Bagaimana pandangan masyarakat desa terhadap Muhammadiyah?
Oleh: Muhammad Bukhari Muslim
Muhammadiyah didirikan di kampung Kauman, Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah tahun 1330 H atau 18 November tahun 1912 M oleh seorang tokoh Islam yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan Kiai Ahmad Dahlan. Di antara latar belakang pendirian organisasi ini ialah karena keprihatinan Kiai Ahmad Dahlan melihat realitas umat Islam Indonesia yang peradabannya masih tertinggal.
Kebodohan, kemiskinan, dan kejumudan masih merajalela. Oleh karena itu, salah satu langkah yang ditempuh oleh Muhammadiyah untuk mengentaskan masalah tersebut adalah dengan mendidikan sekolah. Hingga dengan saat ini, sekolah atau universitas yang dibangun oleh Muhammadiyah telah menghiasi setiap sudut negeri.
Muhammadiyah, oleh banyak peneliti (salah satunya Clifford Geertz), sering disebut sebagai representasi gerakan Islam modern di Indonesia di samping Persis, Al-Irsyad dan sebagainya. Berkat langgamnya yang modernis tersebut, maka tak heran jika kebanyakan yang menjadi warga atau kadernya, adalah masyarakat muslim kelas menengah ke atas. Atau yang umumnya disebut sebagai kaum urban (perkotaan).
Akan tetapi, ciri khasnya yang modernis tersebut telah melahirkan suatu masalah tersendiri bagi Muhammadiyah. Salah satu masalah itu ialah Muhammadiyah tampak begitu kewalahan dalam melebarkan sayap dan pengaruhnya ke muslim pedesaan. Mereka gagap dalam membaur dan mengomunikasikan gagasannya kepada umat Islam yang berada di desa.
Hal itu tentu sangat kontras dengan NU (Nahdhatul Ulama), salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia selain Muhammadiyah. Organisasi ini amat dekat dengan masyarakat muslim pedesaan. Salah satu faktornya bisa jadi disebabkan oleh ciri khas NU yang tradisional, dalam artian adaptif terhadap adat dan tradisi lokal.
Lewat tulisan ini, saya akan sedikit bercerita tentang bagaimana pengalaman saya sebagai orang Muhammadiyah yang berada di desa serta sedikit menyinggung bagaimana pandangan-pandangan masyarakat desa terhadap Muhammadiyah.
Awal Mengenal Muhammadiyah
Dilahirkan dalam keluarga Muhammadiyah (ayah saya Ketua Umum PC Muhammadiyah) tidak serta merta membuat saya mengenal organisasi yang didirikan Kiai Ahmad Dahlan ini sejak dini. Saya baru mengenal Muhammadiyah dan intens mengkaji pikiran-pikirannya nanti saat telah duduk di bangku aliyah.
Selama di pesantren (dari kelas satu sampai kelas tiga tsanawiyah), ayah saya sama sekali belum pernah mengenalkan soal Muhammadiyah Entah apa alasan beliau. Namun ketika di kemudian hari saya menanyakannya, beliau hanya menjawab, “Karena belum waktunya saja.” Jawaban yang entah sungguhan atau karena beliau memang sedang malas menjawab waktu itu.
Ketika telah berada di MAN, ayah semakin instes ‘mencecoki’ saya mengenai segala hal tentang Muhammadiyah. Setiap kali beliau bertandang ke kota untuk mengunjungi saya, seluruh isi obrolan kami pasti sebisa mungkin beliau arahkan kepada Muhammadiyah. Dari hal yang kecil seperti wudhu sampai kepada hal yang besar lainnya. Saya mulai sering disuruh mengikuti pengajian-pengajian yang diadakan Pimpinan Muhammadiyah Wilayah dan diwajibkan mengikuti pengkaderan IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah).
