Adalah sangat menarik di antara para anggota BPUPKI adalah orang-orang besar Muhammadiyah, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Sukiman Wiryosanjoyo, Soekarno, dan last but not least Ny. R.S.S. Soenarjo Mangoenpoespito. Tolong diperhatikan nama yang tersebut terakhir ini.
Oleh: Hajriyanto Y Thohari
Memang agak berlebihan apa yang dikatakan oleh Thomas Carlyle dalam bukunya On Heroes, Hero-Worship and the Heroic in History (1841) bahwa “The history of the world is but the biography of great men”, sejarah hanyalah biografi orang besar. Tak heran jika banyak ahli filsafat sejarah yang mengritik pandangan itu. Tetapi kenyataannya memang peran orang-orang besar (great men) sangatlah besar dan menentukan dalam penciptaan sejarah. Demikian juga dengan sejarah Pancasila.
Sejarah kelahiran Pancasila terjadi dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI di mana anggota-anggotanya tak ayal lagi adalah orang-orang besar tanah air: para Ibu dan Bapak Pendiri Bangsa (founding mothers/fathers). Tentu penetapan siapa dan berapa jumlah anggota BPUPKI sangatlah dipengaruhi oleh selera politik penguasa Balatentara Jepang. Bahkan di antara para anggotanya yang seluruhnya berjumlah 76 orang itu, 8 di antaranya adalah berkebangsaan Jepang.
Dari 76 anggota BPUPKI sebagian besar beragama Islam (hanya 8 anggota non-Islam, yaitu Kristen, Budha dan lainnya). Tetapi yang dapat disebut sebagai mewakili golongan Islam hanyalah sekitar 15 orang saja: yaitu KH Mas Mansoer (Mantan Ketua HB Muhammadiyah), Ki Bagus Hadikusumo (Ketua HB Muhammadiyah), KH. Abdul Kahar Muzakkkir (HB Muhammadiyah), Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito (Aisyiyah, Muhammadiyah), Abikusno Tjokrosujoso (SI), KH. Ahmad Sanusi (PUI, Sukabumi), Haji Agus Salim (Penyadar, sebelumnya SI), KH A Wahid Hasyim (PBNU), KH. Masykur (PBNU), Abdul Rahman Baswedan (Partai Arab Indonesia), Abdul Rahim Pratalykrama (Residen Kediri). Belakangan ada tambahan Pangeran Mohammad Noor (bekas JIB) dan H. Abdul Fatah Hassan.
Memang orang bisa saja bertanya-tanya mengapa tokoh-tokoh Islam yang sangat artikulatif seperti Natsir, Isa Anshori, atau SM Kartosiwiryo, tidak masuk dalam BPUPKI. Tapi pertanyaan yang sama toh bisa juga diajukan orang lain: “Mengapa tokoh-tokoh seperti Tan Malaka, misalnya, juga tidak dimasukkan?” Penguasa Jepanglah yang paling tahu jawabannya. Mungkin dalam perspektif penguasa Jepang hanya tokoh-tokoh yang dianggap moderat saja yang diakomodasi. Sementara tokoh-tokoh yang dipandang anti-Jepang disuruh di luar saja. Bukankah golongan Kiri biasanya kokoh menolak adanya kesan kemerdekaan Indonesia adalah hadiah Jepang?
Orang Besar Muhammadiyah
Adalah sangat menarik di antara para anggota BPUPKI adalah orang-orang besar Muhammadiyah, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Sukiman Wiryosanjoyo, Soekarno, dan last but not least Ny. R.S.S. Soenarjo Mangoenpoespito. Tolong diperhatikan nama yang tersebut terakhir ini. Anggota BPUPKI yang biasanya berada di nomor urut 54 yang namanya tertulis Ny. R.S.S. Soenarjo Mangoenpoespito tersebut pada sejatinya adalah Ny. Raden Nganten Siti Soekaptinah Soenarjo Mangoenpuspito! Mungkin ada yang terkejut bahwa beliau adalah Ketua Bagian Wanita Jawa Houkoukai Jakarta dari unsur Aisyiyah (organisasi perempuan Muhammadiyah). (lihat Qisti Faradina Ilma Mahanani, Pemikiran Ki Bagoes Hadikoesoemo tentang Negara dan Islam 1945-1953, Skripsi, IAIN Salatiga, 2017). Walhasil, Muhammadiyah lagi!
