Membaca dengan napas ketauhidan yang mafhum bahwa Allah mengajar manusia atas apa yang tidak diketahuinya dengan pena.
Oleh: Diko Ahmad Riza Primadi
Bangsa kita disuruh menulis tidak mau. Disuruh membaca juga tidak mau. Karena tradisi kita, dari lisan langsung beralih menjadi audio visual. Kondisi dan situasi ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan sebuah bangsa.
Kebenaran dan kegelapan harus hidup saling berdampingan. Bertempur untuk menjaga keseimbangan dunia. Arus sejarah manusia telah memunculkan gagasan-gagasan fenomenal yang mencerahkan kehidupan. Tampak akselerasi peradaban saat kebudayaan berganti dari lisan menjadi tulisan. Supremasi Islam atas Jazirah Arabia dan sepertiga dunia terjadi tatkala transfer ilmu pengetahuan dan kesusastraan berganti dari tradisi lisan berupa syair menjadi tulisan berupa buku dan lembaran ilmu.
Rasulullah SAW bersama para sahabat mengawalinya dengan penulisan ilmu yang lazim kita sebut sebagai wahyu. Mencatatnya di berbagai media seperti kulit binatang, pelepah kurma, atau serpihan kayu. Transformasi ini dilanjutkan oleh para khalifah, terutama saat Utsman bin Affan mengodifikasikan Alquran. Ilmu pengetahuan pun berkembang dengan metode tulisan ke seluruh penjuru dunia.
Peristiwa turunnya kalam Tuhan yang pertama di Gua Hira menjadi awal revolusi pengetahuan dan kebudayaan yang mengubah dunia. Surah al-‘Alaq 1-5 memiliki perintah yang paling esensial bagi keberadaan manusia dan peradaban. Bukan mengenai shalat ataupun zakat, namun membaca. Membaca dengan napas ketauhidan yang mafhum bahwa Allah mengajar manusia atas apa yang tidak diketahuinya dengan pena.
Allah menekankan pentingnya kegiatan memupuk ilmu pengetahuan sebagai fondasi kehidupan beragama dan berbangsa karena ibadah shalat dan zakat tak akan berjalan tanpa pengetahuan. Akidah tidak akan tumbuh dan berkembang tanpa kesadaran berupa kerendahan diri sebagai makhluk ciptaan-Nya.
Selain bertujuan kebaikan, tulisan pun dapat digunakan sebagai proganda kejahatan dan pemikiran yang menyesatkan. Banyak buku yang menarasikan gagasan lepas dari norma Islam dan kebudayaan masyarakat yang luhur.
Berbagai macam tulisan berseliweran di jagat dunia maya. Bisa menjadi alat propaganda yang ampuh bagi siapa saja yang mengendalikannya. Media massa menjelma menjadi propaganda paham yang sangat beragam serta bentuk kesusateraan lain yang mencerminkan kebebasan atau pengekangan.
Saat ini, tampak nyata urgensi penguasaan opini publik dan kesusasteraan dengan nilai- nilai Islam, liberal, komunis, dan lain sebagainya. Dunia kegelapan bertambah kuat dan semakin menjerat melalui medium yang sangat strategis, yakni pemikiran. Jika Muslim tetap bertindak acuh tak acuh, maka hukum alam berupa keruntuhan peradaban akan terjadi. Kenyataannya sudah terjadi dan kita rasakan.
Pada akhirnya, pertarungan antara kebenaran dan kegelapan akan menjadi seimbang jika kebenaran aktif melawan. Pertanyaannya, berada di tangan siapakah pena tersebut? Apakah berada di kedua pihak atau salah satu dari keduanya? Pada akhirnya sudah tiba waktunya bagi kita untuk memperluas ranah perjuangan, yaitu melalui pena.
Diko Ahmad Riza Primadi, Reporter Suara Muhammadiyah