Meneguhkan Eksistensi Hizbul Wathan di Sekolah Muhammadiyah

Meneguhkan Eksistensi Hizbul Wathan di Sekolah Muhammadiyah

Kegiatan Pandu Hizbul Wathan Dok SM

Masa vakum gerakan Hizbul Wathan mulai tahun 1961 sampai tahun 2000, di sekolah-sekolah Muhammadiyah berkembang gerakan Pramuka, yang secara kebetulan mendapat support penuh dari pemerintah

Oleh: Anjar Nugroho SB

Sekolah Muhammadiyah merupakan ujung tombak gerakan Muhammadiyah dalam mencerdaskan dan memberdayakan umat. Melalui amal usaha sekolah Muhammadiyah, disamping pula perguruan tinggi Muhammadiyah, gerakan tajdid (pembaharuan) yang menjadi elan vital gerakan Muhammadiyah mendapatkan jalannya. Mencerdaskan tidak sekedar membuat peserta didik menguasai ilmu pengetahuan, tetapi yang lebih penting dari itu, mencerdaskan adalah menanamkan nilai-nilai Islam yang nantinya mengejawantah dalam akhlak mulia yang berkemajuan.

Hizbul Wathan sebagai gerakan kepanduan Muhammadiyah pertama kali muncul dalam konstelasi pergerakan Indonesia pada tahun 1918 dengan nama Padvinder Muhammadiyah. Hizbul Wathan mempunyai visi menyiapkan dan membina anak, remaja, dan pemuda yang mempunyai akidah, mental dan fisik serta berilmu pengetahuan dan menguasai teknologi. Visi Hizbul Wathan ini sejalan dengan tujuan pendidikan Muhammadiyah, sehingga Hizbul Wathan dan sekolah Muhammadiyah mempunyai keselarasan dalam gerakan, saling melengkapi untuk menuju pada pembentukan pribadi kader Muhammadiyah yang berislam dengan sebenar-benarnya dan siap menjadi transformator dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

Sekolah, dalam hal ini sekolah Muhammadiyah, mulai dari jenjang sekolah dasar sampai sekolah tingkat atas, memerlukan sentuhan aktivitas yang membawa gerbong pendidikan moral dan karakter akan tetapi disajikan dengan penuh kegembiraan. Aspek kegembiraan ini sangat penting, mengingat usia mereka sebagai subyek terdidik adalah usia anak dan remaja yang cenderung akan menerima sesuatu ketika proses penghantaran kepada mereka dengan situasi rileks dan gembira. Hizbul Wathan sebagai gerakan kepanduan yang menekankan aspek learning by doing (belajar dengan bermain) dalam setiap proses internalisasi nilai-nilai karakter berbasis ajaran Islam, sangat kompatibel untuk dijadikan sebagai wadah aktivitas ekstra kurikuler seluruh siswa Muhammadiyah.

Seperti yang tertulis sebelumnya, bahwa hakekat pandu yang mengajarkan kemadirian, kreatifitas, moralitas, leadership, kerjasama dalam komunitas sosial terdapat dalam nafas gerakan Hizbul Wathan. Kelebihannya dibanding dengan gerakan kepanduan yang lain adalah pada basis nilai-nilai karakter yang dimiliki, yaitu berbasis pada nilai-nilai ajaran Islam. Ciri khusus yang akan ditampilkan Hizbul Wathan, misalnya, pada saat aktivitas berlangsung dan berkumandang adzan, maka aktivitas kepanduan akan dihentikan untuk melaksanakan shalat berjamaah, ini adalah contoh sederhana bagaimana kekhususan nilai-nilai yang dianut Hizbul Wathan yang pada akhirnya akan membedakan dengan gerakan kepanduan yang lain. Pada tataran ini relevansi kegiatan Hizbul Wathan di sekolah Muhammadiyah dengan tujuan dan target capaian pendidikan dan dakwah Muhammadiyah sangat dekat. Tidak ada alasan yang patut dikemukakan untuk menolak eksistensi Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan di sekolah-sekolah Muhammadiyah.

Kegiatan-kegiatan kepanduan yang menggembirakan, seperti berkemah, aktivitas outbound, hiking dan sebagainya, yang terselip dalam kegiatan itu pelajaran-pelajaran tentang moralitas Islami sangat efektif untuk diterapkan sebagai kegiatan alternatif bagi siswa Muhammadiyah. Kebuntuan proses transfer nilai dalam kegiatan formal belajar mengajar, yang terkemas dalam pelajaran al-Islam dan Ke-Muhammadiyahan, dapat diatasi dengan adanya geliat garakan Hizbul Wathan di sekolah tersebut. Siswa tanpa harus terbebani dengan doktrin materi keislaman dan kemuhammadiyahan secara otomatis mendapat pengalaman berislam dan bermuhammadiyah yang lebih menyentuh aspek afektif dengan aktivitas di Hizbul Wathan.

Problem di Lapangan

Gerakan Hizbul Wathan memang sempat membeku dalam sejarah perjalanannya karena kebijakan pemerintah untuk menyatukan gerakan kepanduan dalam satu wadah yaitu Pramuka. Baru pada tahun 2000, Hizbul Wathan dibangkitkan kembali dan secara perlahan namun pasti eksistensinya menyasar ke seluruh wilayah Indonesia yang secara kebetulan telah berdiri wilayah, daerah, cabang dan ranting Muhammadiyah.