Adapun H. Agus Salim, yang juga dikenal dengan The Grand Old Man itu, meskipun sempat bersitegang dengan Muhammadiyah dalam Syarikat Islam (SI) dalam persoalan keanggotaan rangkap, dan beberapa nama lainnya lagi, seperti KH. Sanoesi adalah juga dikenal sebagai setidaknya simpatisan Muhammadiyah.
BPUPKI diresmikan pada tanggal 28 Mei 1945 dan kemudian memulai sidangnya sampai tanggal 1 Juni 1945. Ketua BPUPKI dr KRT Radjiman Widiyodingrat yang memimpin sidang. Tidak ada informasi bagaimana yang terpilih sebagai ketua adalah Radjiman, seorang tokoh Boedi Oetomo yang juga dokter Keraton Surakarta yang lebih banyak tinggal di Walikukun, Ngawi, Jawa Timur bagian barat yang sekarang letaknya berbatasan dengan Jawa Tengah. Radjiman seorang dokter yang sangat merakyat yang suka menolong rakyat kecil di desa-desa di daerah Ngawi dan sekitarnya.
Orang bisa juga bertanya mengapa yang menjadi ketua BPUPKI bukan di antara tokoh-tokoh nasional yang sudah malang melintang dalam jagad pergerakan tingkat nasional seperti Bung Karno, Hatta, Agus Salim, atau Ki Bagus Hadikusumo yang Ketua ormas terbesar waktu itu, Muhammadiyah? Jawaban spekulatifnya bisa saja dibuat: mungkin saja adalah karena dia tokoh yang paling tua dan, ini yang agak pasti, dari kalangan kebangsaan.
Radjiman membuka sidang pada tanggal 29 Mei 1945 dengan mengajukan pertanyaan: “Apa dasar dari negara yang hendak kita dirikan”? Tidak semua anggota tertarik untuk menjawab pertanyaan yang dirasa sangat filosofis itu. Mohammad Hatta termasuk yang berpendirian demikian. Baginya pertanyaan itu terlalu filosofis yang akan mengundang perdebatan Panjang (lihat Hatta, Memoir, hal. 432- 433). Di antara yang memberikan jawaban adalah Mohammad Yamin, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soepomo, Soekarno, dan beberapa anggota lainnya.
Ada beberapa orang yang menjawab dengan mempersiapkan naskah pidato dan ada pula yang secara lesan sahaja. Hal ini terbukti dari naskah-naskah pidato beberapa anggota BPUPKI yang sudah ditemukan. Naskah-naskah tersebut termuat di dalam beberapa risalah, antara lain yang disusun oleh Mohammad Yamin (Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Tahun 1959), Sekretariat Negara RI (Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI), dan kedua karya RM. A. B. Kusuma (Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, 2009; dan juga Menggugat Arsip Nasional tentang Arsip Otentik “Badan Penyelidik” dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017).
Pidato-pidato mereka ada yang tercatat dengan rapi oleh seseorang yang bertugas atau menugaskan dirinya sendiri sebagai notulen atau penulis. Malah ada informasi ada yang menuliskannya dengan huruf stenografi. Ada juga yang naskah pidatonya terdokumentasi dengan rapi, dan ada juga yang sempat menghilang. RM AB Kusumo meneliti dengan sangat baik arsip-arsip yang ada dan dilaporkan dalam bukunya tersebut di atas.
Bung Karno berpidato dalam Sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 yang historis itu. BPUPKI kemudian membentuk Panitia Delapan yang kemudian atas usul Bung Karno berubah menjadi Panitia Sembilan: Bung Karno (sebagai ketua merangkap anggota), Mohammad Hatta, Achmad Subardjo, Mohammad Yamin, Abdoel Kahar Moezakkir, Wahid Hasyim, Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan AA Maramis. Panitia Sembilan melahirkan Piagam Jakarta 22 Juni 1945.
