Logika dan Kesahihan Do’a Untuk Pengantin
Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Nidaan Hasana
Sebagian umat Islam Indonesia mempunyai tradisi menyelenggarakan resepsi pernikahan, baik di rumah maupun di gedung pertemuan. Dalam acara tersebut ada pembacaan doa yang dipimpin oleh kiai. Doa yang dibacakannya ada yang bersumber pada hadits dan ada pula yang disusun sendiri oleh pembaca doa atau disusun oleh kiai masyhur.
Contoh Rasululllah
Doa yang bersumber pada tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dijelaskan dalam Shahih Sunan Tirmidzi sebagai berikut.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَفَّأَ الْإِنْسَانَ إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ
بَارَكَ اللَّهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي الْخَيْرِ
“Qutaibah menceritakan kepada kami, Abdul ‘Aziz bin Muhammad memberitahukan kepada kami dari Suhail bin Abu Sholih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan orang yang menikah beliau berkata,
“Semoga Allah memberkahimu, semoga engkau mendapat keberkahan, dan semoga Allah mengumpulkan kalian berdua di dalam kebaikan.”
Doa yang isi dan lafalnya sama terdapat pula dalam hadits Abu Dawud, Ahmad, dan ad-Darimi.
Bagaimana halnya dengan doa yang tidak bersumber pada tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Variasinya cukup banyak. Di bawah ini disajikan satu di antaranya.
اَللَّهُمَّ أَلِّفْ بَيْنَ اْلعَرُوْسَيْنِ كَمَا أَلَّفْتَ بَيْنَ الْمَاءِ وَالطِّيْنِ وَ بَيْنَ آدَمَ وَحَوَّاء، وَبَيْنَ إِبْرَاهِيْمَ وَهَاجَرَ وَسَارَه، وَبَيْنَ يُوْسُفَ وَزُلَيْخَة، وَبَيْنَ أَيُّوْبَ وَرَحْمَةَ، وَبَيْنَ مُوْسَى وَصَفُوْرَه، وَبَيْنَ سُلَيْمَانَ وَبَلْقِيْس، وَبَيْنَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَزَوْجَاتِهِ الْمُطَهَّرَاتِ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِنَّ أَجْمَعِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
“Ya, Allah! Karuniakanlah restu dan kasih sayang di antara kedua pengantin ini serta eratkan hubungan keduanya sebagaimana telah Engkau hubungkan antara air dan tanah; Adam dan Hawa, Ibrahim dan Siti Hajar dan Sarah, seperti Yusuf dan Zulaikha, Ayub dan Rahmah, Musa dan Safurah, Sulaiman dan Puteri Balqis, dan seperti Baginda Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khadijah. Ya, Allah! Satukanlah keduanya dalam inayah dan barakah-Mu. Semoga menjadi nur ibadah yang mendambakan rahmat-Mu.”
Yusuf dan Zulaikha
Mari kita renungkan isi doa itu dari segi dasarnya dan penalaran yang berlandaskan pada akhlak. Fokus renungan kita pada Yusuf dan Zulaikha karena kisah mereka paling menarik perhatian banyak orang.
Mungkin terinspirasi oleh doa itu dan kisah yang sering diceritakan oleh para “kiai”, dibuatlah film dengan versi yang di dalamnya terdapat tokoh Nabi Yusuf dan Zulaikha sebagai pasangan suami istri. Namun, film versi ini tampak tidak jadi tayang. Pernah ada film yang berisi kisah Nabi Yusuf yang ditayangkan pada Ramadan tiap menjelang berbuka puasa di TvMu dengan versi di dalamnya tidak ada adegan yang dapat ditafsirkan bahwa Yusuf menikah dengan Zulaikha.
Timbul pertanyaan yang sangat mendasar, yakni: adakah ayat Al-Qur’an dan hadits sahih yang dijadikan rujukan bahwa mereka adalah pasangan suami istri? Banyak ulama yang menyatakan bahwa tidak ada satu pun ayat Al-Qur’an dan hadits yang berisi penjelasan bahwa Nabi Yusuf beristrikan Siti Zulaikha.
Quraisy Shihab dalam pengajian di salah satu stasiun televisi nasional menyatakan bahwa tidak ada dasarnya, baik Al-Qur’an maupun hadits untuk berpendapat bahwa Yusuf dan Zulaikha adalah pasangan suami-istri. Oleh karena itu, tidak tepat jika berdoa pada resepsi pernikahan dengan doa yang di dalamnya disebutkan Yusuf-Zulaikha sebagai pasangan suami istri dan berdosa orang yang berdoa demikian. Yunahar Ilyas juga berpendapat bahwa tidak satu ayat Al-Qur’an dan hadits yang dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa Yusuf dan Zulaikha adalah pasangan suami istri.
Sementara itu, Ali Mustofa Yakub, dalam suatu pengajian di salah satu stasiun televisi nasional menyatakan bahwa jika hadir dalam acara resepsi pernikahan dan mendengar doa tersebut dibacakan, bukannya mengucapkan aamiin, melainkan beristighfar!
Para ulama itu berpendapat demikian karena mereka telah melakukan kajian yang mendalam dan sampai pada simpulan bahwa tidak ada satu ayat Al-Qur’an dan hadits yang dapat dipakai sebagai rujukan untuk menyatakan bahwa Yusuf dan Zulaikha adalah suami istri.
Sementara itu, Ali Mursyid dan Zidna Khaira Amalia, dosen Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta, telah meneliti status Nabi Yusuf dan Zulaikha. Dalam penelitiannya yang berjudul “Benarkah Yusuf dan Zulaikha Menikah? Analisa Riwayat Isra’iliyyat dalam Kitab Tafsir”,mereka sampai pada simpulan bahwa riwayat-riwayat yang berisi cerita tentang pernikahan Nabi Yusuf dengan Zulaikha, tidak berdasar, baik dari Al-Qur’an maupun hadits sahih dan ulama Al-Jarḥ dan Al-Ta’dil (ulama yang menyelidiki kesalahan dan keadilan rawi), ulama yang menjadi sandaran dari orang-orang yang meriwayatkan kisah tersebut adalah orang yang thiqah, meskipun riwayat-riwayat tersebut tidak merusak akidah umat muslim.
Mari kita berpikir dengan jernih tentang Nabi Yusuf. Dia adalah utusan Allah; orang suci. Jadi, tidak mungkin dia mencintai Zulaikha karena Zulaikha sudah bersuami. Bagaimana halnya dengan Zulaikha? Betapa rusaknya akhlak Zulaikha; sudah bersuami, tetapi mencintai Nabi Yusuf. dan betapa rusaknya akhlak umat Islam jika menjadikan Zulaikha sebagai perempuan teladan, sampai-sampai dalam doa untuk mempelai pun menyebut namanya menjadi satu rangkaian dengan Hawa dan Hadijah.
Jadi, semestinya kita kembali pada Al-Qur’an dan hadits. Berdoa untuk mempelai adalah beribadah yang telah ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hamba Allah dan utusan-Nya yang sudah dijamin kebenarannya. Apa yang diucapkan dan dilakukannya adalah contoh terbaik sebagaimana firman Allah dalam surat al-Ahzab (33): 21,
“Sesungguhnya,telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Mohammad Fakhrudin, Dosen Universitas Muhammadiyah Purworejo,
Nidaan Hasana, Pengasuh Pondok Pesantren Muhammadiyah Tempuran, Kabupaten Magelang