Alkisah, seorang ayah bersama anaknya bermusafir dengan membawa seekor keledai. Melewati satu kampung, ayah dan anak itu berjalan kaki sambil menuntun keledai. Orang kampung heran lalu berkomentar, kenapa keledai itu tidak ditunggangi saja? Lalu, sang ayah menyuruh anaknya naik ke punggung keledai.
Keduanya melangsungkan perjalanan. Ketika melewati kampung kedua, orang-orang berkomentar. Kenapa tidak sang ayah yang naik keledai, kasihan dia sudah tua. Sang anak tahu diri, lalu meminta ayahnya naik keledai. Di perkampungan ketiga, warga memberi komentar lain. “Orang tua itu egois, masak anaknya dibiarkan berjalan kaki sementara dirinya ongkang kaki di atas keledai,” ujar penduduk itu.
Ayah dan anak itu mulai jengkel, setiap perbuatannya selalu dikomentari salah. Tidak ada yang betul. Lalu, mereka bersepakat naik keledai bersamaan. Apa kata penduduk di perkampungan berikut? “Dua orang itu tidak berperikehewanan, kasihan keledainya berat menanggung beban,” kata orang-orang.
Ayah dan anak itu makin kesal. Lalu keluarlah inisiatif nekad. Keledai itu yang mereka pikul berdua. Jelas, warga di kampung berikutnya heboh menyaksikan pemandangan yang langka itu. “Kedua orang itu kurang waras, bukan naik keledai, mereka malah mengangkat keledai,” ujar khalayak.
Kisah ini menunjukkan, apapun yang kita lakukan akan ada yang menilai salah atau tidak tepat. “Lain kepala, lain pula rambutnya”, begitulah kata pepatah. Apalagi untuk sebuah perbuatan yang salah, tentu terang benderang orang akan dengan mudah menyalahkan. Hatta untuk perbuatan benar dan baik pun, selalu ada orang yang menilai salah dan tidak baik.
Cobalah Anda membangun atau mengembangkan sesuatu yang berharga. Bikinlah sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, pelayanan sosial, majalah, koran, hingga membangun masjid dan apa saja untuk kemajuan umat. Tentu banyak orang yang menilai baik dan memberi penghargaan. Namun akan selalu ada orang yang berpikir negatif, bahasa ilmiahnya kritis.
Kalau kita besar dan memiliki banyak kecukupan di rumah atau organisasi, semestinya dihargai dengan penuh kesyukuran kepada Allah, seraya memberi penghargaan kepada orang-orang yang berprestasi atau mengukir kebaikan positif itu. Sungguh tidak mudah memiliki rumah tangga atau organisasi yang besar dan mandiri, sehingga tidak tergantung kepada orang lain.
Namun bagi sebagian orang, selalu ada catatan negatif. “Wah, hanya besar di dalam, tidak di luar, jago kandang saja!”. Lainnya berkomentar, “Hanya mementingkan dirinya, semestinya untuk kaum dhu’afa”. Ada pula yang berkata, “Itu hanya kemajuan fisik, jauh dari ideal”. Sementara yang lain berujar, “Besar tapi…..”. Pendek kata sejumlah penilaian negatif atau salah, yang dibungkus dengan kata kritis.
“Kalau bersyukur jangan pakai kata tapi….”, ujar Prof Yunahar Ilyas dalam suatu ceramah keagamaannya. Bersyukur itu harus ikhlas dan tuntas, tanpa kata tapi atau namun. Muhasabah atau koreksi diri lain lagi tempatnya. Sebab apapun kebaikan yang kita perbuat, jika dilihat kurangnya pasti ada kurangnya. Orang bekerja itu ibarat berjalan, serapih apapun tentu ada kurangnya. Kurang cepat, kurang hati-hati, serta segala kurang lainnya.
Kalau ingin bersih diamlah, beretorikalah atau berteorilah setinggi langit. Diam, berkata, dan berteori pun kalau selalu dikritisi pasti ada salahnya. Orang diam atau tidak banyak berbuat akan kelihatan bersih, bahasa Jawanya resik. Karena diam dan resik, tentu saja secara moral tampak baik. Tapi itu hanya kebersihan pasif dan keindahan citra, yang tak menghasilkan apa-apa. Tampak bersih dan hebat dari luar, tetapi sesungguhmya semu dan tak memiliki apa-apa.
Maka, jangan pernah risau ketika sudah berbuat baik dan beramal yang bermanfaat, tetapi masih ada yang menilai salah. “Jika engkau berbuat baik maka (berarti) kebaikan itu bagi dirimu dan jika engkau berbuat jahat maka (kejahatan) itu bagi dirimu” (Qs Al-Isra: 7). Ujaran pepatah, “biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu”. Jadi, siapa takut berkarya yang baik dan positif! A Nuha
Sumber: Majalah SM Edisi 22 Tahun 2016