Irfan Amalee: Angkatan Muda Muhammadiyah Perlu Membuat Branding

Irfan Amalee: Angkatan Muda Muhammadiyah Perlu Membuat Branding

Irfan Amalee di ruang Redaksi Suara Muhammadiyah (foto: masbeSM)

Permasalahan pengkaderan di Muhammadiyah tidak habis-habisnya, berbagai keluhan tentang kader terus menyeruak tiap tahun. Ranting dan Cabang Muhammadiyah sering menjerit karena kekurangan kader.

Untuk memperbincangkan hal ini, Lutfi Effendi dari Suara Muhammadiyah (SM) berbincang dengan Irfan Amalee. Ia pernah aktif di Ikatan Remaja Muhammadiyah (Ikatan Pelajar Muhammadiyah) dan membuat gerakan aktif tanpa kekerasan. Sedang diluar persyarikatan berbagai gerakan ia gagas dan berlangsung sukses. Berikut perbincangan SM dengannya:

Banyak ortom angkatan muda di Muhammadiyah yang bisa menghasilkan kader Persyarikatan tetapi kenapa Muhammadiyah di tingkat Cabang dan Ranting sering kekurangan kader?

Tidak semua Cabang dan Ranting Muhammadiyah mengalami kekurangan kader, terutama yang ada di daerah-daerah basis Muhammadiyah. Ini bisa dilihat di daerah sekitar Pondok Pesantren Darul Arqam Garut. Di daerah-daerah basis seperti ini, potensi kader malah melimpah.

Di Yogyakarta sebagai daerah basis Muhammadiyah, saya lihat juga tidak kekurangan kader. Ranting dan Cabang Muhammadiyahnya banyak yang jalan. Memang untuk Ranting dan Cabang di luar basis Muhammadiyah ada yang mengalami kesulitan kader.

Kesulitan kader di luar basis Muhammadiyah, tidak hanya di tingkat Ranting dan Cabang, tetapi untuk tingkat Daerah pun ada yang kekurangan kader. Dan ini tidak hanya dialami oleh Persyarikatan, bahkan ortom pun mengalaminya.

Misalnya saja, untuk Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Dulu kami pernah mencoba membentuk Pim pinan Daerah (PD) IPM di Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Berhasil memang mendirikannya, tetapi karena pimpinannya hanya bentukan dan tidak secara sukarela membentuk pimpinan sendiri akhirnya juga keterlanjutannya tersendat.

Apa kendalanya sehingga terjadi demikian?

Masalah daya tarik, nampaknya merupakan kendala dalam penyediaan kader ini. Orang tuanya aktivis Persyarikatan, tetapi anaknya tidak aktif. Ini karena anak tidak tertarik pada kegiatan yang telah dijalani orang tuanya.

Kondisi Ini merupakan kendala tersendiri, terutama di luar daerah basis Muhammadiyah. Kalau anak aktivis saja tidak tertarik, apalagi anak orang yang bukan aktivis tentu akan lebih sulit lagi untuk aktif di Persyarikatan Muhammadiyah. Kendala lain adalah masalah orientasi. Muhammadiyah adalah organisasi gerakan, tetapi banyak orang terutama anak muda berorientasi pada power (kekuatan). Untuk anak muda yang orientasinya ke power maka lebih senang aktif di Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah dan paling rendah di Pimpinan Daerah. Maka untuk tingkat daerah, wilayah atau pusat tidak kekurangan kader, bahkan mungkin melimpah.

Untuk organisasi gerakan seperti Muhammadiyah ini, mestinya pusat gerakannya di Ranting dan Cabang. Karena Ranting dan Cabang paling dekat dengan jamaah. Jika gerakan Ranting dan Cabang ini hidup, maka kader dari tingkat Ranting akan terus mengalir dan melimpah ke jenjang yang lebih atas.

Apa jalan keluar?

Ya membuat kegiatannya menarik, terutama menarik untuk generasi muda. Mereka selama ini kan kurang tertarik pada kegiatan yang diselenggarakan Persyarikatan. Selama ini kegiatan yang dilakukan hanya musyawarah (Musran atau Muscab) dan pengajian. Jelas kegiatan demikian kurang menarik. Perlu kegiatan lain yang lebih menarilk, meski kegiatan pengajian dan musyawarah tetap tidak ditinggalkan karena sudah menjadi ciri khas Muhammadiyah. Hanya kemasannya saja dibuat semenarik mungkin.

Caranya?

Pertama, kegiatannya harus fokus pada yang disenangi generasi muda. Kedua, kegiatannya harus dibuat semenarik mungkin. Pengemasan kegiatan sangat perlu dilakukan. Dalam hal ini sebagai branding dari kegiatan tersebut. Ketiga, harus dimanage sedemikian rupa, sehingga kegiatan bisa berjalan lancar. Keempat, programnya harus berkelanjutan. Jangan sampai ganti pengurus terus ganti program. Kegiatan yang dilakukan menjadi tidak tuntas. Peningkatan mutu boleh, tetapi pergantian program akan membuat hasilnya tidak maksimal.

Sebagai contoh yang dilakukan IPM pada periode 2000-2002, saat itu IPM menggagas gerakan aktif tanpa kekerasan (GATK) untuk para pelajar. Konsep gerakannya sederhana tetapi efektif. Gerakan ini melahirkan konsep “membela teman sebaya”, agar temannya tidak menjadi korban kekerasan. Program ini juga berkelanjutan. Paling tidak dua periode kepengurusan berikutnya, program ini masih dilaksanakan. Sehingga program ini menjadi sebuah gerakan sosial di kalangan pelajar.