Baca juga: Kiprah Muhammadiyah di Pedesaan
Saya manut saja. Karena sepintas, ada hal yang saya suka dan respek dari Muhammadiyah, yakni jargon ‘Islam Berkemajuan’-nya. Kesukaan saya terhadap jargon Muhammadiyah itu mungkin disebabkan oleh latar bekalang saya yang santri pondok modern dan juga berkat kegandrungan saya pada pikiran-pikiran Muhammad Abduh, reformis Islam asal Mesir.
Alhasil, tidak lama berselang setelah itu, saya akhirnya resmi menjadi kader Muhammadiyah setelah mengikuti Taruna Melati 1 IPM (jenjang pengaderan paling dasar di IPM).
Ber-Muhammadiyah di Desa
Sampai suatu ketika waktu libur tiba, saya akhirnya pulang ke desa. Di desa saya beberapa kali mengikuti acara tahlilan. Pada sela-sela acara itu, saya sedikit mendengar obrolan-obrolan warga tentang Muhammadiyah. Dari obrolan mereka saya mendapatkan bahwa stereotip masyakat desa terhadap Muhammadiyah cukup buruk.
Bukan karena dicap Wahabi. Sebab masyarakat kampung saya tak tahu-menahu soal itu. Tapi karena di dalam benak mereka, Muhammadiyah adalah organisasi yang ‘keras’. Organisasi yang tidak ramah terhadap budaya lokal, anti tahlilan dan anti barzanji.
Alih-alih bersikap reaktif, saya justru menganggapnya sebagai tantangan untuk menunjukan dan menghadirkan wajah Muhammadiyah yang lain, wajah Muhammadiyah yang selalu ditampilkan oleh Kiai Ahmad Dahlan, KH. AR. Fachruddin dan Buya Hamka. Metode dan pola dakwah yang mereka gunakan sangat ramah, toleran, dan penuh empati. Sehingga umat tidak kabur.
Ini tentu tidak mudah. Menghadapi masyarakat yang sudah sedemikian buruk pandangannya terhadap Muhammadiyah jelas penuh rintangan. Tapi saya yakin hal itu pasti bisa, karena masalah di atas jelas hanya persoalan kesalahpahaman. Masyarakat desa saya bisa mendapat penilaian yang demikian terhadap Muhammadyah karena memang kebetulan di lapangan mereka mendapati da’i-da’i Muhammadiyah rata-rata keras.
Dan saya bersyukur, setelah memakan waktu yang cukup panjang, usaha saya untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap Muhammadiyah akhirnya menemukan titik terang. Masyarakat tidak lagi menaruh curiga terhadap saya dan ayah saya yang notabenernya adalah kader Muhammadiyah. Bahkan dalam banyak kesempatan, saya sering dberi kepercayaan oleh masyarakat desa untuk memberi ceramah ramadhan dan khutbah jum’at.
Dakwah Kultural dan Menggembirakan Sebagai Solusi
Dari keadaan yang saya jelaskan di atas, jelas bahwa pola dakwah kultural adalah hal yang mendesak untuk segera diterapkan. Da’i-da’i Muhammadiyah tidak boleh lagi menampilkan gaya dakwah yang marah, tapi ramah. Tidak menakutkan, melainkan menggemberikan. Kebiasaan yang dulu-dulu, seperti mencap suatu perbuatan sebagai “bid’ah”, jelas tidak boleh lagi dilakukan. Hal ini adalah seniscaya-niscaya tindakan yang perlu dilakukan jika tidak ingin umat menjauh dan bertambah ketidaksenangannya terhadap Muhammadiyah.
Da’i-da’i Muhammadiyah tidak boleh lagi alergi dengan tradisi-tradisi lokal seperti tahlilan dan barzanji. Sebab, jika diperhatikan, jenis-jenis kegiatan seperti itu juga banyak mendatangkan manfaat. Di antaranya ialah merekatkan hubungan antar tetangga. Mereka berkumpul dan saling membantu dalam hal menyiapkan keperluan-keperluan acara. Atau dalam bahasa yang lebih canggih, kita melihat bahwa solidaritas mewujud di dalam kegiatan-kegiatan di atas.
Muhammad Bukhari Muslim, Kabid RPK IMM Ushuluddin UIN Jakarta