Tanggal 18 Juli 2020, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) telah memasuki usia yang ke-59 tahun
Oleh: Agusliadi
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) lahir pada tanggal 18 Juli 1961 dalam sebuah momentum formal Pemuda Muhammadiyah: Konferensi dan Muktamar Pemuda Muhammadiyah. Meskipun berdasarkan catatan sejarah IPM, embrionya telah menggeliat di beberapa wilayah dalam masa yang berbeda jauh sebelum IPM lahir dalam bentuknya yang sekarang.
IPM yang diproklamirkan 59 tahun yang lalu dalam perjalanannya pernah mengalami pergantian nama menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) dan kurang lebih tiga dekade terakhir kembali berganti nama menjadi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Secara sederhana bisa dipahami bahwa perubahan itu merupakan respon positif, filosofis dan epistemologis atas dinamika yang dihadapi. Perubahannnya bukan hanya secara atributif tetapi senantiasa diiringi dengan rumusan dan penetapan paradigma gerakan yang relevan dan signifikan.
Pada momentum Milad ini, IPM mengusung tema “Berkarya Bersama Mencerahkan Semesta”. Melalui tulisan ini, saya yang pernah mengalami pergumulan dan pergulatan dinamika: dikader, menduduki posisi sebagai Ketua Bidang Perkaderan dan perjalanan selanjutnya sebagai Sekretaris Umum (istilah tepatnya Sekretaris) Pimpinan Daerah Ikatan Remaja Muhammadiyah (PD. IRM) Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan ⸻ mencoba menafsirkan, memahami makna dan arah tema tersebut.
Berdasarkan pemahaman saya tema Milad IPM ke–59 ini memiliki basis filosofis dari paradigma gerakan IPM yang sedang menjadi etos perjuangannya. Bahkan jika ditelusuri lebih dalam, memiliki akar historis, ideologis dan teologis dari organisasi induknya yaitu Muhammadiyah. Tema ini bukan hanya sekedar jargon semata, memenuhi ruang konsepsi dan diskursus atas “dahaga intelektual” pimpinan dan kader-kadernya . Tema ini mengandung etos, jawaban filosofis dan langkah solutif menghadapi arus perkembangan globalisasi hari ini.
Falsafah Pergerakan IPM
IPM sebagai episentrum pelajar (remaja) unggul yang berkarakter bukan hanya sebagai wadah berkumpul tanpa orientasi, etos dan paradigma. Dalam perjalanan sejarahnya ada beberapa paradigma yang telah pernah menjadi etos perjuangannya dan sekaligus sebagai upaya menafsir zamannya.
Paradigma yang dimaksud adalah 3 T (Tertib ibadah, Tertib belajar dan Tertib organisasi). Setelah itu ada paradigma “Gerakan Kritis Transformatif” dengan jargonnya 3 P (Penyadaran, Pembelaan dan Pemberdayaan). Dan kini Ikatan Pelajar Muhammadiyah atau lebih akrab disebut IPM memiiki paradigma “Gerakan Pelajar Berkemajuan” dengan jargon 3 P baru (Pencerdasan, Pemberdayaan dan Pembebasan).
Secara paradigmatik, saya menemukan bahwa tema Milad ini diperas dari “Gerakan Pelajar Berkemajuan”. Selain itu, tema Milad IPM bisa pula ditemukan secara historis dari kosmopolitanisme Islam yang dipahami dan dipraktekkan oleh Muhammadiyah selama ini. Secara teologis pun tema ini sangat jelas dan mengakar kuat dalam teologi Al-Ma’un (kolaboratif dan welas asih ) dan teologi Al-Ashr ⸻ yang menjadi etos dan spirit pelembagaan amal usaha Muhammadiyah dan spirit melintasi abad keduanya.
Falsafah pergerakan IPM yang dikerucutkan dalam pemikiran filsafat sejarah dan diterjemahkan dalam tiga unsur sejarah: ruang, waktu dan epistem sosial (realitas sejarah) mengsyaratkan dan mengisyaratkan bahwa segala pemikiran dan dinamika pergerakannya memperhatikan 3 unsur tersebut. Kondisi dan tantangan kehidupan hari ini sedang berada di tengah pusaran globalisasi dalam praksis dan teoritis. Etos yang bisa ditemukan dalam tema milad IPM ke-59 ini merupakan jawaban yang paling tepat.
Globalisasi dengan segala determinan dan paradoksnya adalah merupakan keniscayaan yang menjadi spektrum kehidupan hari ini. Globalisasi selain menawarkan peluang – peluang, juga memiliki tantangan/rintangan yang harus disikapi. Globalisasi telah menimbulkan banyak perubahan dan pergeseran bahkan mempengaruhi doing (apa yang kita lakukan), meaning (bagaimana kita memaknai sesuatu), relating (cara berinteraksi), thinking (cara berpikir) dan being (bagaimana kita menjadi).
Di tengah arus globalisasi, selain tantangan ⸻ 21th Century Skill, Windows of Opportunity, Climate Change, ekonomi global dan revolusi industri 4.0 ⸻ yang secara resmi telah dirumuskan secara institusional oleh IPM pada tanwirnya bulan Nopember 2019 lalu di Pontianak, maka ada tantangan lain yang harus mendapat porsi perhatian lebih bagi IPM. Tantangan yang saya maksudkan tersebut antara lain: invidualistik, narsistik, konsumerisme, hedonistik, post truth, darurat hoax dan hilangnya batas –batas kehidupan.
Dari tantangan – tantangan tersebut maka apa yang telah dirumuskan oleh IPM sebagai tema Miladnya adalah merupakan jawaban dan spirit yang tepat. Pimpinan dan kader –kader IPM yang masih bergumul dan bergulat dalam dinamika pergerakan IPM jangan hanya memaknainya sebatas untuk tema Milad semata. Harus menjadi aktus bahkan sangat diharapkan menjadi habitus yang senafas dengan hidupnya dalam ber-IPM.
Berkarya Bersama
“Berkarya Bersama” merupakan spirit yang memiliki basis teologis dan filosofis bahkan preseden historisnya bisa ditelusuri dari pemikiran dan perjalanan Muhammadiyah sebagai induk IPM. Berkarya bersama dalam dimensi praksis pun merupakan perasan daripada teologi Al-Ma’un yang menjadi salah satu etos perjuangan dan pelembagaan amal usaha Muhammadiyah. Lebih jauh dari itu “Berkarya Bersama” juga merupaka percikan nilai dari etos welas asih yang merupakan derivasi teologi Al-Ma’un dan sekaligus sebagai antitesa dari teori Darwinisme yang mengisyaratkan orientasi individualistik, kompetitif yang kaku dan anti kolaborasi.
“Berkarya Bersama” telah mengiringi perjalanan Muhammadiyah sampai melintasi abad kedua dan IPM sendiri memasuki usianya yang ke-59 tahun. Sejak awal berdirinya aktivismenya sarat dengan karya yang dilakukan secara bersama (dalam bentuk persyarikatan). Berkarya bersama dalam pemahaman yang lebih luas dan relevan dengan kosmopolitanisme Islam, Muhammadiyah sebagai induk IPM telah mempraktekkan bahkan melampaui batas – batas primordialisme: agama, adat istiadat, suku dan bangsa.
IPM dengan pemahamannya terhadap teologi Al-Ma’un bahkan memaknai bahwa ukuran kesalehan individual barometernya adalah kesalehan sosial. Sejauhmana pimpinan dan kader – kader IPM memiliki karya yang dilakukan secara bersama –sama untuk kepentingan bersama dan memberikan manfaat bagi banyak orang.
Pemikiran, etos dan paradigma IPM tidak berhenti hanya sebatas jargon semata tetapi diinkarnasikan dalam bentuk gerakan sehingga hal ini membutuhkan hal yang disebut kerjasama dan hasilnya terimplementasi dalam bentuk karya. Sebagaimana tema, inilah salah satunya, makna daripada “Berkarya Bersama”. Berkarya bersama secara tidak langsung memiliki garis relasi dengan jargon 3 P Baru IPM yang merupakan hasil pembacaan filosofis dari paradigma “Gerakan Pelajar Berkemajuan”.
Jargon 3 P Baru IPM (Pencerdasan, Pemberdayaan dan Pembebasan) hanya bisa terwujud jika dalam diri para pimpinan dan kader –kader IPM ada kesadaran untuk berkarya bersama. Dan sebaliknya berkarya bersama, implementasinya akan semakin massif jika seorang pimpinan dan kader IPM telah mengalami sebuah proses pencerdasan, penguatan pemahaman akan pemberdayaan dan pembebasan itu sendiri. Jadi ini ibarat satu mata rantai yang tidak bisa dipisahkan.
Mencerahkan Semesta
Begitupun frasa “Mencerahkan Semesta” dari tema Milad IPM diharapkan tidak hanya sekedar jargon semata tetapi memiliki relevansi dan signifikansi untuk membentengi, menjadi modal dan sekaligus langkah solutif terutama bagi pelajar sebagai subjek dan objek IPM dalam kehidupannya. Disimpulkan demikian karena globalisasi dengan segala determinan dan berbagai hal paradoks yang ditimbulkanya ikut menyeret dan bahkan menjadikan pelajar sebagai korban.
Perkembangan teknologi digital sebagai determinan globalisasi menimbulkan hal paradoks. Pada satu sisi memberikan dampak positif dan sisi lain memberikan dampak negatif. Post truth, darurat hoax, individualistik, narsistik telah menjadi fenomena nyata yang sedang menyelimuti pelajar dan bahkan sampai menyentuh sisi krusial pelajar yaitu spirit literasi ikut terseret dan tergantikan dengan kecenderungan resistensi, chaos, making fun, anti otoritatif, anti grand narration yang semakin mendominasi pelajar.
Ruang dan waktu yang kini ditaklukkan oleh kekuatan elektromagnetik sebagai sebuah dampak dari dominasi teknologi digital dalam dinamika kehidupan, semua orang tanpa kecuali pelajar mengalami transformasi kehidupan dari kehidupan ekspansif ke kehidupan inersia. Ini yang turut menyebabkan matinya kepakaran dan tentunya memiliki efek bagi pelajar. Bahkan dalam hal memenuhi tugas akademik pelajar, ini sangat terasa dengan lahirnya kecendrungan langsung meng-searching melalui google tanpa mau bersusah payah untuk mencari rujukan yang jelas dari buku –buku yang ditulis oleh para pakar.
Sebagaimana dalam temuan Jean Baudrillardyang saya pahami melalui buku Dunia Yang Dilipat karya Yasraf Amir Piliang, bahwa manusia dan berdasarkan pengamatan saya, pelajar pun telah mengalami pergeseran jauh dalam hal tahapan nilai perkembangan masyarakat. Manusia tanpa kecuali pelajar, kini telah berada pada tahapan nilai yang bukan lagi berdasarkan nilai guna tetapi berdasarkan orientasi fraktal (sesuatu yang bisa viral). Hal – hal direspon bahkan ikut dibagikan bukan lagi berdasarkan sesuatu yang substansial dan bermanfaat tetapi berdasarkan apa yang viral.
Dari beberapa gambaran di atas sebagai determinan globalisasi dan hal paradoks dari teknologi digital maka penting menghadirkan pencerahan. Begitupun IPM yang subjek dan objeknya adalah pelajar sangat harus senantiasa hadir memcerahkan semesta.
Mencerahkan semesta memiliki relevansi dengan paradigma IPM “Gerakan Pelajar Berkemajuan”. Selain daripada itu dalam garis perjuangan IPM, memiliki etos keilmuan dan akar teologisnya bisa ditemukan bagaimana Muhammadiyah menerjemahkan secara progresif dan mengimplementasikan ajaran surah Al-Ashr.
Jargon 3 P Baru IPM pun menegaskan tentang “pencerdasan” yang bisa dimaknai sebagai bentuk pencerahan. Pembebasan yang merupakan bagian dari Jargon 3 P baru IPM hanya bisa terwujud jika melewati sebuah proses pencerahan. Dan sebuah pembebasan idealnya bukan hanya berorientasi internal (diri, golongan dan lembaga sendiri) tetapi berorientasi eksternal. Orang lain pun harus merasakan pembebasan jika diri kita ingin merasakan pembebasan yang sesungguhnya. Sehingga di sinilah salah satu relevansi tentang pentingnya “mencerahkan semesta”.
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) telah dikenal baik sebagai gerakan ilmu, sangat terbuka, senantiasa mendialogkan, mengintegrasi-interkoneksikan berbagai disiplin keilmuan dalam merumuskan paradigma gerakannya. Bahkan dalam menyusun kriteria calon Pimpinannya, IPM pun membuat persyaratan terkait aspek ideologis, intelektualitas dan sosial kemanusiaan selain persyaratan terkait administrasi dan keorganisasiannya.
Sebagai gerakan ilmu IPM bahkan menjadikan surah Al-Qalam ayat 1 sebagai simbol dan spirit pergerakannya. IPM sebagai gerakan ilmu, saya ingat betul ketika pertama kali saya memasuki pintu rumah IPM (Perkaderan) ada sejenis doktrin dalam bentuk tagline yaitu : Me-Madinah-kan hati, men-Jerman-kan otak dan Meng-Jepang-kan tangan.
Ini sepercik pemahaman terkait tema Milad ke-59 IPM kali, ini. IPM akan senantiasa menjadi episentrum pelajar berkemajuan, pelajar yang mampu mengintegrasikan antara iman dan ilmu, pikir dan dzikir dan selanjutnya diimplementasikan dalam bentuk amal, karya nyata yang bermanfaat bagi kehidupan.
Agusliadi, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Banteang, kini Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018 – 2023