YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Budaya ilmu yang dibangun oleh Muhammadiyah telah tercermin sejak awal berdirinya organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia ini.
“Tiga tahun setelah Muhammadiyah berdiri Kyai Dahlan justru mendirikan Suara Muhammadiyah, yang kemudian juga mendirikan Taman Pustaka,” tutur Deny Al Asy’ari, selaku Direktur Utama Suara Muhammadiyah, dalam agenda Covid-19 Talk Gerakan Literasi Menepis Hoax di Masa Pandemi, Selasa (14/07).
Deni mengungkapkan bahwa perjuangan literasi di Indonesia ini mengalami tantangan besar. Dinamika dalam literasi ini mengalami proses yang naik turun. Yaitu ketika tradisi informasi hari ini yang serba instan dan muncul generasi serba digital juga serba instan.
“Inilah kemudian yang menjadi tantangan kita bersama, tidak hanya Suara Muhammadiyah, tetapi juga kelompok-kelompok yang bergerak dalam gerakan literasi ini,” tutur Deni.
Dalam wawancara ini Deni juga mengungkapkan bahwa tantangan hadir dari budaya literasi masyarakat yang pragmatis.
Ia menceritakan, untuk penerbit Suara Muhammadiyah sendiri kebanyakan buku-buku yang diminati adalah buku yang sifatnya guidence atau panduan. “Seperti produk-produk dari Majelis Tarjih, Majelis Tabligh, lebih ke buku-buku yang sifatnya guidance. Tetapi kalau buku-buku yang sifatnya pemikiran itu bisa dibilang agak lambat. Saya melihat kaitannya lebih karena pragmatisme masyarakat dalam mengonsumsi pada aspek literasi ini”, ujar Deni.
Menurut Deni, masyarakat sekarang dengan dunia digital hari ini, mendorong mindset yang lebih pragmatis. “Artinya pemenuhan terhadap kebutuhan yang cepat untuk dikonsumsi, kebutuhan yang cepat untuk disampaikan. Tetapi yang sifatnya kajian, analitik, pemikiran yang mendalam dan butuh waktu itu yang saya lihat agak berkurang,” jelasnya.
David Efendi, Ketua Serikat Taman Pustaka, dalam agenda yang sama, menyampaikan Muhammadiyah sebetulnya ingin mewujudkan bagaimana menata kehidupan itu di mulai dari ilmu dan pembacaan yang komprehensif. Muhammadiyah dan organ-organ yang ada di bawahnya sebetulnya berada dalam rezim pengetahuan.
“Artinya mendahulukan hasil kajian, hasil riset, untuk dijadikan pijakan di dalam mengambil keputusan” jelas David Efendi, Kondisi literasi kini mengalami dua fenomena besar yang saling timpang yang pertama ialah kondisi ketika ada keberlimpahan bacaan tetapi daya menulis rendah di kalangan terpelajar, misalnya mahasiswa.
Fenomena kekuatan informasi yang instan dan serba cepat ini kemudian membuat, “Anak-anak sekarang tidak perlu memikirkan sebuah proyek tulisan itu satu bulan sebelum deadline, bisa dipikirkan sehari sebelumnya. Berbeda dengan generasi yang dahulu” tutur David.
“Ada pendisplinan yang tidak kuat di kultur akademis artinya ada toleransi yang terlalu besar bagi mahasiswa dengan budaya menulis secara instan” tambah David.
Fenomena kedua ialah ketika adanya minat baca yang tinggi namun akses terhadap bahan bacaan itu sulit.
“Fenomena kedua ada jutaan manusia yang jauh dari pusat-pusat toko buku, menunggu buku itu sebagai suatu hal yang berharga, seperti sebuah mukjizat,” ujarnya. (ran)
Covid-19 Talk Gerakan Literasi Menepis Hoax di Masa Pandemi