Seiring dengan pembubaran BPUPKI karena sudah selesai tugasnya maka dibentuklah PPKI dengan anggota 21 orang yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Pada tanggal 18 Agustus Soekarno sebagai Ketua PPKI menambah lagi enam orang anggota sehingga menjadi 27 orang. Dari 27 anggota PPKI yang dapat disebut sebagai orang Muhammadiyah adalah: Soekarno, H. Teuku Mohammad Hasan, Ki Bagus Hadikusumo, Raden Kasman Singodimedjo. Dalam Wikipedia dipaparkan bahwa Teuku Mohammad Hassan adalah pimpinan lokal Muhammadyah Aceh yang merintis beberapa perguruan Muhammadiyah di sana. Tertulis dalam Wikipedia: He was active in an Islamic organization Muhammadiyah, and education. During this era, they made schools and the woman branch of the organization, Aisyiah. His other education activity was establishing Perguruan Taman Siswa Aceh Chapter in Kutaraja, in 11 Juli 1937.
Peran Muhammadiyah di PPKI
Pada tgl 18 Agustus 1945 sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, digelarlah Sidang PPKI. Beberapa belas menit sebelum dibukanya Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 itulah terjadi drama yang sangat dramatis. Dalam drama tersebut yang menjadi pelaku utama adalah empat orang di mana tiga di antaranya adalah dari Muhammadiyah: Ki Bagus, Kasman, dan Teuku Hassan. Hanya Hatta seorang yang bukan dari Muhammadiyah. Bung Karno, anggota Muhammadiyah, pasti menyimak drama yang sangat dramatis itu dari jarak tertentu. Dia sangat sungkan berhadapan dengan Ki Bagus, President HB Muhammadiyah.
Empat orang itu berembuk intensif dalam beberapa puluh menit, bahkan ada informasi hanya 15 menit saja. Kejadian yang sarat dengan argumentasi dan menguras emosi itu akhirnya bersepakat menyoret Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta dan diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hanya dengan berbekal kesepakatan keempat orang besar Muhammadiyah tersebut maka sidang PPKI selanjutnya berlangsung sangat mulus dan lancar.
Begitu Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dibuka, Hatta langsung menyampaikan empat usul perubahan atas naskah Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, yaitu: (1) Kata “Mukadimah” diganti dengan kata “Pembukaan”; (2) Anak kalimat “Berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“ diganti menjadi “berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”; (3) Pasal 6 Ayat (1) “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam” diganti kalimat “Presiden ialah orang Indonesia asli”; dan (4) Pasal 29 Ayat (1) yang berbunyi “Negara berdasar atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Usulan Hatta tersebut di atas diterima secara aklamasi dalam Sidang PPKI berkat persetujuan Ki Bagus menjelang sidang tersebut.
Begitulah yang terjadi, begitulah sejarah ditulis. Bahwa dalam proses pengambilan keputusan atas pencoretan tujuh kata tersebut banyak perdebatan, adu argumentasi, saling mengajukan alasan, mungkin juga ada dramatisasi-dramatisasi lainnya, dan drama-drama lain yang sangat emosional dan dramatik, itu adalah dinamika persidangan yang biasa. Jangankan antar orang besar dari banyak organisasi yang bermacam-macam, bahkan dalam persidangan internal PP atau PW Muhammadiyah saja hal seperti itu juga kadang (atau bahkan sering?) terjadi. Yang penting adalah bahwa keputusan sudah diambil. Ada yang puas ada yang kecewa: tapi keputusan tetap dijunjung tinggi.
’Ala kulli hal, begitulah yang terjadi, dan begitulah sejarah kelahiran Pancasila ditulis. Jadi: sama sekali bukan believe it or not, melainkan this is the fact! Sejarah Pancasila adalah sejarah Muhammadiyah. Bravo Muhammadiyah!
Hajriyanto Y Thohari, Duta Besar RI untuk Libanon di Beirut
Sumber: Majalah SM Edisi 14 Tahun 2020