KH MUHAMMAD WARDAN lahir di Kauman, Yogyakarta, tanggal 19 Mei 1911. Ia dari keluarga abdi dalem Kraton Yogyakarta. Tinggal di kampung santri dan apalagi Kauman adalah tempat kelahiran Muhammadiyah. Sebagai anggota keluarga abdi dalem, ia tentu mengenal tata kehidupan dan pergaulan di lingkungan Kraton. Sebagai santri, sejak kecil ia dididik taat beragama oleh kedua orangtuanya, Kiai Muhammad Sangidu dan Nyai Jauhariyah.
Apalagi ayahnya, Kiai Muhammad Sangidu, oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII mendapat kepercayaan menjadi Penghulu Kraton. Sedangkan Muhammadiyah sangat jelas pula turut membesarkannya. Muhammadiyah memberi pengaruh kepadanya dalam proses pertumbuhan, perkembangan, dan pendewasaan dirinya. Peran itu sangat berarti bagi pembentukan kepribadiannya.
Pendidikan Muhammad Wardan
Bapak Sangidu dan Ibu Jauhariyah tentu menjadi pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya, khususnya Muhammad Wardan. Orangtuanya telah menanamkan pendidikan agama kepadanya secara baik. Sedangkan tentang pendidikan formal anak ini hampir seluruhnya diperoleh di Muhammadiyah. Memang pernah ia masuk SD Keputran untuk anak-anak keluarga Kraton dan SD Pakualaman, tapi hanya sebentar. Kemudian ia pindah ke Standard School Muhammadiyah Suronatan hingga tamat tahun 1924.
Setelah itu, ia meneruskan masuk Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah selama enam tahun. Pada waktu itu berlaku ketentuan bagi para siswa mulai Kelas IV sampai Kelas VI wajib masuk asrama. Dalam asrama mereka mendapat pelajaran tambahan latihan khutbah, pidato, tabligh, dan mengajar. Sebab, setelah lulus Mu’allimin, sebagai kader mereka harus siap menjadi guru di Sekolah Muhammadiyah.
Muhammad Wardan pun, setelah lulus Mu’allimin tahun 1930, dapat tugas dari Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, kalau menurut istilah sekarang, menjadi guru Sekolah Muhammadiyah di Situbondo, Jawa Timur sampai tahun 1931.
Muhammad Wardan adalah pemuda yang haus ilmu. Setelah kembali di Yogyakarta dari bertugas di Situbondo, ia bersemangat untuk terus mencari ilmu. Sebenarnya, ia berhasrat akan meneruskan belajar ke Mesir atau Arab Saudi, khususnya untuk mendalami ilmu pengetahuan keislaman.
Namun, keinginan yang menjadi harapan itu tidak menjadi kenyataan. Sebab, terhalang biaya. Meskipun demikian, ia tidak putus asa. Ia tetap berlanjut menuntut ilmu. Di dalam negeri pun baginya tidak masalah. Ia memilih masuk Pondok Pesantren Jamsaren, Surakarta (1931 – 1934) untuk mendalami tafsir, Hadits, fiqh, dan aqidah.
Selama di Pondok Pesantren Jamsaren, Muhammad Wardan menggunakan waktunya untuk mendalami ilmu pengetahuan keislaman secara baik. Namun, bagaimana pun waktu luangnya pasti ada. Nah, waktu luangnya tidak dibiarkan berlalu. Tetapi, dimanfaatkan secara baik untuk memperdalam dua bahasa, yaitu Bahasa Belanda dan Bahasa Inggris.
Di luar Pondok Pesantren, tahun 1932 – 1934, ia masuk Sekolah Nederland Verbond untuk memperdalam Bahasa Belanda. Di Sekolah yang setingkat dengan HIS ini menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Sedangkan untuk memperdalam Bahasa Inggris, ia kursus privat kepada seorang guru keturunan Tionghoa yang berasal dari Singapura.
Pengalaman Menjadi Pendidik
Muhammad Wardan memiliki pengalaman panjang sebagai pendidik, baik sebagai guru maupun dosen. Dimulai, setelah ia lulus dari Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, sebagaimana telah disebutkan, ia pernah menjadi guru Sekolah Muhammadiyah di Situbondo (1930 – 1931).
Berikutnya setelah kembali dari Pondok Pesantren Jamsaren, ia menjadi guru Madrasah Al-Falah Yogyakarta (1934 – 1936). Kemudian pada tahun 1936 – 1945 menjadi guru Madrasah Muballighin Muhammadiyah. Di zaman revolusi, aktivitasnya sebagai guru terhenti. (M Muchlas Abror) Bersambung
Sumber: Majalah SM Edisi 17 Tahun 2016