Masa vakum gerakan Hizbul Wathan mulai tahun 1961 sampai tahun 2000, di sekolah-sekolah Muhammadiyah berkembang gerakan Pramuka, yang secara kebetulan mendapat support penuh dari pemerintah, mulai dari regulasi, struktur organisasi yang menempel pada struktur pemerintah sampai pada dukungan pendanaan. Ini sebagai keniscayaan sejarah yang tidak bisa ditolak. Beberapa eksponen Hizbul Wathan yang kebetulan adalah aktivis dan kader Muhammadiyah juga ikut bergabung dengan gerakan Pramuka karena wadah kepanduan satu-satunya adalah Pramuka. Sekolah-sekolah Muhammadiyah sebagaimana sekolah-sekolah pada umumnya menjadikan Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib bagi siswanya, dan itu berlangsung cukup lama.

Kondisi tersebut menjadi dilema bagi sekolah Muhammadiyah saat Gerakan Hizbul Wathan secara resmi menjadi satu-satunya gerakan kepanduan di Muhammadiyah. Satu sisi gerakan Pramuka sudah sedemikian mengakar, sisi lain Hizbul Wathan masih dalam proses menjadi (being procces) yang secara infrastruktur masih banyak yang perlu dibenahi. Belum lagi saat dihadapkan pada posisi pemerintah yang semestinya memberi kebebasan pada sekolah-sekolah Muhammadiyah untuk mengembangkan gerakan kepanduan yang sesuai dengan afiliasinya, tetapi justru pemerintah mengambil posisi tetap mendukung Pramuka untuk menjadi gerakan kepanduan termasuk di sekolah-sekolah Muhammadiyah melalui regulasi yang bernama Undang-Undang No. 12 tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka.

Banyak sekolah Muhammadiyah, karena keterikatan dengan pemerintah melalui Dinas Pendidikan di kabupaten/kota masing-masing, masih menjadikan Pramuka sebagai pilihan kegiatan ekstrakurikulernya dan enggan untuk mengembangkan Hizbul Wathan. Walau sudah terbit instruksi Pimpinan Pusat Muhammadiyah kepada setiap sekolah Muhammadiyah untuk mendirikan dan mengembangkan Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan, akan tetapi instruksi PP Muhammadiyah tersebut kalah dengan cengkraman hegemonik-birokratik pemerintah di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Ini adalah situasi problematik yang harus diselesaikan dengan strategis-sistematis.

Strategi Peneguhan

Muhammadiyah sebagai induk organisasi Hizbul Wathan harus mempunyai pemahaman dan kebijakan yang sama dari Pimpinan Pusat sampai Pimpinan Ranting terkait dengan eksistensi Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Kebijakan yang sama itu pula yang harus ditunjukkan oleh Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) sebagai atasan langsung kepala sekolah Muhammadiyah. Kebijakan yang seperti apa? Yaitu kebijakan untuk menjadikan Hizbul Wathan sebagai satu-satunya gerakan kepanduan di sekolah Muhammadiyah. Mengapa harus satu-satunya? Karena jika dibiarkan terjadi liberalisasi (baca: pertarungan bebas untuk eksis) antara Pramuka dan Hizbul Wathan di sekolah Muhammadiyah, yang terjadi adalah ketidakfokusan orientasi pendidikan kepanduan siswa dan secara pembiayaan akan terjadi inefisiensi karena akan ada dua organisasi kepanduan yang harus disupport pendanaannya, dan ini sangat memberatkan bagi sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tidak begitu besar dan itu jumlahnya sangat banyak.

Hizbul Wathan sebagai organisasi secara cepat harus melakukan penguatan menejerial dan jaringan. Kwartir Pusat sampai Qobilah harus mempunyai daya cengkeram untuk mengukuhkan diri sebagai gerakan yang aktif dan berpengaruh. Kaderisasi dan kegiatan-kegiatan kepanduan regular harus rutin digelar untuk memberi wadah aktivitas para pandu di sekolah. Hizbul Wathan tidak boleh absen untuk memberi kegiatan positif bagi pengembangan jiwa pandu. Dalam konteks ini, kepemimpinan Hizbul wathan dituntut untuk terus-menerus menggerakkan organisasi secara sistematis dan berkelanjutan.

Yang tidak boleh dilupakan adalah aspek inovasi dan kreativitas model kegiatan kepanduan Hizbul Wathan. Jangan sampai kegiatan yang ditawarkan untuk para pandu di sekolah adalah kegiatan yang kering dengan sentuhan-sentuhan pembaharuan, yang ini tentu akan membuat para siswa menjadi tidak tertarik. Fungsi kegiatan kepanduan yang menggembirakan akan berubah menjadi membosankan. Ini malapetaka bagi pengembangan Gerakan Kepanduana Hizbul Wathan di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Semoga Hizbul Wathan tidak demikian.

Anjar Nugroho SB, Ketua Kwarwil HW Jawa Tengah

Sumber: Majalah SM Edisi 24 Tahun 2016

Exit mobile version