

Hadis di atas merupakan fikliah Usman yang memberikan contoh wudhu seperti wudhu Nabi saw. Hal ini berarti bahwa sekalipun pengambilan air itu dengan cara diciduk langsung menggunakan tangan dari bejana, air dalam bejana masih tetap suci dan bisa digunakan untuk bersuci kembali.

Adapun pertanyaan kedua, yaitu pendapat Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ tentang air musta’mal, dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, imam an-Nawawi menyebutkan bahwa penggunaan air musta’mal untuk thaharah (bersuci), seperti memperbarui basuhan dan usapan anggota wudhu, terdapat dua pendapat. Pendapat pertama, air musta’mal tidak bisa digunakan untuk bersuci, karena air itu telah digunakan untuk bersuci, dan di dalamnya mengandung kotoran. Pendapat kedua, air musta’mal boleh digunakan untuk bersuci selama tidak bercampur dengan kotoran dan najis. Imam an-Nawawi mengisyaratkan dengan seseorang yang mencuci baju miliknya menggunakan air musta’mal, maka baju tersebut tetap dihukumi suci. Air musta’mal mempunyai sifat thahuriyyah (mensucikan) selama sifat-sifatnya (rasa, bau dan warnanya) tidak berubah. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi saw,

المَاءُ طَهُوْرٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ [رواه احمد].

Air itu suci tidak ada sesuatu pun yang membuatnya najis [HR. Ahmad No. 10827].

Wallahu a‘lam bish-shawab

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 21 Tahun 2019

Exit mobile version