Oleh: Bahrus Surur-Iyunk
Seorang teman yang bekerja di Kantor Kemenag bercerita tentang pengalamannya saat diuji oleh Allah dengan covid-19. Dia termasuk orang sibuk di kantornya. Maklum, punya jabatan. Jika saja tidak ada pandemi global covid-19, tahun ini mestinya ia berangkat ke tanah suci sebagai petugas haji. Namun, Allah menentukan lain.
Setelah dinyatakan positif corona, ia diisolasi di rumah sakit selama 30 hari. Dalam waktu yang cukup lama itu, ia merasa dirinya digembleng dan diingatkan kembali oleh Allah. Meski dia alumni IAIN dan bekerja di sebuah kantor yang mengurus masalah agama, namun ia lebih sibuk dengan tugas kantor daripada mengingat Allah. Setidaknya, begitulah pengakuannya.
Shalat dijalankan sekedar formalitas saja. Setelah shalat langsung cabut ke pekerjaan lagi. Shalat sunat jarang-jarang dilakukan. Shalat malam (tahajud) paling seminggu sekali atau mentok dua kali saja. Baca Al-Qur’an dikalahkan dengan main handphone. Takut ketinggalan informasi pekerjaan di kantor. Jadi, kalau dipikir-pikir, katanya, “Saya lebih takut sama atasan dan negara daripada takut kepada Allah.”
Bukan hanya itu, saat di rumah, susah mau memberi orang lain. Tidak mau memberi makanan kalau belum basi dan terasa tidak enak. Pakaian bertumpuk-tumpuk di lemari. Mau memberikan ke orang lain rasanya eman banget, meski sudah tidak pernah dipakai. Dunia serasa segalanya. Dunia digenggamnya, tetapi juga menggenggam hati dan dirinya.
Namun, setelah dia positif terpapar covid-19, dunia berbalik 180 derajat. “Di rumah sakit, aku rutin melakukan shalat tahajud dilanjutkan hingga subuh. Selepas subuh aku baca Al-Quran dulu, baru olah raga rutin. Padahal, biasanya aku lebih suka duduk-duduk ngopi sambil merokok. Di rumah sakit, merokok aku tinggalkan. Shalat Dzuha tidak pernah terlewatkan. Shalat sunat rawatib dijalankan lengkap sebagaimana sunnah Rasul. Puasa senin kamis yang selama ini mustahil dikerjakan, saat di rumah sakit dijalankan dengan rutin. Selama 30 hari aku khatam baca Al-Quran sebanyak 5 kali. Dan hebatnya lagi, Allah terasa dekat sekali.”
“Aku pun telpon isteri dari rumah sakit agar baju-bajunya yang sudah tidak dipakai itu disedekahkan saja ke orang lain. Makanan di kulkas yang numpuk itu bagikan ke orang lain sebelum basi dan tidak enak dimakan. Saat aku pulang, aku ingatkan lagi isteriku.” Lalu seakan menyimpulkan, “Dulu, aku terpenjara oleh dunia dan jabatan, sekarang aku terbebaskan dan tersadarkan oleh corona.”
Ternyata, corona tidak selalu menjadi hal yang buruk bagi seseorang. Jika diambil hikmahnya, corona bisa membangkitkan diri seseorang dari keterpurukan jiwa, mengembalikan seseorang pada fitrahnya, menyadarkan seseorang dari kenistaan, dan mendekatkan diri seseorang kepada Yang Maha Sempurna. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 216, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Mungkin inilah salah satu maksud sabda Nabi SAW, “Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim no. 2392, dari Abu Hurairah). Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim-nya menerangkan, “Orang mukmin terpenjara di dunia karena mesti menahan diri dari berbagai syahwat yang diharamkan dan menistakan dirinya. Orang mukmin juga diperintah untuk melakukan ketaatan. Ketika ia mati, barulah ia rehat dari hal itu. Kemudian ia akan memperoleh apa yang telah Allah janjikan dengan kenikmatan dunia yang kekal, mendapati peristirahatan yang jauh dari sifat kurang. Adapun orang kafir, dunia yang ia peroleh sedikit atau pun banyak, ketika ia meninggal dunia, ia akan mendapatkan azab (siksa) yang kekal abadi.”
Bahrus Surur-Iyunk, penulis buku Agar Imanku Semanis Madu (Quanta EMK, 2017), Nikmatnya Bersyukur (Quanta EMK, 2018), dan 10 Langkah Menembus Batas Meraih Mimpi (SPK, 2019).