Memang untuk membuat suatu program menjadi sebuah gerakan sosial perlu persiapan yang matang. Harus dimulai dari sumber daya manusianya yang mumpuni. Baru setelah itu dievaluasi apakah gerakan tersebut efektif atau tidak, baru dibuatkan lembaga.

Fokus gerakan yang dilakukan hanya dalam rangka membangun branding organisasi, tetapi kegiatan lain di internal organisasi harus tetap jalan. Beberapa organisasi Islam yang lain juga melakukan branding. Misalnya HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), brandingnya adakah Kalifah. FPI brandingnya anti maksiat.

Bahkan di kalangan angkatan muda NU (Nahdlatul Ulama) juga punya branding tertentu. Jika ada anak muda Islam yang bicara inklusif dan pluralisme umumnya dari angkatan muda NU.

Apakah di kalangan muda Muhammadiyah tidak ada branding tertentu?

Saya lihat ada kesadaran angkatan muda Muhammadiyah melangkah ke arah branding gerakan ini. Misalnya saja seperti yang dilakukan Pemuda Muhammadiyah dengan gerakan berjamaah melawan korupsi. Kini bahkan sudah ada Madrasah Anti Korupsi (MAK) di beberapa wilayah. Ini merupakan branding yang bagus jika dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan.

Demikian juga di Nasyiatul ‘Aisyiyah (Nasyiah), di Nasyiah juga sudah ada gerakan pembelaan kaum perempuan. Meski tidak segencar apa yang dilakukan Pemuda Muhammadiyah, gerakan ini sudah dimulai dan dirasakan. Tinggal bagaimana mengemas gerakan menjadi gerakan yang lebih masif.

Demikian pula dengan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) dengan gerakan Luruskan Kiblat Bangsa. Tentu akan menjadi branding tersendiri jika dikelola dengan baik dan berkelanjutan.

Sebetulnya yang mempunyai potensi lebih bagus adalah HW (Hizbul Wathan) dan TS (Tapak Suci) dalam melakukan gerakan pengkaderan ketimbang Ortom lainnya. Karena kedua ortom ini bisa bergerak pada antar generasi, dari anak-anak hingga orang tua. Berbeda dengan ortom lainnya, IPM hanya bergerak di kalangan pelajar, IMM di kalangan mahasiswa, Nasyiah di kalangan pemudi.

Saya lihat TS gerakannya bahkan sudah merambah ke non muslim. Jika TS mampu membuat branding iyang lebih menarik tentu akan lebih banyak orang tertarik. Dan ini potensi untuk pengkaderan.

Gerakan branding di atas tadi kan lebih banyak ke power (kekuatan) dari pada ke arah gerakan akar rumput?

Jika gerakan dii atas sampai di Ranting dan Cabang tentu akan dapat menggerakkan Ranting dan Cabang serta bisa menumbuhkan kader di tingkat Ranting dan Cabang. Tetapi sebetulnya ada konsep yang sudah bagus yang dimiliki Muhammadiyah yang selama ini kurang dijalankan yaitu Gerakan Dakwah Jamaah.

Gerakan jamaah ini jika mampu digerakkan tentu hasilnya akan lebih baik. Karena memang pusat gerakannya ada di masyarakat bawah. Masyarakat yang dekat dengan Ranting. Gerakannya perlu fokus yang lagi menjadi komitmen masyarakat setempat.

Tetapi memang harus disiapkan orang yang mumpuni untuk melaksanakannya. Sebab untuk membuat suatu program menjadi sebuah gerakan sosial perlu persiapan yang matang. Harus dimulai dari sumber daya manusianya yang mumpuni. Baru setelah itu dievaluasi apakah gerakan tersebut efektif atau tidak, baru dibuatkan lembaga.

Saya rasa ini mampu dilaksanakan oleh Muhammadiyah yang berbasis gerakan ideologi. Karena gerakan yang tak berdasarkan ideologi pun mampu berubah menjadi suatu gerakan yang masif, seperti gerakan Bandung Berkebun yang gerakannya hanya berdasar hobi pun bisa meraih sukses. (lut)

Biodata

Irfan Amalee merupakan salah satu alumni Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah (PP IRM) yang dulunya aktif sebagai Ketua Bidang Advokasi periode 2000-2002, dan merupakan salah satu Co-Founder (pendiri) dari gerakan “Peace Generation” yang sudah cukup terkenal di telinga masyarakat. Memulai karier menulis sejak nyantri di Pondok Pesantren Darul Arqam Garut (1990-1996) dengan mendirikan dan memimpin majalah sekolah, Pesan Trend. Saat kuliah di Jurusan Tafsir Hadist IAIN Bandung, Irfan aktif dan sempat menjadi pemred koran kampus, Suaka.

Pada masa itu, beberapa tulisan cerita anaknya dimuat di Pikiran Rakyat, tabloid Fantasi, dan beberapa media anak lokal dan nasional. Kiprah Irfan di dunia media dan perdamaian mengantarkannya meraih sejumlah penghargaan.

Pada 2009, Irfan dianugerahi penghargaan International Young Creative Entrepreneur dari British Council. Tahun berikutnya, Universitas Atmajaya Yogyakarta mengganjar Irfan dengan UAJY for Multiculturalisme Award. Dua tahun berturut-turut, 2010 dan 2011, Irfan masuk dalam daftar 500 orang Muslim paling berpengaruh di dunia versi Royal Institute for Islamic Studies Amman Yordania. Tahun 2012, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memilih Irfan menjadi satu dari 17 Wirausahawan Muda Kreatif 2012. Irfan juga sempat dinominasikan sebagai Ashoka Fellow, sebuah penghargaan bergenggsi untuk social entrepreneur.

Sumber: Majalah SM Edisi 16 Tahun 2016

Exit mobile version