Posisi tangan pada saat iktidal adalah tangan lurus ke bawah, tidak digerak-gerakkan maupun digoyang-goyangkan (diayun-ayunkan) dan tidak pula dengan posisi bersedekap
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr.wb.
Kepada Yth. Divisi Fatwa Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih atas dimuatnya pertanyaan saya ini. Di lingkungan Muhammadiyah di tempat kami terjadi perbedaan versi tentang posisi tangan ketika setelah iktidal. Sebagian diletakkan di dada, sebagian dijulurkan ke bawah. Bagaimanakah tuntunannya sesuai Fatwa Tarjih Muhammadiyah?
Abu Najma (disidangkan pada Jum‘at, 12 Jumadilawal 1440 H / 18 Januari 2019 M)
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan yang telah saudara ajukan. Perlu diketahui bahwa permasalahan posisi tangan saat iktidal ini telah dimuat pada buku Tanya Jawab Agama Jilid 3 dan telah pula menjadi Keputusan Tarjih dalam Himpunan Putusan Tarjih Jilid 3. Namun, tidak ada salahnya kami mengulasnya kembali secara memadai.
Makna Iktidal
Iktidal adalah bagian dari serangkaian ibadah shalat yakni keadaan berdiri lurus sesaat setelah bangkit dari rukuk dengan seluruh ruas tulang berada dalam posisi normal. Terdapat perbedaan pendapat tentang posisi tangan saat sedang iktidal yang secara garis besar dapat dibedakan antara tangan bersedekap dan tangan tegak lurus.
Pendapat pertama menyebutkan posisi tangan tegak lurus saat iktidal berdasarkan hadis dalam Shahih al-Bukhari yang lafalnya sebagai berikut,
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ أَنَّهُ كَانَ جَالِسًا مَعَ نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْنَا صَلَاةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ السَّاعِدِيُّ أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلَاةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلَا قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ [رواه البخاري].
Dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atha’ (diriwayatkan bahwa) ia pada suatu waktu duduk bersama beberapa orang sahabat Nabi saw, kemudian kami menyebut-nyebut shalat Nabi saw. Lalu Abu Humaid as-Sa‘idi berkata, aku orang yang paling hafal di antara kalian tentang shalat Rasulullah saw. Aku melihat beliau apabila bertakbiratul-ihram, mengangkat tangan hingga setengah dengan kedua pundaknya. Apabila rukuk, beliau menempatkan kedua tangan di kedua lututnya kemudian meluruskan punggungnya. Pada saat iktidal beliau mengangkat kepalanya sehingga seluruh ruas anggota tubuhnya kembali ke posisi semula. Ketika sujud beliau meletakkan kedua tangan, tidak dibentangkan atau dirapatkan dan ujung-ujung jemari kaki dihadapkan ke arah kiblat. Ketika duduk pada rakaat kedua, beliau duduk pada kaki kiri dan menegakkan ujung kaki yang kanan, dan pada saat duduk di rakaat terakhir beliau memasukkan kaki kirinya menegakkan ujung kaki yang satunya dan duduk di lantai tempat shalat [HR. al-Bukhari nomor 785].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ (لِلْمسئ فِي صَلَاتِهِ) … … … إَذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا وَافْعَلْ ذَلِكَ فِى صَلَاتِكَ كُلَّهَا [رواه البخاري].
Dari Abu Hurairah ra, (diriwatayatkan bahwa) Rasulullah saw bersabda (kepada orang yang keliru menjalankan shalat), apabila kamu berdiri hendak shalat maka bertakbirlah lalu bacalah beberapa ayat yang menurut kamu mudah dari ayat al-Qur’an, lalu rukuklah dengan tumakninah, kemudian berdirilah dengan tegak lurus kemudian sujudlah dengan tumakninah, kemudian duduklah dengan tumakninah, lalu sujud lagi dengan tumakninah pula kemudian lakukanlah seperti itu dalam semua shalatmu [HR. al-Bukhari nomor 751].
Pada hadis pertama, lafal فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ yang artinya “pada saat iktidal beliau mengangkat kepalanya sehingga seluruh ruas anggota tubuhnya kembali ke posisi semula.” Dari sini dapat dipahami bahwa yang dimaksud semua tulang termasuk tulang-tulang kedua belah tangan. Agar tulang-tulang kedua belah tangan kembali ke tempatnya seperti semula, maka kedua belah tangan itu tentu saja harus dilepaskan lurus ke bawah.
Kedua hadis di atas, menyebutkan hal-hal yang diperintahkan dalam shalat. Hal-hal yang diperintahkan itu, karenanya merupakan bagian dari shalat dan wajib dilakukan. Sementara hal-hal yang merupakan bagian dari shalat yang tidak disebutkan dalam hadis ini dilengkapi dengan yang disebutkan dalam hadis-hadis lain seperti tasyahud dan salam. Hal-hal yang tidak disebutkan dalam hadis ini dan tidak ada kelengkapanya dalam hadis lain berarti bukan merupakan bagian dari shalat.
Selanjutnya pendapat kedua, menyebutkan posisi tangan bersedekap saat iktidal berdasarkan hadis riwayat Ahmad dari Wail bin Hujr sebagai berikut,
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قاَلَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ كَبَّرَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِذَاءَ أُذُنَيْهِ ثُمَّ حِيْنَ رَكَعَ ثُمَّ حِيْنَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ وَ رَأَيْتُهُ مُمْسِكًا يَمِيْنُهُ عَلَى شِمَالِهِ فِى الصَّلَاةِ فَلَمَّا جَلَسَ حَلَقَ بِالْوُسْطَى وَالْإِبْهَامِ وَأَشَارَ بِالسَّبَابَةَ وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخْذِهِ الْيُمْنَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخْذِهِ الْيُسْرَى [رواه أحمد].
Dari Wail bin Hujr (diriwayatkan bahwa), ia berkata, aku melihat Nabi saw mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua telinganya ketika bertakbir, ketika rukuk, dan ketika mengucap sami‘allahu liman hamidah dan aku melihat tangan kanan beliau memegang tangan kirinya di dalam shalat (bersedekap). Kemudian ketika beliau duduk (tahiyat) beliau melingkarkan jari tengahnya dengan ibu jari, dan berisyarat dengan menjulurkan jari telunjuknya dan beliau meletakkan tangan kananya pada paha yang kanan dan meletakkan tangan kirinya pada paha yang kiri [HR. Ahmad nomor 18103].
Pada hadis ini, Wa’il bin Hujr menerangkan bahwa Nabi saw bersedekap di dalam shalat, tetapi tidak menyatakan bahwa beliau bersedekap ketika iktidal.
Pemahaman terdapat hadis yang mengartikan bersedekap ketika iktidal masih bisa dibantah karena dalam kalimat “wa ra’aituhu mumsikan yaminahu ‘ala syimalihi” (dan aku melihat tangan kanan beliau memegang tangan kirinya) menggunakan kata sambung wa (dan), tidak menggunakan kata sambung tsumma (kemudian). Ini berarti bahwa sedekap itu tidak dilakukan oleh Nabi setelah membaca sami‘allahu liman hamidah.
Berdasarkan keterangan di atas yang menyebut adanya perbedaan pendapat, kami menyimpulkan bahwa pendapat yang lebih kuat tentang posisi tangan pada saat iktidal adalah tangan lurus ke bawah, tidak digerak-gerakkan maupun digoyang-goyangkan (diayun-ayunkan) dan tidak pula dengan posisi bersedekap.
Wallahu a‘lam bish-shawab
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 22 Tahun 2019