Kebijakan Kampus Merdeka dikeluarkan dengan beberapa alasan. Bagaimana Perguruan Tinggi Muhammadiyah-Aisyiyah (PTMA) merespon kebijakan Kampus Merdeka ini?
Munawwar Khalil
Pasca mengeluarkan kebijakan Merdeka Belajar pada akhir 2019 yang lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim awal Januari 2020 ini kembali meluncurkan kebijakan Merdeka Belajar yang ditujukan bagi pendidikan tinggi bertajuk Kampus Merdeka. Kebijakan Kampus Merdeka ini merupakan kelanjutan dari konsep Merdeka Belajar. Ada empat kebijakan utama dari paket Kampus Merdeka yang mengubah lanskap tata kelola pendidikan tinggi, yaitu (1) otonomi perguruan tinggi berakreditasi A dan B untuk membuka program studi baru; (2) re-akreditasi bersifat otomatis untuk seluruh peringkat, dan bersifat sukarela bagi Perguruan Tinggi dan Prodi yang sudah siap naik peringkat akreditasi; (3) kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum (BH) dan ; (4) hak mengambil mata kuliah di luar prodi dan perubahan definisi Satuan Kredit Semester (sks).
Kebijakan Kampus Merdeka dikeluarkan dengan beberapa alasan yang melatarbelakanginya, diantaranya : Mendorong perguruan tinggi lebih adaptif terhadap perubahan, mempercepat inovasi, menghilangkan paradigma pendidikan hanya tanggung jawab satuan pendidikan namun bisa diampu bersama oleh industri, asosisasi, dan unsur masyarakat. Alasan lainnya adalah kebijakan ini dalam rangka melatih mahasiswa lebih adaptif dalam menghadapi situasi pascakuliah dan jaman yang terus berkembang karena itulah pembebasan mahasiswa belajar di luar prodi maupun di luar kampus seperti magang, mengajar di daerah, kolaborasi penelitian, pertukaran pelajar, dan lainnya sesuai kesepakatan di kampus semata-mata adalah agar mahasiswa memiliki kompetensi dari kombinasi lintas disiplin ilmu. Dalam Buku Saku Panduan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (2020) sangat jelas ditunjukkan bahwa kebijakan ini memang dititikberatkan kepada melayani kebutuhan mahasiswa sebagai yang berhak menerima “berkah” dari kebijakan Kampus Merdeka. Adapun dosen, tendik, dan pengelola perguruan tinggi berperan adalah yang memfasilitasi terwujudnya kebijakan ini.
Nah, bagaimana Perguruan Tinggi Muhammadiyah-Aisyiyah (PTMA) merespon kebijakan Kampus Merdeka ini ? Apa dampak kebijakan tersebut bagi PTMA ? serta bagaimana strategi menghadapinya ? Kebijakan pemerintah ini perlu disikapi dengan tepat, karena jika tidak, alih-alih jadi berkah dan peluang kebijakan Kampus Merdeka justeru bisa jadi lonceng kematian bagi perguruan tinggi swasta, termasuk PTMA.
Otonomi Pembukaan Prodi Baru
Melihat judulnya, kebijakan ini bak angin surga bagi pengelola perguruan tinggi. Tapi sekejap angin itu berlalu karena kebijakan ini memiliki 3 syarat yang harus dipenuhi perguruan tinggi (PT), yaitu: 1. Memiliki nilai Akreditasi Perguruan Tinggi (APT) A atau B; 2. Prodi dapat diajukan jika PT memiliki kerjasama dengan mitra perusahaan, organisasi nirlaba, institusi multilateral, atau universitas Top 100 ranking QS; dan 3. bukan bidang kesehatan dan pendidikan. 3 syarat ini jelas sangat menguntungkan dan hanya memudahkan PTN/PTS besar dengan jejaring kuat. Adapun PT kecil apalagi PTS akan sulit mendapatkan santunan kebijakan ini akibatnya calon mahasiswa pun tersedot ke PTN/PTS besar penerima otonomi bebas hambatan tersebut.
