Anak Muda Muhammadiyah Harus Lapar dan Baper

Pentingnya Kader Muhammadiyah membawa perasaan juga agar kita peka terhadap lingkungan sekitar, bahkan dengan perasaan kita membela keadilan

Oleh : Fathin Robbani Sukmana

Entah kenapa saya memutuskan untuk mengambil judul tersebut, tulisan ini sebetulnya sudah saya pikirkan sejak membaca tulisan Kak Hendra Hari Wahyudi yang berjudul Muhammadiyah berperan, Tidak Baperan.

Sebetulnya tidak ada yang salah dengan tulisan tersebut. Namun entah kenapa saya sangat tertarik untuk mengomentari tulisan tersebut di salah satu grup sosial media, saya pun mengetik dan bertanya bagaimana jika Kader Muhammadiyah yang selalu lapar seperti saya?

Singkat cerita Ka Hendra menantang saya untuk membuat tulisan kader IPM itu lapar atau baper. Saya sempat terlupa dengan Challange tersebut, namun saya bisa berhasil merenung kenapa anak muda Muhammadiyah harus lapar dan baper.

Memang sangat aneh jika ada tulisan seperti ini, tapi kembali entah mengapa saya sangat tertarik untuk menuliskannya dan juga mencoba memublikasikannya. Mungkin saja ini hanya tulisan receh yang sangat sedikit maknanya.

Mengapa Lapar?

Lapar merupakan sebuah alarm bagi manusia jika tubuhnya butuh asupan berupa makanan, ya lapar merupakan alarm yang dibunyikan oleh perut. Sebetulnya saya juga merupakan manusia yang sering merasa kelaparan.

Ketika saya lapar maka secara alamiah saya akan mencari makanan, jika di rumah tidak ada makanan maka saya akan membeli atau memasak agar rasa lapar itu hilang, dan saya yakin semua orang juga akan berusaha mencari sesuatu yang di makan untuk menghilangkan rasa lapar.

Bagi anak muda yang tinggal jauh dari rumah misalnya tinggal di rumah kos atau asrama, tentu makanan yang mereka makan sangatlah terbatas tidak bisa sebanyak di rumah, tapi dengan demikian otaknya berputar agar mencari makan yang mengenyangkan dan juga murah.

Saya pernah tinggal di rumah kos selama beberapa tahun ketika bekerja, namun saya masih bisa membeli makanan dengan jumlah yang cukup apalagi sekitar rumah kos saya banyak sekali tukang jualan yang menjual makanan berat.

Namun saya juga memiliki pengalaman tentang kelaparan ketika sekolah, ya saya tinggal di asrama, rumah saya dan lokasi asrama berbeda planet. Ketika di asrama tentu jam makan dan porsi makan sangatlah dibatasi.

Suatu ketika saya sedang mandi sekitar pukul 06.25, ya saya termasuk siswa yang cukup malas mandi. Ketika sedang melakukan aktivitas bersama air tersebut tiba-tiba sarapan sudah tersedia, salah seorang anak asrama berteriak nasi goreng.

Saya begumam di dalam hati, wah tidak akan jika kelamaan mandi tidak akan mendapat jatah makan, akhirnya saya mempercepat aktivitas mandi saya, dan sesuai dugaan ketersediaan nasi goreng itu pun habis.

Ini terjadi beberapa kali, dengan uang jajan yang pas-pasan juga saya tidak berani untuk membeli makan di luar lagi pula waktunya sangat mepet dengan jam kelas pertama, akhirnya mau tidak mau saya menahan lapar hingga jam makan siang tiba.

Karena keseringan seperti ini, akhirnya saya memutuskan untuk jualan bakpau milik senior saya, lumayan setiap menghabiskan satu kotak yang berisi 10 bakpau bisa mendapatkan 4000 rupiah, ya uang sebanyak itu cukup untuk membeli gorengan Mang Ujan. (Mang Ujang adalah tukang dagang sekaligus artis di sekolah saya).

