Oleh: Ustadz H. Mardi Raharjo
Sudah sejak tahun 1990 hingga saat ini, saya sebagai jebolan madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1973 ini, masih eksis menjalankan usaha dagang dengan merk “TALIBAN” yang bergerak dibidang permaduan, katering sate dan gulai kambing untuk aqiqah, dll untuk masyarakat Bontang dan sekitarnya.
Sejak ditugaskan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai muballigh di tahun 1973 ke Desa Benua Baru, Kecamatan Sangkulirang, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, jiwa dagang saya yang menurun dari kedua orang tua mulai terasah dan muncul. Kalau saya hanya sebagai da’i di pedalaman dan tidak ada yang menggaji, terus saya mau makan apa, kata saya dalam hati yang kini berumur 68 tahun dan biasa dipanggil dengan sebutan Ustadz Panglima Taliban. “Hidup-hidupi lah Muhammadiyah. Jangan cari hidup di Muhammadiyah,” semboyan inilah yg mendorong saya harus berusaha untuk membantu menghidupi Muhammadiyah.
Tawaran menjadi pegawai negeri sipil saat sampai di Sangkulirang, semua saya tolak. Karena apa? Simpel jawabannya: Saya tidak mau terikat dengan kedinasan dan nggak mau diperintah oleh siapapun. Di tahun 1973 saat itu, sangatlah mudah sekali untuk masuk menjadi pegawai negeri.
Di tempat saya bertugas, hasil hutan saat itu sangat melimpah dan itu belum ada yang menjadikan sebagai sumber pendapatan. Contohnya madu hutan. Madu hutan yang berasal dari bermacam-macam bunga hutan melimpah dan itu 100 persen asli. Jiwa dagang da’i Muhammadiyah ini seketika itu muncul saat menyaksikan sendiri penduduk memanen berton-ton madu hutan yg diturunkan secara tradisional dari pohon-pohon hutan yang tinggi. Tidak ada pedagang yang berminat membeli karena jauhnya tempat, yaitu di tengah-tengah hutan belantara Kalimantan Timur.
Selama 15 tahun saya dakwah menghidup-hidupi Muhammadiyah ranting Sangkulirang tanpa gaji, saya menghasilkan 1 isteri dan 3 anak serta 1 rumah ulin untuk berteduh. Hanya itu. Selain itu tentunya dapat pahala dari Allah sebagai tabungan kelak di alam akhirat. Ada rasa bangga di dalam dada saya bahwas saya sudah berkontribusi untuk Muhammadiyah, walau kecil.
Ada semacam bisikan setelah membaca Al-Qur’an yang intinya: “Hendaklah kau malu kepada Allah meninggalkan anak keturunan dalam keadaan lemah. Ya lemah ekonomi, ya lemah fisik, ya lemah keimanan.” Lemah iman hanya bisa diatasi salah satunya dengan cara memberikan pendidikan melalui sekolah.
Tersentak dengan firman tersebut, maka saya harus malu jika tidak bisa mempersiapkan masa depan keturunan saya dengan cara bersekolah. Sementara saat itu sekolah yang ada di Sangkulirang hanya ada SD dan SMP. Untuk melanjutkan ke SMA, harus ke Samarinda dan perlu biaya yang tidak sedikit. Jalan keluarnya harus hijrah. Dengan berat hati, Muhammadiyah Ranting Sangkulirang yang sudah saya bina selama 15 tahun saya tinggalkan menuju ke kota Bontang dengan tetap membawa bendera Muhammadiyah. Saat ini, Muhammadiyah Sangkulirang telah menjadi cabang dengan amal usaha yang sangat maju.
Seiring dengan hijrahnya saya sebagai muballigh dari Sangkulirang ke Bontang di mana kota Bontang saat itu menjadi kota industri dengan adanya PT. Badak L.N.G dan PT. Pupuk Kaltim, maka peluang bisnis madu hutan makin berkembang.
Jika hanya mengandalkan suplai madu dari Sangkulirang, sudah tidak cukup. Konsumen madu dari kedua perusahaan tersebut sudah ribuan. Maka sejak tahun 1990, saya mendatangkan madu hutan dari daerah Berau, Banjarmasin dan daerah sekitarnya.
Saat ini, mencari madu hutan yang benar-bernar murni sudahlah sangat sulit, dikarenakan banyaknya hutan-hutan yang dialihfungsikan menjadi tanaman pohon sawit. Akibat sawitisasi tersebut, maka madu hutan menjadi langka dan jika ada, maka harganya sudah mencapai 300 ribu per liter.
Seiring dengan usia saya yang makin sepuh dan mahalnya modal untuk beli madu, maka, sejak awal tahun 2020, perniagaan madu saya tutup dan kini saya fokus ke bisnis lainnya, yaitu bisnis kambing dan sapi, yang juga sudah berjalan selama 30 tahun.
Madu memang manis dan menyehatkan dan semua orang senang minum madu. Ada pelajaran yang berharga yang bisa kita ambil sebagai ibrah dalam kehidupan tawon, sang makhluk Allah yg memproduksi madu. 1. Jika koloni tawon makan, maka koloni tawon hanya ngisap sari bunga. Ia selektif, tidak seperti manusia, bal gedubal, apa-apa diuntal (rakus apapun dimakan). 2 Jika koloni tawon mampir istirahat di sebuah dahan, kemudian saat koloni tawon terbang kembali meninggalkannya, maka tak ada sehelai daunpun yang berjatuhan karenanya. Tawon memberi pelajaran tentang menjaga kebersihan lingkungan. 3. Jika tawon itu kencing, maka yang dikeluarkan cairan madu yang berguna bagi manusia siapapun juga. 4. Ia kompak dan rukun. Dan jangan coba-coba untuk menggangunya. Jika mereka diganggu, maka yang akan terjadi adalah mereka akan menyengat siapapun sampai ajal orang yang mengangu itu tiba.
Itulah saya, salah satu murid yang paling bodoh, nakal, dan miskin di Muallimin, yang bernama Mardi Raharjo, yang lahir di Mbasen, Kotagede, Yogyakarta, putra ke empat dari sembilan bersaudara pasangan almarhum Bapak Syuhada dan almarhumah Ibu Robi’ah.