Merespon kebijakan ini PTMA dituntut dapat menerapkan prinsip tata kelola akademik yang baik, dimana pembukaan Prodi baru haruslah didasarkan pada pertimbangan yang matang. Setiap Prodi yang akan dibuka oleh PTMA harus didasarkan pada kebutuhan dan kemampuan PTMA untuk mengelolanya. Cermati studi kelayakan Prodi baru yang diusulkan oleh fakultas. Pastikanlah Prodi yang akan dibuka tersebut memiliki prospek dari sisi pengembangan keilmuan maupun kebutuhan masyarakat. Selanjutnya yang tak kalah penting adalah senantiasa lakukan evaluasi dan monitoring terhadap Prodi yang ada; bagaimana quality assurance-nya berjalan serta animo calon mahasiswanya perlu untuk selalu dipantau dengan data yang akurat beserta tindak lanjutnya yang efektif.
Re-akreditasi Bersifat Otomatis
Mungkin ini adalah kebijakan yang paling disambut baik oleh pengelola perguruan tinggi. Bagaimana tidak terjadi semacam “relaksasi” dalam urusan akreditasi. Jika awalnya setiap PT dan Prodi wajib melakukan proses akreditasi setiap 5 tahun, kini re-akreditasi bersifat otomatis untuk seluruh peringkat, dan bersifat sukarela bagi PT dan Prodi yang sudah siap naik peringkat akreditasi. Peninjauan kembali akreditasi hanya akan dilakukan oleh BAN PT/LAM jika ada laporan dari masyarakat tentang dugaan pelanggaran aturan dan/atau penurunan mutu atau pun jika jumlah pendaftar dan lulusan PT/Prodi mengalami penurunan drastis selama 5 tahun berturut-turut.
Meskipun kebijakan relaksasi akreditasi ini dapat mengendorkan energi PTMA yang banyak terkuras untuk mengurus borang (LKPT & LED), tapi jangan sampai juga kebijakan ini membuat PTMA terlena hingga mengakibatkan penurunan mutu institusi maupun Prodi. Bagi PTMA/Prodi yang masih terakreditasi C (Baik) atau B (Baik Sekali) jangan merasa cukup dan berhenti sampai di situ dengan alasan yang penting terakreditasi, tapi hendaknya berusaha untuk menaikkan peringkat akreditasi hingga mencapai predikat Unggul. Setiap pimpinan PTMA seharusnyalah menetapkan institusinya sebagai kampus bermutu sehingga peringkat Unggul dalam akreditasi merupakan cita-cita setiap PTMA yang harus diwujudkan sebagai bukti serta pengakuan masyarakat dan negara akan kualitas pengkhidmatan amal usaha Persyarikatan di bidang pendidikan tinggi.
Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) secara terus menerus (continuous improvement) adalah strategi untuk merespon kebijakan Kampus Merdeka ini. Semua unsur di PTMA mulai dari tingkat universitas, fakultas dan prodi harus dipastikan memiliki dan menjalankan standar mutu yang telah ditetapkan oleh institusi masing-masing. Siklus SPMI berupa Penetapan, Pelaksananan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan (PPEPP) harus dijadikan sebagai sistematika kerja pimpinan PTMA. Selain penguatan SPMI, PTMA juga tetap harus memperhatikan dan menguatkan Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME) dengan akreditasi melalui BAN-PT/LAM atau pun lembaga akreditasi internasional yang diakui oleh pemerintah.
Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum
Kebijakan ini sejatinya memang ditujukan kepada Perguruan Tinggi Negeri (PTN), tetapi dampak langsung kebijakan ini sangat terasa bagi perguruan tinggi swasta khususnya menyangkut penjaringan calon mahasiswa dan penguatan resources PTN karena diberi otonomi untuk mencari dana dengan kebebasan membuat kegiatan ataupun mendirikan unit-unit usaha yang mendapatkan profit. Kebijakan tentang PTN BH yang muncul sejak era reformasi ini sebenarnya banyak mendapatkan penentangan dari masyarakat, khususnya akademisi karena dianggap melepaskan tanggung jawab negara dalam menjamin pendidikan bagi warganya. Dengan menjadi PTN BH perlahan-lahan subsidi negara dari kampus tersebut dicabut dan diminta mencara dana sendiri untuk operasionalnya maka yang paling mudah dilakukan adalah menaikkan biaya kuliah yang pada gilirannya membuat warga masyarakat ekonomi bawah tak mampu menjangkaunya. Jadilah PTN BH mendapat julukan “perguruan tinggi negeri rasa swasta”.