Jika saya ingin makan enak, tentu otak saya berputar. Dan akhirnya jika ada kesempatan saya mengikuti seminar, hikmah mengikuti seminar tersebut saya mendapat ilmu dan juga kue serta makan siang gratis tentunya.

Walau tidak paham materinya yang jelas dapat makan siang, jika hanya seminar mendapat makanan ringan saya menyebut Alhamdulillah, jika ada makan siang Alhamdulillah dua kali, jika seminar mendapatkan makan siang dan uang saku maka Alhamdulillah tiga kali, karena jika Alhamdulillahnya 33 kali biasanya hanya dalam salat.

Namun ya begitulah kira-kira saat masa saya sekolah untuk memenuhi panggilan perut dengan mencari makan. Sebetulnya cerita tersebut biasa saja namun saya tetap harus menceritakan hal ini karena agar ada kaitannya dengan judul.

Bawa Perasaan (Baper)

Akhir-akhir ini saya sering mendengar kalimat “jangan baperan dong,  gitu aja baper”. Ya sering orang yang bawa perasaan selalu disudutkan dengan kalimat tersebut, sebenarnya apakah ada yang salah jika seseorang berperasaan?.

Perasaan itu bagi saya selalu datang dari hati, saya sangat sering membawa perasaan dalam banyak hal baik berorganisasi atau apapun, karena bagi saya jika perasaan adalah hal alamiah sebagai ekspresi atas suatu kejadian.

Bahkan banyak tulisan dan singgungan yang menyatakan bahwa melakukan sesuatu jangan baper atau berhubungan sosial jangan bawa perasaan, kembali pertanyaan saya kenapa dilarang membawa perasaan kita ?.

Ah sudahlah, saya beberapa kali sering menjadi korban ejekan tersebut, karena bagi saya melakukan sesuatu harus tetap menggunakan perasaan serta  tidak bisa dipungkiri perasaan itu selalu datang baik perasaan senang, kesal, marah, badmood dan lainnya.

Kolaborasi Keduanya Menuju Perubahan

Saya cukupkan bahas lapar dan bapernya, karena ketika menulis artikel ini saya sudah makan dan tetap dengan perasaan gembira, namun saat saya tidak lapar rasa aneh ini terus menyelimuti. Ya betul rasa kantuk yang tak tertahankan padahal masih sore.

Ya setelah makan dan perut penuh alarm kembali menyala melalui mulut dengan menguap, jika makan berlebihan atau kadang sudah merasa kenyang akhirnya saya merasakan malas gerak, inginnya rebahan serta malas berpikir.

Hal seperti kekenyangan sering terjadi kepada saya karena nafsu makan bisa melonjak tinggi ketika melihat masakan yang enak gratis pula, akhirnya tanpa berpikir akhirnya langsung melahap hingga kekenyangan. Efeknya tentu seperti yang saya bilang di atas.

Nah selain kekenyangan, jika saya tidak membawa perasaan saya ke mana-mana, maka saya akan menjadi orang yang cuek, tak peduli keadaan yang penting perut kenyang hati pun senang. Ya saya tidak akan peduli.

Bagi saya pentingnya membawa perasaan agar saya peka, perasaan membuat saya bereaksi pada suatu kejadian, misalkan ada kawan saya yang dihina, perasaan saya kesal bahkan marah lalu saya akan bereaksi untuk membela dia atau minimal bersimpati dengan kawan saya tersebut.

Pentingnya membawa perasaan juga agar kita peka terhadap lingkungan sekitar, jika kita tidak bisa membantunya minimal kita bersimpati terhadap sebuah kejadian, bahkan dengan perasaan kita bisa menuliskan ribuan kata untuk membela keadilan.

Nah tentu sangat mudah untuk menjaga perasaan dan juga lapar, namun jika terus-terusan lapar dan baper tidak baik juga, karena kita akan terus menangis membayangkan memakan makanan yang bukan hak kita.

Wallahu ‘alam Bisshawab

Fathin Robbani Sukmana, Ketua PW IPM Jawa Barat Bidang Pengkajian Ilmu Pengetahuan dan Anggota LAPSI PP IPM

Exit mobile version