Adanya Baitut Tamwil Muhammadiyah (BTM) secara otomatis sebagai best practices bagi Muhammadiyah dan warganya dalam menjalankan sistem keuangan syariah dengan beragam produk dan akad yang dimilikinya
Oleh: Mukhaer Pakkanna
Pada 12 Juli kemarin, galibnya HUT koperasi diperingati secara nasional. Mengapa koperasi penting? Setidaknya, koperasi, menurut the founding fathers Negara, dianggap kompatibel dengan kultur bangsa. Sprit kebersamaan, gotong-royong, dan kekeluargaan telah built-in dalam “proses menjadi” bangsa Indonesia.
Dalam sejarah Islam pun, koperasi diidentikkan dengan Baitul Mal. Lembaga ini sudah dikenal sejak tahun ke-2 hijriah pemerintahan Islam di Madinah. Berdirinya lembaga ini diawali dengan perdebatan seru para sahabat Nabi dalam pembagian harta rampasan Perang Badar. Maka, turunlah surat al-Anfal ayat 4 (Abdul Aziz. et.al. 1999).
Setelah turunnya ayat itu, Rasulullah mendirikan Baitul Mal, mengatur setiap harta benda kaum Muslimin, baik itu harta keluar maupun masuk. Bahkan, Nabi SAW sendiri menyerahkan segala urusan keuangan negara kepada lembaga keuangan ini.
Tatkala Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah, kekayaan negara di Baitul Mal meningkat signifikan. Umar berhasil menaklukkan Kisra (Persia) dan Qaishar (Romawi). Harta kekayaan pun mengalir deras ke Kota Madinah. Pada 16 H, Umar mendirikan kantor Baitul Mal di Madinah.
Kemudian mengangkat Abdullah bin Irqam sebagai bendahara negara dan Abdurrahman bin Ubaid al-Qari sebagai wakilnya. Selanjutnya, juga mengangkat juru tulis, menetapkan gaji pegawai pemerintah, tata kelola usaha, dan menganggarkan dana angkatan perang (Rafi Aliefanto, 2018).
Umar sangat hati-hati dalam mengelola uang negara ini. Dalam kitab Al-Bidayah wa an Nihayah atau acap dikenal sebagai Tarikh Ibnu Katsir (1301-1373 M) menukil pidato Umar, ”Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini selain dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin, serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di antara orang Quraisy biasa. Dan aku adalah orang biasa seperti kebanyakan kaum Muslimin.” (Rafi Aliefanto, 2018)
Baitut Tamwil
Dalam menggerakkan roda persyarikatan Muhammadiyah, salah satunya ditopang dengan Baitul Mal. Namun, dalam Muhammadiyah dikenal dengan nama Baitut Tamwil Muhammadiyah (BTM). BTM adalah sebuah gerakan dakwah ekonomi Muhammadiyah, dalam bentuk Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS), berbadan hukum koperasi.
Per definisi, Baitut Tamwil berasal dari gabungan dua kata, yaitu Bait, yang artinya rumah dan Tamwil (pengembangan harta kekayaan) yang asal katanya Maal atau harta. Secara keseluruhan, Baitut Tamwil dimaknai sebagai tempat untuk mengembangkan usaha atau tempat untuk mengembangkan harta kekayaan.
Pengertian dua suku kata itulah yang kemudian digunakan sebagai nomenklatur untuk lembaga keuangan mikro, yaitu berfungsi sebagai lembaga pemberdayaan warga. BTM dibangun dengan mengambil konsep dasar Baitul Maal wat-Tamwil, yang merupakan gabungan antara Baitut Tamwil, unit yang menjalankan pembiayaan secara komersial dan Baitul Maal, unit yang menjalankan pembiayaan non-komersial, dengan dana yang bersumber dari titipan zakat, infaq dan shodaqoh. Pada BTM, bidang sosial ditiadakan karena di Muhammadiyah, sudah lebih dulu ada lembaga amil zakat.
BTM dalam menjalankan operasionalnya menggunakan jenis Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah (KSPPS) di bawah otoritas Kementerian Koperasi/UKM dan sebagai koperasi LKMS di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan dua pendekatan perizinan itu, ada fleksibilitas bagi BTM dalam mengembangkan diri dengan disesuaikan kearifan lokal.
Bagi Muhammadiyah, keberadaan BTM sekaligus sebagai implementasi dari Keputusan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah yang merekomendasikan bunga bank konvernsional hukumya haram. Selain itu, adanya BTM secara otomatis sebagai best practices bagi Muhammadiyah dan warganya dalam menjalankan sistem keuangan syariah dengan beragam produk dan akad yang dimilikinya.
Selain itu, keberadaan BTM sebagai pusat keuangan Muhammadiyah dan mampu mendukung gerakan dakwah Muhammadiyah. Artinya, dengan adanya BTM sebagai tempat bagi Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) dan warganya dalam menempatkan dana dan memanfaatkannya akses pembiayaan.
Dengan demikian, keuntungan pengelolaan keuangan BTM bisa dimanfaatkan untuk membiayai gerakan dakwah ekonomi. Dan hingga saat ini, BTM memiliki jaringan Induk, Pusat Sekunder dan Primer dengan total 132 jaringan dan aset sebesar Rp 2,5 triliun.
Besarnya asset dan jumlah uang yang beredar di AUM, memantik banyak lembaga keuangan, terutama perbankan syariah untuk selalu melirik dan mengimingi berbagai fasilitas.
Dengan fakta itu, sejatinya BTM harus bergerak lebih cepat lagi memberikan edukasi dan sosialisasi tentang manfaat dana besar itu untuk dikelola oleh BTM daripada dikelola oleh lembaga keuangan lainnya.
Manfaat BTM
Dengan gambaran di atas, jika AUM menempatkan dananya di BTM, beberapa manfaat yang optimal bisa diterima (Suud, 2018), pertama, jika mengakses pembiayaan ke BTM, maka BTIM tidak memberikan bagi hasil alias qard tidak perlu biaya admin dan notaris. Jika AUM menempatkan dananya ke BTM, sifatnya adalah wadiah (titipan) dan hal ini tidak berlaku di perbankan jika pembiayaan dikenakan bagi hasil yang besar.
Kedua, jika warga Muhammadiyah menempatkan dananya di BTM, sama dengan perbankan akan mendapatkan rerata bagi hasil. Keuntungan atau marjin dari penempatan dan pembiayaan di BTM, tentu untuk BOP gaji pegawai BTM, SHU 80 persen ke Muhammadiyah, pembangunan sarana AUM, dan pemberian dana qord untuk orang miskin.
Sementara, jika AUM menempatkan dan mengakses dana di perbankan, marjin keuntungan perbankan tidak akan ke Muhammadiyah, dan tentu hanya dinikmati oleh perbankan. Bahkan, bisa jadi jatuh ke orang-orang kaya pemilik modal raksasa.
Dalam konteks gerakan dakwah ekonomi jamaah, BTM perlu menempatkan peran sekunder BTM, sebagai induk. Fungsinya antar lain sebagai akses permodalan, supervisi, evaluasi dan pengawasan terhadap BTM Primer, peningkatan sumber daya insani, regulasi dan penguatan teknologi informasi (IT) (Yuliawan, 2019).
Dengan munculnya banyak pusat BTM diberbagai wilayah, Induk BTM menyakini akan segera terbentuknya Apex Syariah atau holding microfinance, sehingga akan memudahkan bagi pihak lain dalam bermitra dengan BTM untuk mendorong program Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) secara masif.
Karawaci, 13 Juli 2020
Mukhaer Pakkanna, Rektor ITB-AD