Meskipun PTN BH menerapkan biaya tinggi untuk calon mahasiswanya tetap saja mereka menjadi pilihan masyarakat. Selain faktor imej sebagai perguruan tinggi “plat merah”, masih saja perguruan tinggi negeri dicap sebagai perguruan tinggi yang pasti bermutu dibanding perguruan tinggi swasta. Maka menghadapi kebijakan PTN BH ini, yang perlu dilakukan oleh PTMA adalah menguatkan citra PTMA sebagai perguruan tinggi yang bermutu. Fakta berhasilnya beberapa PTMA meraih predikat A dalam akreditasi institusi atau pun prodinya menjadi daya tarik dan alasan utama mahasiswa memilih prodi PTMA sebagai labuan hati untuk melanjutkan pendidikan tinggi di PTMA tersebut. Bahkan hasil survei membuktikan beberapa prodi atau pun institusi PTMA menjadi pilihan pertama calon mahasiswa dengan mengabaikan untuk mendaftar di perguruan tinggi negeri. Jika semua PTMA memiliki kesadaran mutu ini dan mampu menunjukkan kinerja mutu tersebut ke publik maka tidak relevan lagi untuk memposisikan perguruan tinggi swasta, khususnya PTMA sebagai perguruan tinggi kelas dua di bawah PTN.
Selain penguatan branding sebagai perguruan tinggi bermutu, langkah berikutnya yang perlu dilakukan PTMA adalah memberikan sentuhan inovasi dan kreativitas dalam promosi serta admisi calon mahasiswa baru. Bukan rahasia lagi bahwa jangankan PTS, PTN pun yang nyata-nyata selalu ‘kebanjiran’calon mahasiswa tetap saja senantiasa melakukan kegiatan promosi untuk merekrut calon mahasiswa baru. Maka perlu pendekatan inovatif dan kreatif hingga PTMA memiliki daya panggil yang lebih manjur dibanding PTN maupun PTS lainnya. Penguatan sistem informasi Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB), adanya Chief Marketing Oficer (CMO) yang bekerja secara sistematis dan terprogram, keterlibatan dalam pameran pendidikan (Education Expo), partnership dengan berbagai pihak, penawaran beragam beasiswa, kerjasama dengan lembaga bimbingan belajar, intensitas kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR), adanya pusat pengembangan karir (Career Center) hingga kemampuan untuk menonjolkan uniqueness (keunikan-kekhasan) masing-masing PTMA adalah diantara agenda dan langkah yang harus diperhatikan.
Hak Belajar Tiga Semester di Luar Program Studi
Memberikan hak kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah satu semester lintas prodi dan dua semester di luar Perguruan Tingginya merupakan privilese buat mahasiswa yang menjanjikan di kebijakan ini. Mahasiswa boleh kuliah di luar prodi atau mencari pengalaman belajar di luar Perguruan Tingginya. Secara teori ini memang sesuatu yang mengasyikkan bagi mahasiswa. Tapi dalam perwujudannya mungkin bagi Perguruan Tinggi besar yang memiliki jejaring luas mudah saja untuk saling bekerja sama sesama Perguruan Tinggi besar. Tapi bagaimana halnya dengan Perguruan Tinggi menengah kecil apakah ada yang mau bekerjasama dengan mereka ? Jika pun mau bagaimana skema biayanya ? Jika menyangkut biaya apakah itu berarti menjadi beban mahasiswa juga ?
Bagi PTMA, kebijakan ini dapat menjadi momentum untuk memperkuat jaringan sesama PTMA (maupun di luar PTMA tentunya) untuk memberi akses kepada mahasiswa, sesama anak bangsa menikmati belajar di PTMA manapun yang tersebar di Indonesia. Secara internal bagi Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah sebagai pembina PTMA dapat memanfaatkan kebijakan ini untuk semakin memacu terwujudnya tata kelola dan kualitas PTMA yang memiliki standar mutu yang unggul dan berkemajuan. Ibarat sebuah korporat, berada dimanapun tetap dijamin standar kualitasnya. Sehingga orang akan berkata, “ Dimana pun Anda kuliah, selama itu di PTMA, mutu tetap selalu jadi jaminannya.” Bukankah begitu ?
Munawwar Khalil, Koordinator Tim Asistensi Bidang Akademik dan Penjaminan Mutu Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah & Mantan Ketua UPM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta