Kaum Muslim yang tersadarkan, akan memiliki kesempatan yang lebih besar dalam rangka mengupayakan segala transformasi sosio-kultural dan politik menuju kepada segala sesuatu yang serba lebih baik
Oleh: Hasnan Bachtiar
Fenomena Muslim Barat telah menjadi hal yang begitu jamak bagi kita semua. Beserta segala kompleksitasnya, secara umum, mereka kerap membayangkan dua hal mengenai kehidupan kaum Muslim itu sendiri. Pertama, memimpikan keindahan terwujudnya “ummat” yang secara global, bernuansa kosmopolitan-universalis. Kedua, mengidamkan komunitas global yang sama, namun lebih bersifat kosmopolitan-pluralis.
Meskipun sama-sama hendak memperjuangkan masa depan masyarakat Islam, perbedaan di antara keduanya seperti bumi dan langit. Tatkala komunitas yang pertama menekankan segi totalitas pemaknaan, penyeragaman dan homogenisasi kebudayaan Islam, maka komunitas yang berikutnya menginginkan makna mengenai agama yang serba beragam, demokratis dan diekspresikan dengan nuansa kultural yang tidak tunggal, serta disampaikan melalui jalan yang berkeadaban.
Jika komunitas yang pertama direpresentasikan oleh kaum Muslim yang berwajah konservatif, maka yang kedua lebih progresif. Tentu saja terdapat pelbagai irisan identitas di antara keduanya, dan bahkan, kategori-kategori sosial yang diajukan, menjadi lebih rumit. Kerumitan ini terjadi, karena mereka memiliki tendensi dan orientasi politik yang berbeda-beda. Di hadapan ilmu sosial, perkara pelik ini merupakan tantangan yang sangat menarik, untuk dapat diidentifikasi, diprakirakan dan dievaluasi.
Sebagian dari mereka yang mengimani agama dengan spirit konservatisme, dengan pelbagai jalan, ada yang bergabung dengan ISIS atau kelompok teroris Abad ke 21 yang sangat terkenal. Sementara itu sebagian yang lain, terutama yang progresif, seringkali merupakan kaum intelektual, yang menekuni pelbagai disiplin ilmu pengetahuan, terutama ilmu sosial, humaniora dan Islam.
Artikel ini ingin memotret imajinasi intelektual komunitas Muslim progresif, dalam konteks kehidupan Muslim Barat yang sangat khusus dan terbatas, terutama di Australia. Pendapatpendapat yang diajukan para sarjana di The Centre for Arab and Islamic Studies (CAIS), The Australian National University (ANU), Canberra, sangat menarik untuk ditelaah. Kendati demikian, harus disadari bahwa, hal ini tidak bisa begitu saja dijadikan sebagai representasi dari seluruh Muslim progresif yang ada di dunia Barat.
Impian Intelektual
Di CAIS-ANU, terdapat sejumlah intelektual Muslim progresif yang pelbagai pendapatnya perlu diapresiasi. Amin Saikal adalah Direktur CAIS dan juga pakar politik Islam di Afganistan, Pakistan, Irak dan Iran. James Piscatori sebagai Wakil Direktur, menekuni hampir seluruh fenomena politik dunia Islam, terutama gelombang revolusi dunia Arab yang terjadi satu setengah dekade belakangan ini. Sementara itu Bob Bowker adalah pakar politik Islam di Mesir, Libya, Syiria dan Palestina. Kirill Nourzhanov adalah pakar politik Islam di wilayah Asia Tengah dan Rusia, Murat Yutbilir adalah pakar politik Islam di Turki, Huda Al-Tamimi adalah pakar politik Islam di Irak, Raihan Ismail adalah pakar politik Islam di Mesir dan Asia Tenggara.
Melalui karya-karya akademik yang dihasilkan dan pelbagai dialog yang diselenggarakan di CAIS, mereka secara umum, menghendaki bahwa “ummat” yang terbaik adalah yang bersifat kosmopolitan, namun pluralis. Jadi, mereka bukanlah umat yang hendak mendirikan negara Islam global, yang bersifat universalis dan totalitarian.
Umat yang kosmopolitan-pluralis ini dibangun, ditempa dan mencapai kemapanan melalui cara-cara yang serba demokratis, yang mengindahkan spirit kemerdekaan yang berkeadaban (civil liberty). Dengan pemenuhan segala syarat yang ada, maka umat Islam yang mereka impikan adalah umat yang modern.
Namun modern dalam hal ini, bukanlah modern yang dituntun oleh pengertian modernisme Barat. Modern yang dimaksud adalah, kemodernan yang diciptakan oleh pelbagai kultur Islami yang beragam, yang disaling-pinjamkan dan pada akhirnya disumbangkan untuk mewujudkan segala peri pentingnya nilai-nilai Islam yang mulia, seperti kemerdekaan, keadilan, kesetaraan, kemanusiaan dan seterusnya. Kemodernan yang demikian, disebut kemodernan yang beragam (multiple modernities), yang sangat mungkin lahir dari rahim masyarakat Islam di pelbagai belahan dunia.
Umat dan kemodernan menurut rumusan mereka, barangkali mirip dengan imajinasi mengenai umat dan kemodernan yang dikehendaki oleh Muhammadiyah. Yakni, “Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” yang berpijak pada nilai “Islam yang Berkemajuan”.
Namun tidak berhenti pada pengertian umat dan kemodernan. Untuk mencapai itu semua, mereka mengajukan syarat pokok yang harus dimiliki oleh kaum Muslim. Syarat tersebut adalah, mereka harus memiliki kesadaran kritis atau meminjam istilah Paulo Freire (1970) adalah “conscientizacao”.
Apabila mereka telah menggapainya, itu berarti bahwa mereka memiliki pemahaman yang lebih mendalam mengenai kompleksitas dunia Islam yang lalu dan saat ini. Kaum Muslim yang tersadarkan, akan memiliki kesempatan yang lebih besar dalam rangka mengupayakan segala transformasi sosio-kultural dan politik menuju kepada segala sesuatu yang serba lebih baik. Pendek kata, mereka tahu apa yang sedang mereka hadapi dan bagaimana menyelesaikannya.
Musim Semi Arab
Apa sebetulnya yang perlu disadari pertama kali? Tentu saja masalah yang sedang dihadapi oleh kaum Muslim dewasa ini dan menemukan apa akar masalahnya.
Sebenarnya, selama terbitnya “Musim Semi Arab” (Arab Spring) hingga saat ini, hampir seluruh negara-negara Muslim menghadapi huru-hara, kebingungan dan kekacauan yang luar biasa. Semua ini terjadi di Tunisia, Aljazair, Jordan, Oman, Mesir, Yaman, Sudan, Bahrain, Libya. Kuwait, Maroko, Lebanon dan beberapa negara lainnya. Yang terparah adalah Irak dan Syiria, yang dijadikan sebagai sarang ISIS, sang teroris dunia.
Sayangnya, Musim Semi Arab yang diklaim sebagai upaya demokratisasi negara-negara Arab ini, tidak mengikis habis otokrasi. Meskipun, sebagian sarjana menduga bahwa, dunia Islam tersebut secara relatif menjadi lebih merdeka, karena telah tercipta otokrasi liberal atau sebenarnya lebih tepat disebut sebagai demokrasi semu.
Segala kekacauan ini, tentu bukanlah karena kaum Muslim memiliki perangkat-perangkat kebudayaan yang tidak cocok dan bahkan bereaksi keras untuk menolak segala bentuk rasionalisasi pembangunan ekonomi dan politik, sebagaimana telah diklaim oleh Bernard Lewis dalam karyanya, What Went Wrong? (2002). Maksudnya, Islam sama sekali tidak memiliki doktrin tertentu yang justru membatasi dan menghambat segala faktor kemajuan, otonomi dan kreativitas.
Masalah yang sesungguhnya mereka hadapi adalah imperialisme dan kolonialisme (dengan segala bentuknya), otoritarianisme, korupsi dan proyek-proyek ekonomi politik Barat (Amerika, Inggris, Uni Eropa dan Rusia). Dalam konteks ini, kaum Muslim tidak hanya hidup di bawah penindasan imperialis dan kolonialis, namun juga rezim pemerintahan yang otoritarian dan korup. Di samping itu, eksploitasi sumber daya alam dan terutama adalah minyak, menjadi motif utama penetrasi Barat ke Timur Tengah.
Melalui bayang-bayang pelbagai penderitaan yang memilukan ini, pemikiran dan gerakan sosial politik Islam yang serba resentimen (penuh amarah, permusuhan dan kebencian) timbul ke permukaan. Para sarjana sosial seperti Olivier Roy (1998) dan Asef Bayat (2000) mengategorikan mereka sebagai Islamis yang mengimani Islamisme. Mereka disebut demikian, karena mereka menjadikan Islam sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu: yakni mengungkapkan dendam kesumat yang membara dan menduduki kursi kekuasaan.
Dalam proses instrumentalisasi ini, mereka seringkali menafsirkan kitab suci secara ahistoris, ambigu dan despotik. Dalam beberapa kasus, mereka mengumpulkan pelbagai legitimasi teologis dari karya-karya para tokoh seperti Al-Maududi, Hassan Al-Banna, Sayyid Qutb, Ayatullah Khomeini dan lain sebagainya. Tentu saja, mereka tidak hanya menanggung masalah-masalah hermeneutis dalam memahami teks-teks suci, namun juga secara metodologis, paradigma mereka didirikan di atas dasar pijak ideologi resentimen.
Demikianlah masalah yang sesungguhnya dihadapi kaum Muslim. Dengan memahami betul masalah ini, maka kita mengetahui di mana letak berdiri, akan memihak apa dan siapa, bagaimana menemukan jalan keluarnya, serta tentu saja menggenapkannya dengan aksi-aksi partisipatoris yang elegan dan strategis. Lantas bagaimana membangun “ummat” yang sebenar-benarnya? Itu tentu bergantung ke mana perahu nurani kita semua berlayar. (Bersambung)
Hasnan Bachtiar, Peneliti di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Universitas Muhammadiyah Malang
Sumber: Majalah SM Edisi 18 Tahun 2017